(IMAM AL-GHAZALI) |
Perubahan makna Ilmu:
Makna dari penamaan beberapa disiplin ilmu kadang akan merubah otentitas dari kandungan ilmu itu sendiri. Imam Ghazali mengatakan bahwa banyak orang merubah makna Fiqh, Ilm, Tauhid, Tadzkir dan Hikmah. Perubahan makna ini menyebabkan perubahan otentisannya karena kaitan yang tersirat dari ilmu-ilmu tersebut sangat berhubungan dengan metafisik termasuk juga akhirat, jiwa, dan keterlibatan Allah didalam kebanyakan pembahasannya.
Jika menyinggung dalam disiplin Ilmu Fiqh, Ketika itu Sa’ad ibn Ibrahim ditanya: siapakah ulama’ faqih di Madinah? Dia menjawab: dia yang lebih banyak takut kepada Allah. Rasulullah SAW juga pernah bersabda: Seorang manusia tidak bisa disebut seorang faqih yang sempurna jika tidak membuat manusia memahami tentang existensi Allah. Oleh karena itu, ketika banyak yang merubah makna fiqh, Ilm, Tauhid, Tadzkir dan hikmah dan memisahkannya dari keterlibatan Allah didalamnya maka sebenarnya itu adalah ilmu yang tidak terpuji.
Dalam kaitan perubahan ini, Imam Ghazali menyinggung bahwa ketika khalifah Umar r.a. meninggal, Hazrat Ibn masud pun berseru bahwa: “Nine-tenths of the science of religion have passed away. The present people used the term Ilm to mean the science of those who can well debate the cases of jurisprudence with their adversaries and those who cannot do that are termed weak and outside the category of the learned men” [26] Demikanlah bahwa memang perubahan makna yang terjadi sungguh banyak merubah esensi ilmu dari sudut pandangan Islam.
Penutup
Sudah banyak yang mengelempokkan disiplin Ilmu sehingga menganggap bahwa ilmu yang mereka galuti adalah yang wajib untuk dipelajari. Imam Ghazali menyebutkan ada lebih dari 20 kelompok yang mengatakan kewajiban ilmu itu wajib dipelajari, seperti kelompok al-Mutakallimun: mereka mengatakan bahwah Ilmu Kalam itu wajib dipelajari karena dapat mengetahui ke-tawhid-an dan Dzat Allah Subhanahu dan juga sifat-sifat_Nya. Ada juga kelompok al-Fuqoha’: mereka mengatakan Ilmu Fiqh itu wajib untuk dipelajari karena dengannya bisa mengetahui ‘Ibadah, halal dan haram dan apa-apa yang diharamkan dan dihalalkan dari mu’amalah .dsb. Oleh karena itu pembagian-pembagian diatas menggambarkan bahwa betapa pentingnya ilmu itu dipelajari.
Sekarang, ilmu yang kita pelajari menjadi sebuah pilihan. Ketika dihadapkan kepada 2 pilihan maka pilihan itulah yang akan kita ambil. Jika ingin yang terbaik, maka pilihlah jalan yang sudah dilakukan ulama’ terdahulu karena mereka adalah para waratsatul anbiya’, dan jika sebaliknya maka pilihlah jalan yang dilalui generasi terbaru. Yang jelas, Imam Ghazali sudah menjelaskan bahwa tujuan ilmu hanyalah agar dekat dengan Allah dan mengenal lebih banyak tentang_Nya. Jika sudah mengenal Allah maka rasa cinta akan tumbuh dan kemudian menjadi lebih dekat kepada_Nya Rabbul ‘arsyil adzim. Jati diri ini akan ditemukan ketika kita sudah mengetahui Allah dengan ilmu_Nya yang kita pelajari, seperti sabda Rasulullah: “Man ‘arafa nafsahu faqod ‘arafa Rabbahu” Artinya barangsiapa yang sudah mengetahui [jati] dirinya maka artinya dia sudah mengenal Tuhannya. Oleh karena itu, kenalilah Allah dengan belajar semua Ilmu_Nya karena Ilmu itu wajib untuk dipelajari oleh setiap muslim. Dia adalah tuntutan agar bisa mengenal Allah. Dan musuh manusia paling besar adalah kebodohannya sendiri, “Annasu a’daa_un ma jahilu”.
Sekian dan Terimakasih.
“Belajar itu murah tapi Ilmu itu mahal”
-Referensi:
* Kandidat Master Ushuluddin di Universitan Islam Antar bangsa, Malaysia.
