(Masyarakat Mesir, foto: detik.com) |
Beginilah jadinya ketika tempat ibadah
dijadikan mimbar politik. Peristiwa ini berlangsung di masjid-masjid di Mesir
menjelang pelaksanaan referendum terhadap rancangan konstitusi baru
pascarevolusi 25 Januari 2011, yang menggulingkan Presiden Husni Mubarak.
Rancangan konstitusi ini ditolak para lawan politik Presiden Muhamad
Mursi. Mereka menilai, rancangan konstitusi ini banyak muatan Islamnya dan
akan menjadikan Mesir sebagai negara agama. Sebaliknya, menurut pendukung Mursi,
konstitusi yang Islami tidak ada salahnya asalkan melalui proses demokratis.
Yang setuju dan yang menolak konstitusi baru ini seolah berlomba dengan waktu.
Mereka “menjajakannya” bukan hanya dalam adu orasi di depan aksi unjuk rasa
besar-besaran di Lapangan Tarhir, depan Istana Kepresidenan, atau di
kampus-kampus, namun juga “menjualnya” di masjid-masjid.
Bahkan, dalam khotbah Jumat, seperti dilaporkan Harian Arab Saudi Al Sharq Al
Awsat dan media online Mesir Al Ahram, sejumlah khatib di Kairo, Iskandariyah,
dan kota-kota besar lainnya menawarkan kepada para jamaah untuk memilih surga
atau neraka. Yakni, surga bagi yang menyatakan “Na'am” (setuju) terhadap
rancangan konstitusi baru dan neraka buat mereka yang mencontreng kata “Laa”
(menolak). Atau, dengan kata lain, neraka pun “dijual” di masjid-masjid.
Para khatib seolah mempunyai otoritas untuk memasukkan seseorang ke surga atau
neraka. Kegaduhan politik yang dibawa masuk ke masjid-masjid ini tak pelak
telah menimbulkan gesekan di antara para jamaah.
Di Masjid Awqof di Kota Naja' Hamady, misalnya, telah terjadi tawuran
antarjamaah yang mendukung dan menolak rancangan konstitusi. Di Masjid Al Qoid
Ibrahim di Iskandariyah, sang imam dan khatib Syekh Ahmad Al Mahlawy terpaksa
menghentikan ceramahnya lantaran dikeroyok massa yang protes terhadap
pernyataannya yang mengafirkan mereka yang menolak konstitusi baru. Pemerintah
Mesir sendiri, melalui Kementerian Wakaf, telah melarang para khatib berbicara
mengenai politik dan menjadikan masjid sebagai arena perebutan kekuasaan. Hal
yang sama juga menjadi sikap Al Azhar. Menurut penasihat senior Syekh Al Azhar,
Sheikh Dr Hasan Syafi'i, kepentingan Al Azhar adalah menjaga persatuan nasional
dan persatuan antarumat Islam. Ia pun mengimbau seluruh warga Mesir mengikuti
referendum. Mengenai pilihan apakah setuju atau menolak rancangan konstitusi
diserahkan kepada hati nurani masing-masing. Menjelang referendum, warga Mesir
memang terpecah ke dalam dua kubu besar: yang mendukung dan menolak konstitusi
baru. Referendum sendiri dilaksanakan dua tahap.Hari Sabtu (15/12/2012)
dilaksanakan di 10 provinsi dan Sabtu mendatang (22/12/2012) untuk 17 provinsi
sisanya. Bila dari hasil referendum yang mengatakan “ya” sebanyak 50 persen
plus 1 maka konstitusi baru akan segera dilaksanakan. Bila sebaliknya, seperti
dikatakan Presiden Mursi, akan diselenggarakan pemilihan secara langsung
terhadap 100 anggota penyusun konstitusi baru.
Untuk referendum kali ini, yang berhak memberikan suara berjumlah sekitar 51
juta dari 85 juta penduduk Mesir. Mereka yang setuju dengan konstitusi baru
merupakan para pendukung Presiden Mursi. Yaitu, kelompok-kelompik Islam,
seperti Partai Kebebasan dan Keadilan (sayap politik Ikhwanul Muslimin). Lalu,
Partai An-Nur (kelompok Salaf), Partai Tengah, Partai Pembangunan dan
Pertumbuhan (Jamaah Islamiyah), Partai Perbaikan dan Kebangkitan, dan kelompok
yang mengklaim sebagai yang “benar-benar Salafi” (Al Asholah Al Salafi).
Kelompok-kelompok Islam ini telah berhasil mengantarkan Mursi menjadi presiden
pertama yang dipilih secara demokratis sejak berdirinya Republik Arab Mesir
pada 1952.
Mereka juga memenangkan pemilihan anggota Majelis Syuro (MPR) dan Majlis Sya'b
(DPR), sebelum yang terakhir ini dibubarkan militer. Atas kemenangan tersebut
(pemilihan presiden dan MPR), kelompok Islam mendominasi 100 anggota penyusun
rancangan konstitusi baru. Sebuah rancangan konstitusi yang dituduh para lawan
politik Presiden Mursi sebagai “terlalu” Islami akan menjadikan Mesir sebagai
negara agama. Karena itu, mereka, para oposan Mursi, menarik diri, termasuk
para wakil Kristen, dari keanggotaan penyusun rancangan konstitusi baru
menjelang diserahkannya kepada presiden untuk selanjutnya dimintakan pendapat
kepada rakyat (referendum).
Mereka yang menjadi lawan politik Presiden Mursi ini merupakan gabungan dari
partai-partai yang kecewa karena kalah dalam pemilihan umum (pemilu). Baik
pemilu presiden, DPR, MPR, maupun pemilihan anggota penyusun rancangan
konstitusi. Mereka berasal dari kelompok liberal, sekuler, Kristen, dan belakangan
bergabung pula kelompok fulul alias orang-orang dari rezim Husni Mubarak.
Sedangkan, tokoh oposan, antara lain, diwakili Ahmad Syafik (mantan PM di era
Presiden Mubarak), Amr Musa (mantan menteri luar negeri di era Mubarak), Hamdin
Sobahi (loyalis terhadap Jamal Abdul Nasir), dan Mohammad Albaradai (pemenang
hadiah Nobel). Mereka bergabung dengan apa yang disebut Front Penyelamat
Nasional.
Pada awalnya, kelompok oposan ini menolak
referendum, namun kemudian menerimanya dan menyerukan kepada para pengikutnya
untuk mencontreng kata “Laa” sebagai penolakan terhadap rancangan konstitusi
baru. Perkembangan politik Mesir ini penting diikuti lantaran ia merupakan
negara paling berpengaruh di Timur Tengah dan juga dunia Islam, termasuk masa
depan Palestina. Untuk Indonesia, Mesir adalah kiblat para mahasiswa yang ingin
belajar agama. Karena itu, apa yang berkembang di Mesir akan memberi pengaruh,
baik positif atau negatif, pada negara kita.
(sumber: republika.co.id)
Posting Komentar
Posting Komentar