Membaca sejarah orang-orang shaleh yang sudah mendahului kita sangatlah dianjurkan apalagi ulama-ulama shaleh yang terkenal sebagai penegak kalimah Laa ILaha ILallah agar dapat diambil hikmahnya guna meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Di dalam kitab Bughyat al_Mustarsyidin, hlm. 97:
وَقَدْ وَرَدَ فِي اْلَاثَرِ عَنْ سَيِِّدِ الْبَشَرِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قاَلَ :مَنْ وَرَّخَ مُؤْمِناَ فَكَأَنمَّاَ اَحْياَهُ وَمَنْ قَرَأَ تاَرِيْخَهُ فَكَأَنمَّاَ زَارَهُ فَقَدْ اسْتًوْجَبَ رِضْوَانَ اللهِ فيِ حُزُوْرِ الْجَنَّةِ.
Tersebut dalam surat atsar: Rasulullah S.A.W. pernah bersabda: Siapa membuat/membaca sejarah orang mukmin ( yang sholeh dan sudah meninggal ) sama saja menghidupkan kembali; siapa memmbacakan sejarahnya seolah-olah ia sedang mengunjunginya, Allah akan memberikan surga.
Kesempatan kali ini riwayat yang ditulis adalah mengenai salah seorang ulama nusantara yakni Syeikh Abd al-Samad al-Jawi al-Palimbani.
RIWAYAT HIDUP AL-PALIMBANI
Abd al-Samad al-Jawi al-Palimbani adalah orang Indonesia yang berasal dari Palembang. Ia adalah putra Syekh Abd Jalil bin Syekh Abd al-Wahab bin Syekh Ahmad al-Madani dari Yaman yang diangkat
menjadi mufti negeri Kedah, dengan istrinya Raden Ranti dari Palembang. Sebelum ia kawin di Palembang, Syekh Abd Jalil telah kawin di Kedah, dan dari perkawinan tersebut ia mendapat dua orang putra yaitu Wan Abd al-Qadir dan Wan Abdullah. Tetapi Abd al-Samad lebih tua dari kedua saudara seayahnya, karena keduanya lahir setelah Syekh Abd al-Jalil pulang tiga tahun setelah kepergiannya ke Palembang, di mana ia kawin lagi dan mendapat seorang putra yang bernama Abd Samad. Selanjutnya Abd Samad dan saudaranya Wan Abd al-Qadir diantar ke Mekkah, sehingga akhirnya ia dikenal dengan sebutan Syekh Abd Samad al-Palimbani, dan saudaranya tersebut diangkat menjadi mufti negeri Kedah, menggantikan ayahnya. (Chatib Quzwain, 9)
Penobatan Sultan Kedah terjadi pada tahun 1112 H/1700 M. Tidak lama kemudian, Syekh Abdul Jalil diangkat menjadi mufti dan dikawinkan dengan Wan Zainab, putri Dato Sri Maharaja Dewa. Tidak berapa lama setelah perkawinan itu mereka melahirkan anak, Syekh Abd al-Jalil dijemput oleh utusan dari Palembang untuk berkunjung ke sana melepaskan rindu kepada murid-muridnya yang sudah sangat lama ditinggalkan.
Berdasarkan keterangan ini, al-Palimbani lahir di Palembang sekitar tiga atau empat tahun setelah 1112 H/1700 M. Menurut catatan yang terdapat dalam kitab Sair al-Salikin, kitab tersebut mulai ditulisnya pada tahun 1193 H/1779 M. (Abd Samad Al-Palimbani, TT : 3).
Menurut Yusuf Halidi, al-Palimbani menuntut ilmu di Mekkah bersama-sama dengan Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul Wahab Bugis dari Sulawesi Selatan dan Abdul Rahman Masri dari Jakarta, “empat serangkai” yang kemudian sama-sama belajar thariqat di Madinah kepada Syeikh Muhammad al-Samman, dan akhirnya mereka bersama-sama pula pulang ke daerah mereka masing-masing di Indonesia. (Yusuf Halidi, 1980 : 33)
Tasawuf merupakan bidang spesialisasi Al-Palimbani, sehingga dalam Sair al-Salikin, ia menyebut lebih dari seratus kitab tasawuf serta mengklasifikasinya menurut isi masing-masing kitab tersebut. Ada yang dianggapnya boleh dibaca oleh orang yang masih berada di tingkat permulaan (mubtadi), ada yang merupakan bacaan orang yang sudah mencapai tingkat pertengahan (mutawassith) dan ada pula yang hanya boleh dibaca oleh orang yang sudah mencapai tingkat penghabisan (muntahi) saja.
