Ahnaf al-Hamdani berkisah: Aku berada di tengah padang pasir dalam keadaan sendirian dan sangat lelah, kemudian aku mengangkat tangan, sembari berdoa,
'Ya Tuhan, sungguh suatu saat yang letih, padahal aku datang untuk menjadi tamu-Mu.'
Tiba-tiba muncul intuisi dalam hatiku,
'Siapa yang mengundang kamu.'
Aku berkata, 'Oh Tuhan, adalah kerajaan yang termasuk di sana Thufaily.'
Muncul kembali bisikan dari belakangku. Aku menoleh, tiba-tiba ada seorang Badui di atas kendaraannya, sambil berucap,
'Hai orang ajam, mau kemana kamu!'
Kukatakan, 'Menuju ke Mekkah al-Mukarramah, semoga Allah Swt. menjaganya.' Si Badui itu berujar, “Apakah Allah mengundangmu?’ Aku menjawab, “Aku tidak tahu.”
Selanjutnya orang itu berkata, `Bukankah Allah Swt. berfirman, ‘... bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah?’ (Q.s. Ali Imran: 97). Kukatakan padanya, `Kerajaan kan luas termasuk Thufaily.’
Tiba-tiba ia menyahut, `Wahai Thufaily, ternyata adalah engkau. Apakah engkau berkenan untuk diantar unta?’
Kujawab, `Ya!’
Lelaki Badui itu turun dari kendaraannya dan memberikan unta itu padaku, dan berkata,`Berjalanlah di atas unta’.”
Dalam Perjalanan, Muhammad bin Ismail al-Farghany bercerita:
Kami bepergian selama kira-kira duapuluh tahun, saya dan Abu Bakr az-Zaqqaq serta Muhammad al-Kattany. Selama itu kami tak pernah bergaul atau bercampur dengan sesama orang. Bila kami datang ke suatu negeri, -kalau di sana ada seorang syeikh - kami memberi salam dan mengikuti majelisnya hingga malam hari, kemudian kami kembali ke masjid.
Sementara Muhammad al-Kattany selalu shalat dari awal hingga akhir malam, mengkhatamkan Al-Qur’an. Sedangkan az-Zaqqaq duduk menghadap kiblat. Aku sendiri bertafakur, hingga dini hari. Kami bersama shalat fajar, dengan lebih dahulu wudhu pada sepertiga malam terakhir. Bila ada orang yang masih tidur, kami melihatnya.”
(sufinews)
Posting Komentar
Posting Komentar