Menu

TQN PP.Suryalaya

 

(Sambungan dari Bagian Ke-4)

Dilihat dari sudut pandang biasa, barakah memiliki kualitas “magis” — meskipun ia secara esensial merupakan suatu kesatuan dan pendorong serta substansi dari realitas obyektif. Salah satu dari kualitas ini adalah siapa saja yang diberi barakah, atau setiap obyektif yang terkait dengannya, tidak menjadi soal berapa banyak ia telah diubah karena dampak dari orang ini secara spiritual tercurahkan. Oleh sebab itu, pengulangan semata-mata sebuah lelucon Nashruddin akan membawa barakah. “Maka dengan cara inilah ajaran-ajaran Nashruddin dari jalur Hussein ditanamkan selamanya di dalam suatu piranti yang secara keseluruhan tidak bisa diselewengkan tanpa bisa diperbaiki kembali. Seperti air, secara esensial semuanya adalah air, maka dalam pengalaman-pengalaman Nashruddin terdapat suatu takaran minimum yang tidak teredaksi yang bisa memberikan jawaban suatu panggilan, dan akan berkembang jika didorong.” Takaran minimum tersebut adalah kebenaran (truth), dan melalui kebenaran inilah dicapai kesadaran sejati.

Nashruddin merupakan cermin bagi seseorang untuk melihat dirinya sendiri. Tidak seperti cermin kebanyakan, semakin sering dilihat, maka semakin tampak sosok Nashruddin yang asli terproyeksikan di dalamnya. Cermin ini serupa dengan Cup of Jamshid yang termasyhur, sang pahlawan Persia; yang mencerminkan seluruh dunia, dan dalam cermin inilah para Sufi “melihat”.
Karena Sufisme tidak dibangun diatas perilaku artificial, dalam pengertian tersurat dengan rincian eksternal (lahiriah), tetapi di atas rincian komprehensif (pemahaman), maka cerita-cerita Nashruddin harus dialami, begitu juga direnungkan. Selain itu, merasakan kandungan setiap cerita melalui pengalaman langsung akan mendorong “kehadiran” mistik. Salah satu dari perkembangan pertama kehadiran tersebut adalah ketika seorang Sufi memperlihatkan tanda-tanda persepsi superior. Sebagai contoh, ia akan mampu memahami suatu keadaan melalui ilham, bukan melalui penalaran formal. Akibatnya, tindakan-tindakannya kadang-kadang bisa membingungkan para pengamat yang bekerja pada tataran kesadaran-biasa; meskipun demikian yang dihasilkannya akan tepat.

