"Lelucon" Nashruddin lainnya menegaskan siklus realitas yang mendasar ini, serta hubungan-hubungan tidak kasat-mata secara umum yang terjadi:
Suatu hari Nashruddin berjalan di sebuah jalan yang lengang. Malam mulai turun ketika ia melihat sepasukan berkuda menuju ke arahnya. Imajinasinya mulai bekerja, dan ia khawatir mereka akan merampoknya, atau memaksanya menjadi pasukan. Begitu kuatnya rasa takut ini sehingga ia melompati tembok dan ternyata ia berada di sebuah kuburan. Musafir-musafir lainnya, karena tidak memiliki prasangka sebagaimana Nashruddin, menjadi penasaran dan mengejarnya.
Ketika mereka mendatanginya tengah berbaring tidak bergerak, salah seorang di antara mereka berkata, "Apa yang bisa kami bantu, -- mengapa Anda di sini dengan posisi seperti ini?"
Menyadari kesalahannya, Nashruddin berkata, "Ini lebih rumit dari yang kalian duga. Kalian lihat, aku di sini karena kalian, dan kalian di sini karena aku."
Hanya seorang Sufi (mistik) yang "kembali" ke dunia normal setelah mengalami langsung keterkaitan dari hal-hal yang menjadi berbeda atau tidak terkait, yang benar-benar bisa memahami kehidupan dengan cara ini. Bagi Sufi, setiap metode metafisis yang tidak mencakup faktor (keterkaitan segala peristiwa) ini merupakan suatu metode yang hanya mencampur-aduk hal-hal lahiriah, dan tidak bisa menjadi suatu produk dari apa yang disebut sebagai pengalaman mistik. Metode semacam ini merupakan penghalang bagi pencapaian tujuan sejati yang didambakannya.
Ini bukan untuk menyatakan bahwa Sufi sebagai akibat dari pengalaman-pengalamannya, menjadi terpisah dari realitas kehidupan superfisial. Ia memiliki dimensi ekstra dalam wujud, yang bekerja secara paralel dengan kognisi yang lebih lemah dari manusia wajar. Nashruddin menerangkan hal ini secara menawan dengan pernyataannya:
"Aku bisa melihat dalam gelap."
"Hal itu mungkin saja, Mullah Nashruddin. Tetapi jika benar demikian, mengapa Tuan terkadang membawa lilin di malam hari?"
"Untuk mencegah orang lain menabrakku."
Cahaya yang dibawa oleh Sufi mungkin penyesuaiannya dengan cara-cara dari orang-orang di mana ia berada, setelah se"kembali"-nya dari perjalanan ke dalam suatu persepsi yang lebih luas.
Karena transmutasinya, Sufi merupakan bagian kesadaran realitas yang hidup dari seluruh wujud. Hal ini berarti: Ia tidak bisa melihat apa yang terjadi -- baik pada dirinya maupun orang lain -- dengan cara terbatas seperti yang biasa dilakukan oleh para filosuf atau teolog.
Suatu ketika, seseorang bertanya kepada Nashruddin tentang hakikat Nasib. Ia menjawab, "Apa yang Anda sebut 'Nasib' adalah benar-benar asumsi/dugaan. Anda menduga bahwa sesuatu yang baik atau buruk akan terjadi. Akibat aktualnya itulah yang Anda sebut 'Nasib'." Pertanyaan seperti, "Apakah Anda seorang fatalis?" tidak bisa diajukan kepada seorang Sufi, sebab ia menolak konsep nasib yang tidak berdasar (fakta) yang tersirat dalam pertanyaan tersebut.
