d. Sabar
Menurut Al-Palimbani, sabar adalah menahan diri dalam memikul suatu penderitaan , baik dalam kedatangan sesuatu yang tidak diingini maupun dalam hal kepergian sesuatu yang disenangi.
Sabar terbagi dalam tiga tingkatan :
• Pertama, sabar “orang awam” yang disebutnya tashabbur (bersabar), yaitu “menanggung kesusahan dan menahan kesakitan” dalam menerima hukum Allah;
• Kedua, sabar “orang yang menjalani tarikat,” yaitu “jadi biasa ia dengan bersifat dengan sabar telah mudah atasnya segala yang susah yang datang akan dia itu”.
• Ketiga, sabar orang arif yang telah mengenal Allah, yang disebutnya ishthibar, yaitu “bersedap-sedap dengan kena bala dan suka ia dengan ikhtiyar (pilihan) Tuhannya. Sebagaimana maqamat yang sebelumnya, tingkat yang tertinggi bagi maqam sabar inipun, nampaknya hanya dicapai oleh orang yang sampai ke tingkat makrifah; adapun maqam bagi orangorang salik yang belum mencapai makrifah adalah sabar tingkat pertama dan tingkat kedua. Menurut Al-Palimbani, maqam sabar inipun terdiri dari ilmu, hal dan amal; yang dimaksudkan dengan ilmu di sini ialah pengetahuan atau kesadaran bahwa sabar itu mengandung “maslahat di dalam agama” dan memberi manfaat di dunia dan di akhirat; dari ilmu ini lahir ketabahan hati, yang selanjutnya mendapat perwujudan dalam tingkah laku seorang yang sabar menghadapi segala penderitaan yang dialaminya.
Sifat sabar ini adalah suatu hal yang harus dimiliki oleh seorang salik sejak ia menginjakkan kakinya di maqam zuhud, karena untuk menempuh kehidupan zuhud yang telah disampaikan sebelumnya diperlukan kesabaran yang tinggi.
e. Syukur
Hakikat syukur menurut Al-Palimbani adalah “engkau ketahui tiada yang memberi nikmat itu melainkan Allah Taala jua, kemudian maka engkau ketahui pula akan kelebihan segala nikmat Allah atasmu di dalam segala anggotamu dan segala jasadmu dan roh dan segala yang engkau berkehendak kepadanya di dalam kehidupanmu niscaya di dalam hatimu suka dengan Allah dan nikmat-Nya dan dengan anugerah-Nya atasmu”.
Bagi kaum sufi memandang Allah dalam kesenangan lebih sukar daripada memandang-Nya dalam penderitaan. Karena itu, orang sufi yang sudah berani hidup mewah, seperti Haris Al-Muhasibi, misalnya dianggap mencapai maqam yang tinggi dalam kesufiannya.
Al-Qur’an pun mengatakan bahwa “Jikalau mereka ditimpa kesusahan, manusia selalu berdoa kepada Allah dan menyerahkan diri kepada-Nya; tetapi setelah mereka mendapat kesenangan banyaklah di antara mereka yang menyekutukan-Nya”.
Orang yang berada pada maqam zuhud merasakan kemesraan hubungan dengan Tuhan dalam kehidupan bathin yang bebas dari segala keinginan duniawi, dan yang berada di maqam sabar merasa berhubungan dengan Tuhannya melalui segala penderitaan yang ditakdirkan atasnya, orang yang sudah mencapai maqam syukur ini malahan memandang wajah Tuhan melalui segala nikmat yang dilimpahkan kepadanya.
Rasa syukur terhadap nikmat Allah itu harus dilahirkan dalam bentuk amal, baik yang dilakukan dengan hati atau diucapkan dengan lidah maupun yang dilakukan dengan anggota.
Berbeda dengan maqamat sebelumnya, maqam syukur ini memerlukan amal perbuatan yang mengandung kebaikan bagi semua manusia; kalau pada maqam zuhud tadi seorang salik membelakangi kehidupan dunia ini untuk membulatkan hatinya kepada Allah, pada maqam ini ia harus melahirkan rasa syukurnya kepada Allah dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat. Hal ini memerlukan keikhlasan yang tinggi agar semua amal kebajikan yang dilakukan itu mencapai tujuannya sebagai pengabdian kepada Allah. Karena itu, sebagaimana halnya maqam zuhud tadi diiringi oleh maqam sabar, maqam syukur ini pun diiringi pula oleh maqam ikhlas.
(Bersambung ke Bagian IV)
(Ditulis ulang oleh: Dokumen Pemuda TQN Suryalaya News, sumber: http://digilib.sunan-ampel.ac.id, dari Tulisan Karya : Hasni Noor,S2 IAIN Antasari Banjarmasin Tahun 2004, Dosen Dpk pada Universitas Islam Kalimantan )
Posting Komentar
Posting Komentar