c. Zuhud
Al-Ghazali mengibaratkan hati manusia seperti sebuah bejana yang penuh dengan air; untuk mengisinya dengan cuka, air yang ada di dalamnya harus dikeluarkan sebesar volume cuka yang akan dimasukkan. Kalau seluruh bejana itu akan diisi dengan cuka, seluruh air yang ada di dalamnya harus dikeluarkan lebih dahulu.
Demikianlah halnya cinta kepada Allah itu tidak mungkin memasuki hati yang masih penuh dengan cinta kepada yang lain. Untuk mencintai Allah dengan sepenuh hati, cinta kepada yang lain harus dikeluarkan seluruhnya dari dalam hati. Karena itu, seperti yang terdapat dalam uraian Al-Palimbani mengenai taubat, cinta harta, cinta kebesaran atau kemegahan dan cinta dunia, semuanya dipandang sebagai dosa besar yang harus dijauhi oleh setiap salik.
Zuhud pada hakikanya adalah meninggalkan sesuatu yang dikasihi dan berpaling darinya. Karena itu sikap seseorang yang “meninggalkan kasih akan dunia” karena menginginkan “sesuatu di dalam akhirat,” dikatakan zuhud. Tetapi tingkat zuhud yang tertinggi, menurut dia, ialah meninggalkan “gemar daripada tiap-tiap sesuatu yang lain daripada Allah, hingga engkau tinggalkan gemar daripada sesuatu yang di dalam akhirat”.
Dengan demikian, pengertian zuhud itu ada tiga macam :
Pertama, meninggalkan sesuatu karena menginginkan sesuatu yang lebih baik dari padanya.
Kedua, meninggalkan keduniaan karena mengharapkan sesuatu yang bersifat keakhiratan, dan
Ketiga, meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena mencintai-Nya. Al-Palimbani menjelaskan mengenai orang yang zuhud, ada tiga tingkatan yang mencerminkan proses kejiwaan seorang salik dalam menempuh kehidupan zuhud yakni :
- Pertama, zuhud “orang mubtadi” (permulaan) yang baru menjalani jalan yang menyampaikan (kepada) makrifah akan Allah itu, “yaitu orang yang di dalam hatinya masih ada rasa kasih dan cenderung kepada keduniaan, tetapi ia bersungguhsungguh untuk melawan hawa nafsunya.
- Kedua, “orang yang Mutawassith (pertengahan), yaitu orang yang telah mudah hatinya meninggalkan akan dunia itu, tiada lagi ia sangat kasih akan dunia itu”.
- Ketiga, orang yang muntahi, yakni ‘Arifin (orang-orang arif), yang bagi mereka dunia itu “seperti kotoran saja”, tidak ada nilainya lagi, sehingga segenap hati mereka sudah menghadap ke akhirat.
Namun di atas itu masih ada satu tingkat lagi, yaitu orang yang “meninggalkan daripada hatinya yang lain daripada Allah Taala,” baik dunia maupun akhirat. Zuhud dalam arti dan tingkatan seperti tersebut itu adalah satu maqam dalam perjalanan seorang salik yang menurut Al-Palimbani terdiri dari tiga perkara : ilmu, hal dan amal.
Dalam hal ini al-Palimbani menjelaskan secara rinci batas-batas kebutuhan duniawi yang boleh dipenuhi oleh seorang zahid. Patokan yang digunakannya adalah “bahwa orang yang zuhud, dalam mengambil sesuatu dari dunia (hanya mengambil) akan sekedar darurat hajatnya yang mendirikan akan dia pada kehidupan badannya”. Dengan kata lain, seorang zahid hanya boleh memenuhi kebutuhan jasmaninya yang pokok saja dan dalam kadar yang tidak mungkin dihindari untuk menyangga kelangsungan hidupnya.
Mengenai hal ini, orang-orang zahid dibaginya dalam tiga tingkatan :
“Derajat yang terlebih tinggi, derajat pertengahan dan derajat yang terbawah (rendah). Orang zahid pada derajat yang tertinggi hanya memiliki makanan untuk satu kali makan saja, tidak mempunyai simpanan untuk jam makan berikutnya berupa makanan pokok dalam kadar minimal untuk dapat mengerjakan ibadah. Ia hanya makan satu kali dalam tiga hari atau satu kali dalam tujuh hari, atau lebih jarang lagi. Pakaian yang dimilikinya hanya cukup untuk mengelak kedinginan
atau kepanasan, di samping menutup aurat; dan tempat tidurnya hanya di pojok-pojok mesjid atau di tempat gurunya memberikan pelajaran. Meskipun demikian, orang zahid boleh juga kawin, sepanjang perkawinan itu tidak mengganggu kebulatan hatinya kepada Tuhan.
Ukuran-ukuran ini semakin longgar untuk kehidupan zuhud yang pertengahan dan yang paling rendah. Seorang zahid pada tingkat yang disebut terakhir ini boleh menyimpan makanan untuk keperluan pokoknya selama satu tahun; ia boleh makan satu kali sehari, meskipun dalam ukuran sederhana sekali; ia boleh memakai seperangkat pakaian yang terdiri dari baju, celana, kopiah dan sapu tangan, meskipun semuanya itu hanya boleh dimiliki selembar saja; dan ia boleh memiliki rumah kediaman yang layak, baik dibeli atau disewanya, selama tidak melebihi taraf kesederhanaan.
Namun tingkat zuhud tertinggi, menurut Al-Palimbani bukan tidak memiliki sesuatu, tetapi tidak menginginkan sesuatu selain Allah.
Ciri seorang zahid menurutnya ada tiga perkara :
1) Ia tidak gembira dengan adanya sesuatu dan tidak sedih dengan hilangnya sesuatu.
2) Orang yang memuji dan orang yang mencelanya dianggapnya sama saja.
3) Ia merasa intim dengan Tuhan dan merasa lezat dalam mentaatiNya. (Al-Palimbani, Jilid IV : 99).
Semua ini mungkin bisa dipertahankan oleh seorang zahid yang di dalam hatinya tidak ada lagi sesuatu selain Allah, walaupun ia memiliki kekayaan dan kebesaran. Karena itu, maqam zuhud ini, nampaknya adalah pendahuluan dari maqam syukur yang mencerminkan kejiwaan seorang muslim yang selalu memandang Tuhan dalam semua nikmat yang dilimpahkan kepadanya. Tetapi sebelum mencapai maqam tersebut masih ada satu maqam lagi yang harus dilewati, yaitu maqam sabar.
(Bersambung ke Bagian Ketiga)
(Ditulis ulang oleh: Dokumen Pemuda TQN Suryalaya News, sumber: http://digilib.sunan-ampel.ac.id, dari Tulisan Karya : Hasni Noor,S2 IAIN Antasari Banjarmasin Tahun 2004, Dosen Dpk pada Universitas Islam Kalimantan )
Posting Komentar
Posting Komentar