Karena ia bisa melihat kaitan-kaitan pada kedalaman satu peristiwa, maka sikap Sufi terhadap peristiwa-peristiwa individual bersifat komprehensif dan tidak memandangnya secara terpisah. Ia tidak bisa mengeneralisir dari data yang terpisah secara artifisial. "Tak satu pun yang bisa menunggangi kuda itu!" ucap sang raja kepadanya. Nashruddin berucap, "Tetapi aku menaiki pelananya." "Apa yang terjadi?" "Aku juga tidak mampu menggerakkannya." Cerita ini dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa ketika suatu fakta yang tampaknya konsisten ditarik sejajar dengan dimensi-dimensinya, maka ia akan berubah.
Apa yang disebut problem komunikasi, yang menarik begitu banyak perhatian, bergantung pada dugaan-dugaan yang tidak bisa diterima oleh Sufi. Seorang awam berkata, "Bagaimana aku bisa berkomunikasi dengan orang lain yang berada di luar hal-hal yang wajar?"
Sikap Sufi adalah bahwa "komunikasi dari hal-hal yang memang harus dikomunikasikan tidak bisa dihalangi. Hal ini berarti wahananya tidak harus ditemukan terlebih dulu".
Nashruddin dan seorang yogi (pendeta), dalam sebuah cerita, keduanya memainkan peran sebagai orang biasa yang, sesungguhnya, tidak memiliki sesuatu pun untuk dikomunikasikan di antara keduanya.
Suatu hari Nashruddin melihat sebuah bangunan aneh yang di pintunya seorang yogi duduk bertapa. Nashruddin memutuskan untuk belajar sesuatu dari sosok yang mengesankan ini, dan memulai pembicaraan dengan menanyakan siapa dan apa yang tengah dilakukannya.
"Aku seorang yogi," ucapnya. "Dan aku menghabiskan waktuku berusaha untuk mencapai keselarasan dengan seluruh makhluk hidup."
"Ini menarik," tutur Nashruddin, "sebab, seekor ikan pernah menyelamatkan hidupku."Sang yogi memintanya untuk bergabung dengannya seraya mengatakan bahwa selama hidupnya yang dicurahkan untuk berusaha menyelaraskan dirinya dengan makhluk hayati, ia tidak pernah begitu dekat terlibat hubungan seperti yang dialami Nashruddin.Ketika keduanya telah bermeditasi selama beberapa hari, si yogi memohon Nashruddin untuk menceritakan lebih rinci tentang pengalamannya yang mengagumkan dengan ikan tersebut, "Karena sekarang kita telah saling mengenal lebih baik," ucap si yogi. "Karena sekarang aku mengenal Anda lebih baik," tandas Nashruddin, "aku ragu, apakah Anda bisa memperoleh manfaat dari ceritaku?"Tetapi si yogi mendesaknya. "Baiklah," kata Nashruddin, "ikan tersebut benar-benar telah menyelamatkan hidupku. Pada waktu itu aku tengah kelaparan, dan ikan itu cukup untuk kumakan selama tiga hari."
Melibatkan diri dengan kapasitas-kapasitas tertentu dari pikiran/jiwa yang menjadi ciri khusus dari apa yang disebut sebagai mistisisme eksperimental, merupakan sesuatu yang tidak satu pun Sufi berani melakukannya. Hasil dari percobaan terus-menerus tersebut tidak terhitung banyaknya pada beberapa abad yang lalu. Secara aktual Sufisme dari pengamatan empirik:
Nashruddin menebarkan segenggam roti di sekitar rumahnya.
"Apa yang Anda lakukan?" tanya seseorang.
