Tak ada seorang pun tahu siapa sebenarnya Nashruddin itu, kapan dan di
mana ia hidup. Tujuan keseluruhan tulisan ini adalah menampilkan satu sosok
yang tidak bisa diberi karakter yang sesungguhnya, dan yang berada di luar
waktu. Adalah pesan, dan bukan orangnya, yang penting bagi para Sufi. Hal ini
tidak menghalangi masyarakat untuk memberikan suatu sejarah yang fiktif, dan
bahkan sebuah makam. Para sarjana — berlawanan dengan orang yang terlalu formal
dimana dalam cerita-ceritanya seringkali memunculkan Nashruddin sebagai
pemenang — bahkan telah mencoba menjadikan manuskrip the Subtleties kedalam
serpihan-serpihan terpisah dengan harapan menemukan bahan biografis yang
memadai.
Salah satu “penemuan” mereka pastilah akan mengingatkan bahwa ia
adalah Nashruddin sendiri. Nashruddin mengatakan bahwa ia memandang dirinya
sendiri secara terbalik di dunia ini, demikian papar seorang sarjana. Dan
pandangan ini ia menarik kesimpulan bahwa tahun yang diduga merupakan saat
kematian Nashruddin, atau “nisannya” seharusnya tidak dibaca 386, tetapi 683.
Profesor lainnya merasa bahwa angka-angka Arab yang digunakan, jika benar-benar
terbalik, tampaknya lebih menyerupai angka 274 H. Dengan seksama ia mencatat
bahwa seorang darwis yang dimintainya bantuan dalam persoalan ini, “… sekadar
mengatakan, mengapa tidak memasukkan seekor laba-laba ke dalam tinta dan
melihat tanda apa yang dibuatnya di saat laba-laba itu merayap ke luar. Hal ini
akan memberikan waktu yang benar atau menunjukkan sesuatu.”
Sesungguhnya
angka 386 bermakna 300 + 80 + 6. Jika disesuaikan dengan abjad-abjad Arab, hal
ini akan berbunyi Sy, W, F, yang membentuk kata SyaWaF:
“Menyebabkan seseorang melihat, untuk memperlihatkan sesuatu”. Laba-laba darwis
tersebut akan “memperlihatkan” sesuatu, sebagaimana yang ia katakan sendiri.
Jika
kita melihat beberapa cerita klasik Nashruddin dengan cara seutuh mungkin, kita
segera menemukan bahwa keseluruhan pendekatan skolastik merupakan cara terakhir
yang diperbolehkan oleh Sufi:
Nashruddin, ketika menyeberangi perairan yang ganas bersama seorang sarjana yang berpola pikir kaku dan formalistik, mengatakan sesuatu kepadanya yang secara kaidah bahasa tidak sesuai. “Apakah Anda tidak pernah belajar kaidah-kaidah?” tanya si sarjana tersebut.
“Tidak,” jawab Nashruddin.
“Maka separo kehidupan Anda sia-sia,” ucapnya kepada Nashruddin seraya bertanya, “Apakah Anda pernah belajar berenang?”“Tidak, mengapa?”“Maka seluruh kehidupan Anda sia-sia — kita tengah tenggelam.”
Ini
merupakan penekanan terhadap Sufisme sebagai suatu aktivitas praktis, seraya
menolak bahwa pemikiran formal bisa sampai pada kebenaran, dan pola pemikiran
yang diperoleh dari dunia biasa (pengalamannya) bisa diterapkan pada realitas
yang sesungguhnya, yang bergerak ke dimensi lainnya.
Hal
ini terlihat, bahkan lebih diperkuat oleh sebuah cerita konyol yang dilontarkan
di sebuah warung teh, sebuah istilah tempat Sufi untuk pertemuan para darwis.
Seorang pendeta masuk dan berkata:
“Guruku mengajariku untuk menyebarkan wejangan bahwa manusia tidak akan pernah sempurna sampai seorang yang tidak dizalimi marah pada kezaliman itu, semarah orang yang benar-benar dizalimi.”
Orang-orang yang duduk sesaat merasa terkesan, kemudian Nashruddin berujar:“Guruku mengajariku bahwa seharusnya tidak seorang pun menjadi marah tentang sesuatu sampai ia merasa pasti bahwa apa yang dipikirnya sebagai suatu kesalahan itu pada hakikatnya adalah salah — dan bukan sekadar dugaan.”
Nashruddin,
dalam kapasitas sebagai guru Sufi, sering menggunakan teknik darwis bagi
dirinya sendiri dengan memainkan peranan orang yang belum tercerahkan dalam
sebuah cerita untuk menjelaskan suatu kebenaran. Sebuah cerita terkenal yang
menyangkal kepercayaan dangkal (superfisial) terhadap hukum sebab-akibat
menjadikan dirinya sebagai korban.
Suatu hari Mullah Nashruddin tengah berjalan di sebuah gang ketika seorang jatuh dari atap rumah dan menimpa tubuhnya. Orang yang jatuh tersebut tidak terluka — tetapi justru Mullah Nashruddin yang dibawa ke rumah sakit.
“Ajaran apakah yang bisa Tuan ambil dari peristiwa ini, Guru?” tanya salah satu muridnya.
“Hindari kepercayaan terhadap kepastian atau sesuatu yang tidak bisa dihindari, meskipun hukum sebab-akibat tampak tidak bisa ditolak! Ajukan pertanyaan-pertanyaan teoritis seperti: ‘Jika seseorang jatuh dari atap, apakah lehernya akan patah?’ Ia yang jatuh — tetapi justru leherku yang patah!”
(bersambung ke bagian ke-3)
Posting Komentar
Posting Komentar