Al-Palimbani mengambil Tarekat al-Khalwatiyah melalui Syekh Muhammad al-Samman di Madinah, yang selanjutnya dikenal sebagai pendiri Tarekat Sammaniyah. Dalam tulisan-tulisannya, khususnya dalam Hidayat al-Salikin dan Sair al-Salikin, ia selalu menyebut dirinya sebagai murid dari Syekh Muhammad al-Samman al-Madani. Mengenai karya tulis Al-Palimbani, ada beberapa kitab seperti yang penulis kutip dari Chatib Quzwain diantaranya
(1) Hidayat alSalikin,
(2) Sair al-Salikin, yang secara berurutan merupakan terjemahan dari Bidayat al-Hidayat dan Lubab Ihya’ Ulum al-Din – Karangan AlGhazali,
(3) Zahrat al-Murid fi Bayan Kalimat al-Tauhid,
(4) Nasihat alMuslimin wa Tazdkirat al-Mu’minin fi Fadha’il al-Jihad fi Sabilillah, (6), Al-‘Urwat al-Wutqa wa Silsilat Uli al-Ittiqa,
(7) Ratib Abd al-Samad alPalimbani (Chatib Quzwain, 22 – 30).
Pokok-pokok Ajaran Suluk al-Palimbani
a. Taubat
Al-Palimbani memandang taubat sebagai langkah pertama yang harus diambil oleh setiap orang yang ingin menempuh jalan ini. Menurut dia taubat merupakan jalan bagi orang yang salik yang menyampaikannya untuk berbuat ibadah yang sempurna yang menyampaikan kepada makrifah Allah. (Abd Samad Al-Palimbani, TT : 3) di samping itu, ia juga menerangkan tentang taubat yakni “Suatu makna yang bersusun daripada tiga perkara : ilmu, hal, dan fi’il, yakni perbuatan”.
Menurut dia, taubat adalah suatu kewajiban agama yang harus dilakukan oleh setiap orang yang melakukan perbuatan dosa. Untuk mendapat kebulatan tekad dalam bertaubat itu, harus dilakukan tiga hal :
- Pertama, “bahwa maksiat yang membawa kepada dosa sangat keji dan sangat jahat kepada Allah dan kepada manusia”. - Kedua, harus diingat “betapa beratnya siksaan Allah SWT dan Allah sangat murka atas orang yang berbuat maksiat”. - Ketiga, harus diingat kelemahan diri untuk “menanggung siksa yang sangat sakit di akhirat” nanti. (Al-Palimbani, Jilid IV : 7 – 8). Menurut Al-Palimbani, taubat itu terbagi dalam tiga tingkatan :
- Pertama, taubat orang awam;
- Kedua, taubat orang khawash;
- Ketiga, taubat orang khawash al khawash.
Taubat dari “maksiat yang zahir, merupakan taubat tingkatan pertama seperti berzina, membunuh, merampas, mencuri dan sebagainya;
Taubat yang kedua yakni orang khawash taubat dari “maksiat batin” seperti ujub, ria, takabur, hasad dan sebagainya;
sedangkan orang khawash al khawash, taubat dari segala yang terlintas di dalam hatinya yang lain dari pada Allah SWT, karena ibadah mereka itu senantiasa hadir hati kepada Allah SWT dan mengekali pada tiap-tiap masa (waktu) itu dengan dzikrullah (ingat kepada Allah) di dalam hati dan syuhud (memandang dalam hati) akan Allah Taala.
Tingkat taubat yang ketiga ini, nampaknya bukan lagi “permulaan jalan bagi orang yang salik” karena orang yang bertaubat dari segala yang terlintas di dalam hati selain Allah itu adalah orang khawash al khawas, yang setiap waktu mengingat Allah, bahkan memandang-Nya. Dengan kata lain, taubat pada tingkat ketiga ini adalah taubat orang yang sudah sampai ke puncak makrifah yang berada di ujung jalan orang sufi, yang hanya dicapai oleh seorang salik yang telah menempuh perjalanan panjang.
Pada tahap permulaan maqam taubat dalam perjalanan seorang salik hanya meliputi taubat orang awam dan taubat orang khawash, yang masih bergulat melawan hawa nafsu untuk membebaskan diri dari “maksiat lahir” dan “maksiat batin.” Tetapi perjuangan ini pun belum dapat dirampungkan pada maqam taubat, karena maksiat batin hanya terhapus setelah seorang salik berada pada maqam zuhud.
Menurut al-Palimbani, dosa-dosa batin “tersimpan” dalam sepuluh perkara sebagai berikut :
1. Banyak makan
2. Banyak berkata-kata,
3. Pemarah,
4. Dengki,
5. Kikir dan cinta harta
6. Cinta kemegahan dan kebesaran
7. Cinta dunia,
8. Tinggi hati,
9. Uzub,
10. Ria
Sepuluh macam dosa ini, merupakan sebagian dari dosa besar yang ada di dalam hati. Di samping itu ada empat macam dosa besar yang termasuk dalam dosa bathin yaitu :
1. Menyekutukan Allah,
2. Mengekalkan berbuat maksiat,
3. Putus asa dari rahmat Allah,
4. Tidak takut siksa Allah.
Perasaan “Cinta dunia” itu akan terhapus setelah seorang salik mencapai maqam zuhud; tetapi sebelum sampai ke sana ia harus melewati maqam takut dan harap, yang erat hubungannya dengan kejiwaan seorang salik yang masih berada dalam tahap permulaan.