"Agar harimau tidak mendekat," jawab Nashruddin."Tetapi di sekitar sini tidak ada harimau.""Tepat! Bukankah ini efektif?" tukas Nashruddin.Salah satu dari berbagai cerita Nashruddin yang ditemukan pada karya Cervantes, Don Quixote (Bagian 14), mengingatkan bahaya-bahaya dari intelektualisme yang kaku."Dengan doktrinku, tidak ada persoalan yang tidak bisa dijawab," ucap seorang rahib yang baru saja memasuki sebuah warung teh di mana Nashruddin tengah duduk dengan para temannya."Dan baru beberapa saat yang lalu," jawab Nashruddin, "Aku ditantang oleh seorang alim dengan sebuah pertanyaan yang tak terjawab.""Apabila hanya aku yang ada di sana! Katakan itu kepadaku, dan aku pastilah menjawabnya.""Baiklah," ucap Nashruddin, "Ia berkata, 'Mengapa Anda berusaha memasuki rumahku di waktu malam'?"Persepsi Sufi terhadap keindahan terkait dengan suatu kekuatan penetrasi yang melampaui ketajaman dari bentuk-bentuk seni ilmu yang biasa. Suatu hari seorang murid mengajak Nashruddin untuk melihat pemandangan danau yang indah untuk pertama kalinya."Alangkah indahnya!" seru Nashruddin. "Tetapi seandainya ...""Seandainya apa, Mullah?""Andai saja mereka tidak menempatkan air di dalamnya."
Dalam rangka meraih tujuan mistik, Sufi harus memahami bahwa pikiran tidak bekerja dengan cara seperti yang kita duga. Selain itu dua orang yang saling "kenal" mungkin benar-benar saling merasa ragu.
Suatu hari Nashruddin meminta istrinya untuk membuat sejumlah besar halwa (manisan), dan memberikan semua bahannya kepadanya.
Ia hampir memakan seluruh manisan tersebut.
Di tengah malam, Nashruddin membangunkan istrinya."Aku baru saja memiliki pemikiran penting," ucap Nashruddin."Katakan kepadaku!" desak istrinya."Bawakan dulu sisa manisannya dan aku akan menceritakannya kepadamu!"Ketika istrinya membawakan sisa manisan tersebut, ia memintanya lagi untuk menceritakan pemikirannya.Pertama-tama Nashruddin menghabiskan manisan tersebut."Pemikiran itu," ucap Nashruddin, "adalah: 'Jangan pernah pergi tidur sebelum menghabiskan seluruh manisan yang dibuat sepanjang hari itu'."
Nashruddin memungkinkan seorang Salik (the Sufi Seeker, sang Pencari) untuk memahami bahwa gagasan-gagasan formal yang beredar pada ruang dan waktu tidak mesti gagasan-gagasan yang bisa mencapai ranah kesejahteraan yang lebih luas. Sebagai contoh, orang yang meyakini bahwa mereka dianugerahi sesuatu karena tindakan-tindakannya di masa lalu dan mungkin akan dianugerahi sesuatu di masa datang untuk perbuatan-perbuatannya di masa depan, tidak akan bisa menjadi Sufi. Konsepsi Sufi tentang waktu merupakan suatu keterkaitan - suatu keberlangsungan (continuitas).
Dalam cerita klasik tentang "kamar mandi Turki" menggambarkan suatu cara yang memungkinkan suatu gagasan bisa dipahami:
Nashruddin mengunjungi tempat mandi Turki. Karena berpakaian jelek, ia dilayani secara kasar oleh petugas yang memberikannya sebuah handuk tua dan secuil sabun. Ketika pergi, ia memberikan sekeping uang emas kepada petugasnya. Pada hari berikutnya ia kembali muncul. Kali ini ia berbusana mewah, dan tentu saja mendapatkan pelayanan yang terbaik dan berbeda.
Ketika selesai mandi, ia memberikan sekeping uang logam terkecil yang ada kepada petugasnya.
"Ini," ucap Nashruddin, "untuk pelayanan yang kemarin. Sementara uang emas itu adalah untuk pelayananmu pada saat ini."
