Menu

TQN PP.Suryalaya

 

Beberapa Wejangan Sayyidi Syeikh Abdul Qodir Al-Jaelani QS. dalam Kitab Al-Gunyah Lithalibi Thariqal Haqq :

Kepergian seorang mukmin pada hakikatnya adalah meninggalkan sifat-sifatnya yang tercela menuju sifat-sifat yang terpuji, meninggalkan hawa nafsunya menuju pencarian ridha Allah. Karena itu, ketika seorang fakir hendak bepergian meninggalkan kampung halamannya, hal pertama yang wajib dilakukannya adalah meminta keridhaan orang-orang yang bersengketa dengannya dan meminta izin kedua orang tuanya atau orang yang berada dalam posisi mereka dalam hak dan kewajiban, semisal paman dari pihak bapak atau dari Ibu, kakek dan nenek. Jika memang ridha barulah pergi (berangkat).
Jika ia memiliki tanggungan keluarga dan kepergiannya menimbulkan mudarat dan kesulitan tersendiri bagi mereka maka ia tidak boleh melakukan perjalanan kecuali setelah memperbaiki kondisi mereka atau membawa serta mereka bersamanya. Nabi Muhammad S.A.W. bersabda,"Seseorang berdosa jika ia menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya."

Syarat lainnya adalah ia harus membawa serta hatinya (qalbunya). Dengan bahasa lain, ia tidak boleh menoleh ke belakang, mengingat-ingat hubungan apa pun di masa lalunya, namun hatinya juga tidak boleh terbelenggu oleh ambisi menuntut sesuatu di hadapannya. Di mana pun ia tinggal, hatinya harus tetap bersamanya dan kosong dari keterkaitan dengan segala hal , sebagaimana kisah Ibrahim ibn Dauhah. Ia bercerita,"Aku pernah memasuki sebuah perkampungan di pelosok padang pasir bersama Ibrahim ibn Syaibah. Ia berkata kepadaku,'Buanglah segala kaitan yang bersamamu.' Semua barang pun aku buang kecuali satu dinar. Ia berkata kepadaku,'Jangan sibukkan sirr (nuraniku). Buanglah apa yang kau bawa!' Akhirnya dinar itu pun aku buang. Namun ia tetap berkata,'Jangan sibukkan sirr (nuraniku). Buanglah apa kaitan yang bersamamu.' Tiba-tiba aku teringat bahwa aku membawa tali-tali sepatu (sandal). Segera aku buang tali-tali tersebut. Demi Allah, sejak itu setiap kali aku membutuhkan tali-tali di jalan, aku langsung bisa menemukannya di depanku. Ibnu Syaibah pun berkata,"Begitulah orang yang berinteraksi dengan Allah secara tulus."

Selama perjalanan, tidak seharusnya ia memperpendek wirid yang biasa dilakukannya di kampung halaman. Sebab, perjalanan bagi kau sufi ahli tarekat justru pertambahan status spritual mereka, sehingga tidak seyogyanya terjadi penurunan dan pelonggaran pada amalan dan status mereka selama perjalanan. Rukhshah (keringanan) sesungguhnya berlaku bagi orang-orang lemah dan awam, sementara orang-orang kuat dan khawash tidak berhak mengambil rukhshah (keringanan). Sebaliknya mereka mesti tetap menjalankan ketentuan 'azimah dalam segala kondisi, sebab Taufik Allah akan melingkupi mereka dan rahmat akan tercurah kepada mereka, di samping perlindungan dan penjagaan. Kekasih pun akan duduk bersama mereka, perasaan dekat dan nyaman bersama Allah semakin meningkat, kekayaan melonjak, bantuan silih berganti datang, dan tentara-tentara Allah pun terus mengawal dan mengelilingi mereka. Sehingga safar (perjalanan) mereka menjadi lebih kuat, lebih ringan, dan lebih baik dibanding apa yang mereka rasakan sebelum perjalanan , sebab selama menempuh perjalanan mereka praktis jauh dari sarana yang terkadang menjadi 'tuhan-tuhan' dari makhluk (manusia) yang terkadang menjadi berhala-berhala yang lebih menyesatkan ketimbang salib dan lebih tangguh daripada syaithan.

Seorang faqir (sufi dan ahli tarekat) seyogianya menjaga hati (qalbu) di awal perjalanannya, tidak bepergian dengan hati lalai (dari mengingat Allah) dan tetap gigih dzikirullah dalam perjalanannya agar qalbunya tidak lupa kepada ALLAH SWT.

(Oleh Dokumen Pemuda TQN Suryalaya News)


Posting Komentar

 
Top