Sebuah cerita Nashruddin yang memperlihatkan bagaimana hasil yang tepat dicapai seorang Sufi melalui suatu mekanisme khusus (“cara yang salah” dalam pandangan orang-orang yang belum tercerahkan) bisa menjelaskan sebagian besar eksentrisitas para Sufi:
Dua orang menghadap Nashruddin ketika ia berperan dalam kapasitasnya sebagai hakim. Salah satunya berkata, “Orang ini telah menggigit telingaku — aku menuntut qishas!” Yang lain bertutur, “Ia menggigitnya sendiri.” Nashruddin menunda kasus tersebut dan masuk kedalam ruangannya. Di sana ia menghabiskan waktu setengah jam berusaha untuk menggigit telinganya sendiri. Seluruh upayanya hanya mengakibatkannya terjerembab dan keningnya lecet. Kemudian ia kembali ke ruang sidang.“Periksa orang yang telinganya digigit!” perintahnya. “Jika keningnya lecet, berarti ia melakukannya sendiri, dan kasus ditutup. Jika tidak, maka orang satunya yang melakukannya, dan orang yang digigit tersebut mendapat ganti-rugi tiga keping perak.” Keputusan yang benar tersebut bisa dicapai melalui suatu cara yang tampaknya tidak logis.Di sini Nashruddin sampai pada jawaban tepat, tanpa melihat logika yang jelas dari situasinya. Dalam cerita lainnya, dimana ia sendiri mengambil peranan orang bodoh (bagi Sufi ini merupakan “Jalan Kehinaan”) dalam bentuk yang ekstrim, Nashruddin menggambarkan (cara) pemikiran manusia kebanyakan:Seorang pelawak bertanya kepada Nashruddin untuk menebak apa yang ada dalam tangannya.“Beri aku suatu tanda,” kata Mullah.“Aku akan memberikan beberapa tandanya,” tutur sang pelawak, “yang berbentuk seperti telur, seukuran telur, penampilan, rasa dan baunya seperti telur. Di dalamnya ada (benda) berwarna kuning dan putih. Benda di dalamnya tersebut cair sebelum Anda memasaknya, tetapi lewat pemanasan akan mengeras. Selain itu, benda ini dihasilkan seekor unggas piaraan …”“Aku tahu!” sela Mullah, “ia sejenis kue.”
Saya pernah mencoba pertanyaan serupa di London. Kepada tiga orang penjual rokok, secara beruntun saya menanyakan tentang, “Benda berbentuk silinder dari kertas yang dipenuhi racikan tembakau, panjangnya sekitar tiga inci, dibungkus dalam karton, kemungkinan dengan diberi gambar padanya.”
Tidak satu pun dari orang-orang yang sehari-harinya menjual rokok tersebut bisa mengenali apa yang saya inginkan. Dua orang dari mereka memberikan jawaban sekenanya — yang satunya mengarahkannya kepada grosir mereka, sementara yang lain kepada sebuah toko yang khusus menjual barang-barang impor eksotik bagi para perokok.”
Kata “rokok” mungkin menjadi pelatuk, yang penting untuk menggambar benda berbentuk silinder yang dibuat dari kertas dan dipenuhi tembakau. Tetapi kebiasaan untuk memerlukan pelatuk tersebut, yang bergantung pada asosiasi-asosiasi, tidak bisa digunakan dengan cara yang sama dalam kegiatan-kegiatan pemahaman. Kesalahannya adalah membawa satu bentuk pemikiran — meskipun mengagumkan pada tempatnya yang tepat — ke dalam konteks yang berbeda, dan berusaha menggunakannya di sana.
Rumi menceritakan sebuah kisah yang menyerupai cerita Nashruddin tentang telur tersebut, tetapi dengan menekankan faktor penting lainnya. Seorang putra raja telah dititipkan kepada para guru mistik yang melaporkan bahwa mereka tidak bisa lagi mengajarinya. Untuk mengujinya, sang raja menanyakan apa yang ada di dalam tangannya. “Benda ini bulat, keras dan berwarna kuning.” “Ini pasti sebuah ayakan,” jawab si anak. Sufisme menekankan perkembangan imbang persepsi-batin, perilaku manusia wajar dan penggunaannya.
Anggapan bahwa hanya karena seseorang hidup maka ia memiliki persepsi, ditolak oleh Sufisme, sebagaimana yang telah kita lihat. Seseorang mungkin secara klinis hidup, tetapi secara perseptif mati. Logika dan filsafat tidak bisa membantunya mencapai persepsi. Satu segi dari cerita berikut menggambarkan hal ini:
Mullah Nashruddin tengah berpikir keras.“Bagaimana aku tahu apakah aku mati atau hidup?”“Jangan bersikap bodoh,” ucap istrinya, “jika engkau mati lenganmu akan dingin.”Segera setelah itu Nashruddin sudah berada di hutan memotong kayu. Saat itu tengah musim angin. Tiba-tiba ia merasa tangan dan kakinya dingin.“Aku pasti mati,” pikirnya, “maka aku harus berhenti bekerja, sebab mayat tidak bekerja.”Dan karena mayat tidak berjalan, ia berbaring di atas rerumputan.Segera setelah itu sekawanan srigala muncul dan mulai menyerang keledainya yang ditambatkan ke sebuah pohon.“Ya, teruskan, ambillah keuntungan dari orang mati!” ucap Nashruddin dari posisinya yang terlentang, “tetapi seandainya aku hidup, tidak akan membiarkan kalian berbuat seenaknya terhadap keledaiku.”
Persiapan pikiran Sufi tidak akan memadai sampai seseorang mengetahui bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri — dan berhenti berpikir bahwa orang lain bisa melakukannya untuk dirinya. Nashruddin membimbing manusia awam dengan menggunakan “kaca-pembesarnya”:
Suatu hari Nashruddin pergi ke toko orang yang menjual segala jenis barang (peralatan).“Anda punya kulit?”“Punya.”“Juga paku?”“Punya.”“Juga zat pewarna?”.“Punya.”“Lantas mengapa Anda tidak membuat sepasang sepatu untuk diri Anda sendiri?”
Cerita tersebut menekankan peran guru mistik, yang esensial dalam Sufisme, yang mempersiapkan titik awal bagi calon Salih (pencari) untuk melakukan sesuatu bagi dirinya sendiri — sesuatu tersebut adalah “kerja-diri” di bawah bimbingan tertentu yang merupakan karakteristik utama dalam sistem Sufisme.
Pencarian Sufi tidak bisa dilakukan dalam persahabatan yang tidak lazim. Nashruddin menekankan persoalan ini dalam kisahnya tentang undangan yang salah-waktu:
Malam telah larut, dan Nashruddin tengah berbincang-bincang di warung teh dengan para sahabatnya. Ketika mereka pergi, mereka menyadari bahwa mereka lapar. “Datang dan makanlah di rumahku!” ucap Nashruddin, tanpa memikirkan akibatnya.Ketika rombongan tersebut hampir sampai di rumahnya, ia berpikir bahwa seharusnya ia pergi lebih dulu untuk mengatakan kepada istrinya. “Kalian tunggu sejenak di sini! Aku akan memberitahu istriku,” tuturnya kepada mereka.Ketika menceritakan kepada istrinya, ia berujar, “Di rumah tidak ada apa-apa! Berani-beraninya kau mengundang semua temanmu …!”Nashruddin pergi ke loteng dan bersembunyi.Para tamu yang kelaparan itu pun segera menghampiri rumahnya dan mengetuk pintu.Istri Nashruddin menjawab, “Mullah tidak ada di rumah!”“Tetapi kami melihatnya masuk melalui pintu depan!” teriak mereka.Ia tidak bisa berpikir apa-apa untuk menjawabnya.Karena diliputi kecemasan, Nashruddin yang menyaksikan percakapan tersebut dari jendela loteng, nongol dan berkata, “Aku bisa keluar lagi melalui pintu belakang, bukankah demikian?”
Beberapa cerita Nashruddin menekankan akan kesalahan dari kepercayaan umum bahwa manusia memiliki kesadaran yang stabil. Dengan adanya kekuatan pengaruh-pengaruh batin dan lahir, perilaku semua orang akan berbeda-beda sesuai dengan perasaan-hatinya dan kesehatannya. Meskipun kenyataan ini diakui dalam kehidupan sosial, tetapi hal ini tidak diakui sepenuhnya dalam filsafat dan metafisika formal.
Paling jauh, seseorang diharapkan menciptakan suatu kerangka kerja dari kesungguhan atau pemusatan dalam dirinya sendiri, dan melalui cara ini diharapkan ia bisa mencapai pencerahan. Dalam Sufisme, kesadaran utuh itulah yang pada akhirnya harus diubah, dimulai dari pengakuan bahwa orang yang ‘belum tercerahkan’ itu sedikit lebih dari sekadar bahan mentah. Ia tidak memiliki sifat yang pasti, tidak memiliki kesadaran tunggal. Di dalam dirinya terkandung “esensi”. Esensi ini belum menyatu dengan keseluruhan wujudnya atau bahkan belum menyatu dengan kepribadiannya. Pada puncaknya, tidak seorang pun mengetahui secara otomatis “siapa” sejatinya dirinya, meskipun terdapat gambaran semua yang bertentangan dengan “kesejatian” tersebut. Hal ini ditekankan dalam cerita Nashruddin berikut:
Suatu hari Nashruddin memasuki sebuah toko.
Pemilik toko menuju untuk melayaninya.
“Pertama-tama,” ucap Nashruddin, “apakah Anda melihatku memasuki toko Anda?”
“Tentu.”