Sisa-sisa pola pemikiran (formal), ditambah ketidakmatangan pikiran, menyebabkan manusia berupaya untuk melibatkan diri mereka ke dalam mistisisme dengan berdasar pada pengertian-pengertiannya sendiri. Salah satu dasar yang pertama diajarkan kepada murid Sufi adalah bahwa ia mungkin memiliki sedikit pemahaman terhadap yang dibutuhkannya, dan mungkin ia menyadari bahwa dirinya bisa mendapatkannya dari belajar dan bekerja di bawah bimbingan seorang guru. Tetapi di luar itu ia tidak bisa mengajukan syarat. Berikut adalah cerita Nashruddin yang dipergunakan untuk menanamkan kebenaran ini:
Seorang perempuan membawa putranya yang masih kecil ke sekolah Nashruddin. "Tolong anak ini ditakut-takuti sedikit!" ucapnya, "sebab ia membuatku sedikit kewalahan."
Nashruddin memelototkan bola matanya, mulai bernapas terengah-engah, berjungkir balik dan melepaskan tinjunya ke meja sampai perempuan yang ketakutan tersebut pingsan. Kemudian Nashruddin menerobos ke luar ruangan.
Ketika Nashruddin kembali dan perempuan tersebut telah siuman, perempuan itu berkata kepadanya, "Aku meminta Anda menakut-nakuti anakku, bukan aku!""Nyonya," ucap Nashruddin, "bahaya tidak mengenal sasaran seperti yang Anda lihat, bahkan aku telah menakut-nakuti diriku sendiri. Ketika bahaya mengancam, ia mengancam semua orang secara sama."
Demikian juga, guru Sufi tidak bisa memasok muridnya hanya dengan sejumlah kecil ajaran Sufisme. Sufisme merupakan keseluruhan, dan di dalamnya mengandung keutuhan, bukan fragmentasi kesadaran yang mungkin digunakan oleh orang yang belum tercerahkan dalam prosesnya sendiri dan mungkin ia menyebutnya sebagai "konsentrasi".
Nashruddin mengolok-olok orang-orang yang tidak sungguh-sungguh dalam belajar, yang berharap mempelajari, atau mencuri rahasia kehidupan tanpa mau berupaya keras:
Sebuah kapal akan tenggelam dan para penumpang berlutut berdoa dan bertobat, seraya berjanji untuk melakukan segala jenis kebajikan jika mereka bisa diselamatkan. Hanya Nashruddin yang tidak bergerak.
Tiba-tiba, di tengah kepanikan tersebut ia melompat dan berteriak, "Sobat, sekarang bangkitlah! Jangan mengubah caramu -- jangan terlalu mengobral janji. Aku kira aku melihat daratan!"
Nashruddin menegaskan kesalahan gagasan mendasar tersebut - yaitu bahwa pengalaman sufi dan pencerahan tidak bisa dicapai melalui pengaturan kembali dari gagasan-gagasan yang sudah dikenal baik, tetapi melalui suatu pengakuan terhadap keterbatasan dari pemikiran biasa, yang hanya melayani untuk tujuan-tujuan duniawi. Dengan melakukan hal ini, ia mengungguli setiap bentuk pengajaran lain yang ada.
Suatu hari Nashruddin memasuki sebuah warung teh dan berseru, "Bulan lebih berguna dari matahari!"
Seseorang bertanya, "Mengapa bisa demikian?"
"Sebab di malam hari kita lebih membutuhkan cahaya."
Penaklukan cahaya nafsu ammarah yang merupakan tujuan dari perjuangan Sufi tidak dicapai semata-mata melalui pengendalian terhadap keinginan (syahwat) seseorang.
Cara ini dipandang sebagai penjinakan terhadap kesadaran liar yang meyakini bahwa ia bisa mengambil apa yang ia butuhkan dari segala sesuatu (termasuk dari sisi ) dan membelokkannya bagi penggunaannya sendiri. Kecenderung untuk memanfaatkan bahan-bahan dari sumber apa pun bagi keuntungan pribadi sangatlah bisa dipahami dalam dunia yang "utuh" secara parsial dari kehidupan biasa, tetapi tidak bisa dibawa ke dalam dunia yang lebih besar dari pemenuhan sejati.
(Bersambung ke Bagian VII)
(Bersambung ke Bagian VII)
Posting Komentar
Posting Komentar