Karena orang kebanyakan berpikir dalam pola-pola (baku) dan tidak bisa menyesuaikan dirinya pada suatu cara pandang yang benar-benar berbeda, maka ia kehilangan sejumlah besar makna kehidupan. Ia mungkin hidup, bahkan maju, tetapi tidak bisa memahami semua yang terjadi. Cerita tentang penyelundup menjadikan hal ini semakin jelas.
Nashruddin biasa membawa keledainya yang punggungnya dimuati kantong-kantong penuh berisi sekam, menyeberangi perbatasan setiap hari. Karena mengaku sebagai penyelundup kala berjalan pulang naik keledainya setiap malam, maka para penjaga perbatasan memeriksanya berkali-kali. Mereka memeriksa orangnya, menurunkan sekamnya, kemudian memasukkannya ke dalam air dan bahkan membakarnya dari waktu ke waktu.
Meskipun demikian ia menjadi semakin makmur dan mencolok. Pada saatnya ia berhenti dan pindah ke negeri lain. Di tempat baru ini ia sudah bertahun-tahun, dimana salah satu petugas bea cukai bertemu dengannya.
“Sekarang Anda bisa menceritakan kepadaku, Nashruddin!” ucapnya. “Apa sebenarnya yang Anda selundupkan dulu, sehingga kami tidak pernah bisa menangkapnya?”“Keledai,” jawab Nashruddin.
Cerita ini juga menekankan salah satu dari kandungan besar Sufisme –bahwa pengalaman yang tidak biasa dan tujuan mistik merupakan sesuatu yang lebih dekat kepada manusia dibanding yang disadari. Anggapan bahwa sesuatu yang esoteris atau transenden pastilah jauh atau rumit telah dianut oleh orang-orang bodoh. Dan orang semacam ini tidak memiliki syarat untuk memberikan penilaian terhadap persoalan. Ini menjadi ” jauh” hanya dalam arah yang tidak ia sadari.
Nashruddin, seperti Sufi lainnya, tidak merusak kaidah-kaidah zamannya. Tetapi Ia menambahkan suatu dimensi baru bagi kesadarannya, dengan menolak menerima terhadap tujuan-tujuan khusus dan terbatas. Bahwa kebenaran, katakanlah demikian, merupakan sesuatu yang bisa diukur sebagaimana sesuatu yang lain. Apa yang disebut oleh masyarakat sebagai kebenaran adalah relatif pada situasi mereka. Dan ia tidak bisa menekannya sampai menyadarinya. Salah satu cerita Nashruddin, salah satu yang paling cerdik, memperlihatkan bahwa sampai seseorang bisa melihat melalui kebenaran relatif, maka tidak ada kemajuan bisa dibuat.
Suatu hari Nashruddin duduk di pengadilan. Raja mengeluh bahwa para pejabatnya tidak jujur. “Paduka,” ucap Nashruddin, terdapat kebenaran dan kejujuran. Orang harus mempraktekkan kebenaran sejati, sebelum mereka bisa menggunakan kebenaran relatif. Mereka selalu mencoba-coba cara lain. Akibatnya adalah bahwa mereka berlaku lancang dengan kebenaran buatan-manusia, sebab secara naluri mereka mengetahui bahwa itu hanyalah suatu ciptaan (manusia).”
Raja menganggap hal ini terlalu rumit, “Sesuatu harus benar atau salah. Aku akan membuat orang berkata jujur dan dengan praktek ini mereka akan terbiasa jujur.”
