Menu

TQN PP.Suryalaya

 

Dalam kisah perseteruan antara dua murid Waliyulloh agung, Arya Panangsang VS Jaka Tingkir, bukan karena motif dendam maupun lainnya, namun perseteruan disini terjadi karena suatu perbedaan pandangan dalam kemaslahatan ilmu Ma’rifatillah. 
Berikut Kisahnya…

Berubahnya sifat Arya Panangsang, bermula dari kematian gurunya Panglima Pasopati agung Sunan Kudus, dan sejak itu pula sifatnya sangat keras, angkuh dan merasa paling sakti di dunia. Hal semacam ini baginya tidak ada lagi Wali yang bisa membimbingnya kecuali (Alm) gurunya.
Kisah perubahan sifat Arya Panangsang, membuat seluruh murid Wali lainnya merasa tercengang. Ya…..siapa yang tidak kenal dengan nama Arya Panangsang, seorang panglima perang paling tangguh dengan segala kesaktian yang pernah ada, beliau juga seorang yang sangat arif dan bijaksana dalam segala hal, namun dengan perubahannya saat ini membuat hati para murid lainnya sangat terpukul.
Betapa tidak, Arya Panangsang selalu mengumbar emosinya dengan menantang semua jawara hingga sering membuat keonaran dimana-mana.
Puluhan bahkan ratusan jawara yang merasa tersinggung atas kesombongannya harus berakhir dengan kematian.


Dalam keadaan yang tidak menentu, salah satu murid Sunan KaliJaga, yang bernama Jaka Tingkir, menghadap gurunya untuk minta ijin guna melawan kesombongan Arya Panangsang.
“Wahai Joko Tingkir, jangan kau sia-siakan hidupmu hanya karena Arya Panangsang, sesungguhnya orang yang akan kau hadapi adalah hamba yang kini sedang zadabiyyah (Hanya ingat kepada Allah) apabila sampai kau menang maka Allah murka kepadamu dan kalau kau kalah, maka dirimu akan dilaknat oleh-Nya, karena melawan orang yang sedang jatuh cinta pada tuhan-Nya, diamlah hingga suatu hari kelak Allah mengijinkanmu”
Dengan patuh Jaka Tingkir, langsung mengundurkan diri dari hadapan gurunya dan langsung bertaubat kepada Allah, atas praduga yang kurang baik terhadap diri Arya Panangsang.
Juga Sunan KaliJaga, setelah kepergian muridnya beliau langsung meminta petunjuk kepada Allah, atas tingkah laku Arya Panangsang, yang dianggap sudah melampui batas Syar’i dan akidah .
Dalam keadaan khusu’ tiba-tiba Sunan Kudus, muncul dihadapannya: “Assalamu alaikum ya Autadulloh” yang langsung dibalas oleh Sunan KaliJaga: “Waalaikum salam ya ahlul Jannah”
“Angger KaliJogo, doamu sampai menggetarkan tiang surga dan alamul Arsy, aku memahami apa yang menjadi beban dihatimu, namun ketahuilah,,,, Allah telah menggariskan lain di Lauhul-Mahfud, bahwa Arya Panangsang, akan menjadi hamba solehnya dialamul Jannah karena mati ditangan muridmu, sesama Waliyulloh. Datangilah istrinya dan bujuk dia agar suaminya mau mendengarkan apa yang kau inginkan”
Setelah itu Sunan KaliJaga, langsung pergi meninggalkan kediamannya menuju istri Arya Panangsang yang bernama Retno Kencono Wungu, putri dari Dewi Lanjar, Penguasa Laut Utara.
Sesampainya ditempat tujuan, ternyata Arya Panangsang, langsung menunggunya: “Wahai Quthbul Autad, aku tahu kau baru saja bertemu dengan guruku dan menyarankan agar istriku bisa menasehatiku, namun ketahuilah!!! aku tidak bisa dinasehati olehmu kecuali dengan kematian”