b. Takut dan Harap
Pada tahap tertentu, takut dan harap sangat dominan dalam diri seorang salik sehingga merupakan maqamnya. Hal ini terjadi pada tahap permulaan, tetapi sebagaimana halnya dengan maqamat
yang lain, takut dan harap ini pun menurut dia masing-masing dikatakan maqam bagi seorang salik apabila perasaan-perasaan ini mantap di dalam dirinya; kalau hanya dirasakan pada saat-saat tertentu saja, hal itu termasuk ahwal. Semakin dalam ilmu seseorang mengenai Tuhan dan mengenai dirinya, semakin tinggi pula rasa takutnya kepada Allah. Rasa takut kepada Allah dapat membebaskan seseorang dari takut pada
yang lain, bahkan melahirkan suatu kepribadian yang disegani oleh semua orang. Dalam hal ini, Al-Palimbani mengutip hadits Nabi SAW : “Barang siapa takut akan Allah Taala niscaya takut akan dia oleh tiap-tiap sesuatu; dan barang siapa takut yang lain daripada Allah niscaya takut ia daripada tiap-tiap sesuatu”. Lebih penting lagi,
rasa takut kepada Allah akan membawa seseorang untuk banyak berzikir kepada Allah dan melazimkan hadir hati kepada Allah Taala” membanyakkan dzikir akan melazimkan mahabbah (cinta) Allah” yang membawa jinak hati kepada Allah Taala; semuanya itu membawa kepada makrifah Allah; dan tiada yang terlebih afdhal dan
mulia di dunia dan di akhirat melainkan makrifah akan Allah Taala. Dengan kata lain, takut kepada Allah adalah suatu maqam yang melahirkan maqamat sesudahnya yang akan menyampaikan seorang salik kepada makrifah.
Tetapi, sebagaimana halnya rasa takut, rasa harap ini pun pada tahap tertentu dapat menguasai perasaan seorang salik sehingga ia memiliki maqam harap (raja’). Tetapi dua maqam ini menurut AlPalimbani, tidak ada yang lebih utama dari yang lain. “Khauf (takut) dan raja’ (harap) menurutnya seperti roti dan air; jikalau sangat
dahaga, maka air lebih afdal. Apabila seseorang putus asa dari rahmat Allah, maka raja’ lebih afdhal baginya. Mana yang lebih utama antara takut dan harap, yang menentukan adalah keadaan orang yang bersangkutan.
Amal perbuatan yang dikerjakan atas dasar harap pada dasarnya derajatnya lebih tinggi dari yang dilakukan atas dasar takut, bahkan rasa harap itu sendiri lebih tinggi derajatnya daripada rasa takut, demikian dikatakan oleh Al-Palimbani. Menurutnya, hal ini diisyaratkan oleh Hadits nabi SAW : “Jangan mati seseorang melainkan dia berbaik sangka pada Allah Taala” yakni membanyakkan harap akan keridhaan Allah. Dengan demikian,
harap kepada Allah itu adalah suatu maqam yang lebih tinggi dari pada pada maqam takut, karena hal itu lebih dekat kepada maqam cinta (mahabbah). Sebagaimana halnya maqam takut, maqam harap ini pun dianggap lahir dari ilmu.
Kalau yang pertama lahir dari ilmu seseorang mengenai siksaan Allah terhadap orang yang maksiat, rasa harap ini menurut Al-Palimbani dapat diperkuat dengan “memikirkan nikmat yang diberikan oleh Allah Taala” yang tidak terhingga banyaknya.
Kalau yang pertama lahir dari ilmu seseorang mengenai siksaan Allah terhadap orang yang maksiat, rasa harap ini menurut Al-Palimbani dapat diperkuat dengan “memikirkan nikmat yang diberikan oleh Allah Taala” yang tidak terhingga banyaknya.
Namun keduanya melahirkan buah yang sama, yakni ketaatan mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Orang yang sudah mencapai tingkat makrifah, yakni orang arif,berada di maqam cinta (mahabbah), tingkat para aulia Allah yang menurut Al-Qur’an “Tiada lagi bagi mereka rasa takut dan mereka pun tiada bersedih”. Tetapi untuk mencapai maqam cinta kepada Allah itu masih ada beberapa maqam lagi yang harus dilalui; diantaranya adalah maqam zuhud.
(bersambung ke bagian Kedua)
(Ditulis ulang oleh: Dokumen Pemuda TQN Suryalaya News, sumber: http://digilib.sunan-ampel.ac.id, dari Tulisan Karya : Hasni Noor,S2 IAIN Antasari Banjarmasin Tahun 2004, Dosen Dpk pada Universitas Islam Kalimantan )
Posting Komentar
Posting Komentar