Ketika gerbang kota dibuka pada esok harinya, sebuah gantungan telah dipasang, yang dipimpin oleh seorang kapten dari pengawal istana. Sebuah pengumuman dilontarkan:“Siapa saja yang memasuki kota, pertama-tama harus menjawab benar pertanyaan yang akan dikemukakan kepadanya oleh kapten pengawal.”Nashruddin, yang tengah menunggu di luar, maju pertama.Kapten tersebut berkata, “Mau ke mana engkau? Jawab dengan jujur — alternatifnya adalah hukuman mati dengan digantung.”“Aku akan,” jawab Nashruddin, “digantung di atas tiang gantungan itu.”“Aku tidak mempercayaimu.”“Jika demikian, baiklah. Jika aku berdusta, gantung aku.”“Tetapi hal itu akan menjadikannya (kebohongan) sebagai kebenaran.”“Tepat,” ucap Nashruddin, “kebenaranmu.”
Calon Sufi juga harus memahami bahwa tolok ukur kebaikan dan keburukan didasarkan pada ukuran individu atau kelompok, bukan atas dasar fakta obyektif. Sampai ia mengalami hal ini secara internal dan juga menerimanya secara intelektual, ia tidak akan mampu mencapai pemahaman yang lebih dalam (batin). Skala pengubahan ini digambarkan oleh cerita tentang perburuan:
Seorang raja yang senang bergaul dengan Nashruddin, dan juga senang berburu, memerintahkannya untuk menyertainya dalam sebuah perburuan beruang. Nashruddin merasa sangat ketakutan.
Ketika Nashruddin kembali ke desanya, seseorang bertanya kepadanya, “Bagaimana berburunya?”
“Luar biasa!”“Berapa ekor beruang yang Anda lihat?”“Tidak seekor pun.”“Lantas, bagaimana bisa luar biasa?”“Jika engkau berburu beruang, dan jika engkau adalah aku, tidak melihat satu pun beruang merupakan pengalaman luar biasa.”
Pengalaman internal tidak bisa disalurkan melalui pengulangan, tetapi harus disegarkan kembali secara terus-menerus dari sumbernya. Banyak madzhab yang tetap beroperasi lama setelah dinamika aktualnya telah kering, semata-mata menjadi pusat pengulangan suatu doktrin yang semakin melemah. Nama ajaran tersebut mungkin tetap sama. Ajaran tersebut mungkin tidak memiliki nilai lagi, bahkan mungkin bertentangan dengan makna asalnya, yang hampir semuanya selalu merupakan pendangkalan terhadap makna salah satu persoalan pokok dalam ceritanya tentang “Kuah Sup Bebek”.
Seorang kerabat jauh mengunjungi Mullah Nashruddin, dengan membawa seekor bebek sebagai buah tangan. Karena gembira, Nashruddin memasaknya dan menyantapnya bersama tamunya. Akan tetapi, akhir-akhir ini orang-orang pedalaman silih berganti mengunjungi rumah Nashruddin, masing-masing orang mengaku sahabat dari “orang yang membawakan bebek itu sebagai buah tangan”.
Lama-kelamaan Nashruddin terkuras. Akan tetapi, pada suatu hari seorang asing lainnya berkunjung, “Aku adalah sahabat dari sahabat dari sahabat kerabat yang membawakan bebek kepada Anda.”
Ia duduk, seperti semua tamu-tamunya, mengharapkan sebuah hidangan. Akhirnya Nashruddin menghidangkan kepadanya semangkuk air panas.“Apa ini?”“Ini adalah sup dari sup dari sup bebek yang dibawa oleh kerabatku.”
Persepsi tajam yang dicapai Sufi kadang-kadang memungkinkan dirinya mengalami hal-hal yang tidak terlihat oleh orang-orang lain. Karena tidak mengetahui hal ini, para anggota dari madzhab-madzhab lainnya secara umum memperlihatkan kelemahan persepsinya dengan mengatakan atau melakukan sesuatu yang secara jelas merupakan akibat dari ketidakmatangan spiritualnya, sehingga seorang Sufi bisa membaca dirinya seperti sebuah buku. Oleh karena itu, persepsi tersebut digambarkan oleh cerita Nashruddin lainnya:
(Bersambung ke bagian ke-4)
(Bersambung ke bagian ke-4)
Posting Komentar
Posting Komentar