“Apakah Anda pernah melihatku sebelumnya?”
“Belum pernah sama sekali.”
“Lantas bagaimana Anda tahu bahwa ini adalah ‘aku’?”
Betapapun kisah ini bernilai semata-mata sebagai lelucon, tetapi bagi mereka yang memandangnya sebagai idea dari orang bodoh, dan tidak mengandung makna yang lebih dalam, maka mereka tidak akan bisa memanfaatkan kekuatan pencerahan yang terkandung dalam cerita tersebut. Anda memeras dari sebuah cerita Nashruddin hanya sedikit lebih dari yang Anda curahkan. Jika cerita itu tampak tidak lebih dari sekadar sebuah lelucon, maka orang tersebut perlu melakukan “kerja-diri” (mujahadah) lebih jauh. Orang seperti ini digambarkan dalam percakapan Nashruddin tentang rembulan:
“Apa yang mereka lakukan terhadap bulan kala ia tua?” seorang yang pandir bertanya kepada Nashruddin.Jawabannya disesuaikan dengan pertanyaannya, “Mereka memotong-motong setiap bulan tua menjadi empat puluh bintang.”
Banyak dari cerita Nashruddin menjelaskan kenyataan bahwa biasanya orang mencari pencapaian mistis dengan mengharapkan hal itu diperoleh melalui pemahaman mereka sendiri, dan oleh sebab itu secara umum menutup diri mereka sendiri dari pencapaian tersebut sebelum memulainya. Tidak seorang pun bisa berharap untuk sampai mengetahui apa sesungguhnya pencerahan itu dan meyakini bahwa ia bisa mencapainya melalui suatu jalan yang telah ditetapkan dengan baik yang bisa dibentuk sejak awal. Inilah inti persoalan yang digambarkan pada cerita tentang perempuan dan gula berikut ini:
Ketika Nashruddin menjadi hakim, seorang perempuan menemuinya dengan membawa anaknya. “Anak ini,” tutur si ibu, “terlalu banyak makan gula. Aku tidak bisa membiarkannya melakukan hal itu. Oleh sebab itu, aku meminta Anda secara resmi melarang memakannya, sebab ia tidak akan mematuhiku!”Nashruddin mengatakan kepadanya untuk kembali dalam waktu seminggu lagi.“Sekarang,” ucap Nashruddin kepada si anak. “Aku melarangmu memakan gula lebih dari jumlah ini setiap hari!”Pada akhirnya perempuan tersebut menanyakan kepadanya, mengapa begitu lama diperlukan sebelum sebuah perintah sederhana bisa diberikan.“Sebab aku harus membuktikan apakah aku sendiri dapat menghentikan kebiasaan makan gula sebelum memerintahkan orang lain melakukannya.”
Permintaan perempuan tersebut, selaras semata-mata didasarkan pada anggapan-anggapan tertentu. Pertama, bahwa keadilan bisa dilaksanakan semata-mata dengan memberikan perintah. Kedua, bahwa sesungguhnya seseorang bisa makan sedikit gula sebagaimana yang ia inginkan kepada anaknya untuk memakannya. Ketiga, bahwa sesuatu itu bisa disampaikan kepada orang lain oleh seseorang yang tidak terlibat langsung dengan sesuatu tersebut.
Cerita ini bukan sekadar suatu cara mengubah “redaksi” pernyataan, “Kerjakan seperti yang kukatakan, bukan seperti yang kulakukan!” Jauh dari wujud ajaran etis, ini merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar.
Ajaran Sufi hanya bisa dilakukan oleh seorang Sufi, bukan oleh seorang teoritisi atau eksponen intelektual.
Karena sejalan dengan realitas-sejati, maka Sufisme tidak bisa dibuat secara dekat untuk menyerupai apa yang kita anggap sebagai realitas, tetapi ia benar-benar merupakan aturan yang didasarkan atas pengalaman nyata yang lebih mendasar. Sebagai contoh, kita cenderung melihat peristiwa-peristiwa secara sepihak. Kita juga beranggapan tanpa suatu pembenaran, bahwa suatu peristiwa terjadi seolah-olah hal itu terjadi pada suatu “ruang hampa”. Dalam hakikatnya, semua peristiwa terkait dengan peristiwa-peristiwa lainnya. Hanya ketika kita telah mengalami keterkaitan dengan organisme kehidupan itulah kita bisa memahami pengalaman mistis. Jika Anda melihat tindakan yang Anda lakukan, atau yang dilakukan orang lain, Anda akan menemukan bahwa hal itu didorong oleh salah satu dari berbagai stimulan; dan Anda juga menyadari bahwa hal itu bukan suatu tindakan yang “terkecil” — ia memiliki akibat-akibat, kebanyakan justru yang tidak Anda harapkan.

(Bersambung ke Bagian Ke-6)

Posting Komentar

 
Top