** Makalah perdana Kajian Kitab Klasik (Triple K) di Universitas Islam Antarbangsa, Malaysia.
[1] Penyampaian Dr. Syamsuddin Arif ketika membentang makalah beliau di Universti Malaya. 3 April 2010
[2] Lih. artikel berjudul, Transmigrasi Ilmu: Dari Dunia Islam ke Eropa” oleh Dr. Syamsuddin Arif, ketika menjadi pembicara di International Seminar on The Enlightenment of Islamic Civilization, 13 November 2010 di Universitas Sulatan Agung (UNISSULA) Semarang, p.3
[3] Sebuah buku yang memaparkan pertanyaan-pertanyaan itu sudah dipresentasikan oleh shobibul manar “Ashayyid Rosyid Ridho”. Beliau mempresentasikannya karena permintaan dari seorang yang selalu diberi julukan sebagai amirul bayan,”Syakit irsalan”. Syakit Irsalan ini seorang ilmuwan besar di wilayah timur ‘arab, yang kemudian menulis sebuah buku berjudul Limadza ta’akhorul Muslimun wa limadza taqoddama ghoiruhum, (al-Qohiroh: mathba’ah al-manar), 1930 M.
[4] Sebuah renungan dari M. Iqbal yang mengatakan: “One cannot resurrect a ‘dead’ tradition by infusing an alien ‘blood’ into it.” Artinya satu kejadian tidak dapat menghidupkan sebuah tradisi ‘kematian’ dengan cara menginfus darah satu alien kedalamnya. Lihat artikel “Islam dan Sains: Renungan dan Rancangan” oleh Dr. Syamsuddin ‘Arif
[5] Mumtaz Ali, Critical Thinking an Islamic Perpective (Kuala Lumpur: Percetakan Adiwarna Utama), 1st edition: 2008, Hal. 34
[6] QS. Azzumar: 9
[7] Man tafaqqoha fi dinillah ‘azza wajalla, kafahullahu ta’ala ma ahammahu warazaqohu min haitsu la yahtasib. HR. Khotib
[8] Mengambil sabda Rasulullah SAW: Man salaka thoriqon yathlubu fihi ‘ilman sallakallahu bihi thoriqon ilal jannah. (HR. Muslim)
[9] Mengambil sabda Rasulullah SAW: Li an taghdu fatata’allam baban minal ‘ilm khoirun min an tusholli mi’ata rak’atin(HR. Ibn Majah)
[10] . وإن فريقا منهم ليكتمون الحق وهم لايعلمونQS. Al-Baqoroh: 146
[11] ومن يكتمها فإنه إثم قلبه. QS. Al-Baqoroh: 283
[12] Dalam penjelasan makna fadhilah ini, Imam Ghazali mendefinisikannya bahwa dia diambil dari kata fadhl yang bermakna Ziyadah. Hubungannya dengan Ilmu adalah sesungguhnya Ilmu merupakan Ziyadah (kelebihan) jika disandarkan dari sifat-sifat yang lain seperti halnya kuda betina mempunyai fadhilah dari pada hewan-hewan yang lain. Ilmu adalah fadhilah dalam sesama disiplin ilmu dan selainnya juga. (Lih. Ihya ‘Ulumuddin, vol 1, edisi ke 3 hal. 20)
[13] Imam Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin (Bairut: Darul Kutub al-Ilmiyah), Jilid 1, Cet k3, p. 20
[14] Ibid, p. 20
[15] Ibid, p. 20
[16] Ibid, hal. 22
[17] Ibid, hal. 23
[18] Ibid, hal. 23
[19] Ibid, hal 24
[20] Ibid, hal. 24
[21] Fazlul Karim, Revival of Religious learning Imam Ghazali’s Ihya ‘ulumuddin. (Karachi: Darul-ishat), vol 1, 1993
[22] Ibid, hal 23
[23] Ibid, hal. 26
[24] Ibid, hal. 22
[25] قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إنّ من العلم كهيئة المكنون لا يعلمه إلا أهل المعرفة بالله تعالى، فإذا نطقوا به لم يجعله إلا أهل الاغترار بالله تعالى علما منه، فإن الله عز وجل لم يحقره إذ آتاه إياه (Ihya, Ibid, hal. 27)
[26] Fazlul Karim, Revival of Religious learning Imam Ghazali’s Ihya ‘ulumuddin. hal. 46
[Penulis : Fejri Gasman, fejrigasman.wordpress.com]
Posting Komentar
Posting Komentar