Dengan sambutan yang kurang mengenakkan hati ini akhirnya Sunan KaliJaga, langsung undur pamit. Selanjutnya beliau tidak langsung pulang melainkan bersilaturrohmi kerumah istrinya Jaka Tingkir, yang bernama Dewi Nawang Wulan Sari, putri dari ibu agung Nawang Wulan, Penguasa Pantai Selatan.
Tahu yang datang gurunya, suami istri ini sangat bersuka cita dan cepat-cepat menjamunya penuh penghormatan. Sang Sunan pun langsung menceritakan perjalanannya sejak bertemu dengan Sunan Kudus hingga sampai datang kerumah Arya panangsang.
Tentu sebagai seorang murid, Jaka Tingkir sangat geram melihat gurunya dihina oleh Arya Panangsang, dan beliau minta ijin untuk membuat perhitungan dengannya. Kali ini Sunan KaliJaga, hanya bisa diam tanpa komentar, namun sewaktu Jaka Tingkir, akan keluar rumah Sunan KaliJaga, langsung menghadangnya.
“Jaka Tingkir, walau Allah telah menggariskan bahwa Arya Panangsang, harus mati ditanganmu, namun bukan berarti tanpa wasilah, saat ini kau akan kalah melawannya sampai Allah, menuntunmu pada waktu yang tepat”
Mungkin karena emosi yang begitu meluap membuat Jaka Tingkir, tidak memperdulikan ucapan gurunya dan terus berlari mencari Arya Panangsang.
Ditengah perjalanan Arya Panangsang, sudah siap menghadang dengan tombak ki Gede Plered “Wahai Joko Tingkir, kini saatnya kau harus membunuhku” dan tanpa banyak kata Joko Tingkir, langsung menyerang dengan beragam ilmu kesaktiannya untuk mematahkan tombak sakti kepunyaan ki gede Plered.
Namun walau sudah sekian ratus jurus yang dikeluarkan Jaka Tingkir, tetap saja Arya Panangsang, bisa menangkis semua serangannya. semua ini menunjukkan bahwa Arya Panangsang, yang bergelar Pangeran Bumi Sanjaya, mantan dari panglima perang Kudus, lebih diatas Jaka Tingkir, dalam masalah ilmu kesaktian.


Dengan keadaan yang cukup memalukan, membuat Jaka Tingkir, harus hengkang dari arena pertempuran dan terus berlari penuh kekecewaan. Sesampainya dirumah, Sunan KaliJaga beserta istrinya menyambut kedatangannya penuh haru.
“Joko Tingkir anakku, bawalah istrimu menuju dasar laut selatan, temuilah mertuamu dan katakan aku yang menyuruh, mintalah tombak Cakra Langit dan bawalah kemari, sesungguhnya mencari wasilah bagian dari kewajiban setiap manusia” terang Sunan KaliJaga.
Tanpa menyia-nyiakan waktu keduanya langsung pamit menuju istana bawah Laut Selatan.
Sesampainya disana, kedua suami istri ini langsung disambut oleh seluruh penghuni istana dengan riang gembira, lalu keduanya langsung menuju kaputren agung yang bernama “Tirta Kencana” salah satu kamar Ratu penguasa Pantai Selatan.
Setelah sembah sungkem terhadap Ratu agung, keduanya langsung menceritakan perjalanannya hingga sampai datang ke istana dasar laut.
“Angger Joko Tingkir anakku, Ibu sudah mengetahui tentang sepak terjang Arya Panangsang, namun tadi juga Jeng Nabi Hidir, datang kemari membawa satu pesan,,,bahwa sementara waktu jangan melawannya, karena seluruh badan Arya Panangsang, saat ini sedang diliputi asma’ Ilahiyyah.(Zadab) Kalau Angger tetap melawannya takut Angger disalahkan dikemudian hari oleh yang Maha Kuasa”
“Bersabarlah, suatu hari nanti sang Maha Pencipta akan mengabulkannya, sebab benar tidaknya kita tergantung waktu dan tempat, dimana kita salah langkah, tujuan apapun akan berdampak kurang baik, dan sampaikan kepada kangmas KaliJaga, rawatlah dulu tombak Cakra Langit, sampai pada waktunya tiba”
Sesudah undur diri mereka berdua keluar dari dasar Laut Selatan dan langsung menuju kediaman gurunya, Sunan KaliJaga. Lalu kedua suami istri ini langsung menyerahkan tombak Cakra Langit, sembari menceritakan apa yang sudah diamanatkan oleh ibu mertuanya.
Sejak tombak Cakra Langit berada ditangan Sunan KaliJaga, Joko Tingkir, disuruhnya bertapa di sungai tapak tilasnya dulu (Sebelum Sunan KaliJaga, dinobatkan menjadi salah satu WaliSongo) Dan kisah bertapanya Jaka Tingkir ini memakan waktu 210 hari atau 7 bulan lamanya.
Disisi lain sejak raibnya Jaka Tingkir, Arya Panangsang, selalu mengumbar mulutnya dan terus menantang Jaka Tingkir.
Lain Arya Panangsang, lain pula Jaka Tingkir, tepatnya 7 bulan bertapa, 101 Waliyulloh, datang menjenguknya diantaranya, (Alm) Sunan Ampel, (Alm) Sunan Giri, dan 99 Wali lainnya, mereka datang menasehati Jaka Tingkir, agar mau bersabar dalam menerima segala cobaan yang ada, khususnya dalam menghadapi kefanaan sifat Arya Panangsang, yang kini sedang Mazdub kepada Allah.
Dalam kekhidmatannya dihadapan para sesepuh Waliyulloh, Jaka Tingkir, juga minta dinasehati agar bisa menerima rasa sabar tatkala sampai bertemu dengan sedulur tua Arya Panangsang, lalu semua Waliyulloh yang ada berujar “Walladzina amanu wattaba’athum dzurriyatahum bi imanin al haqnabihim dzurriyatahum wama alatnahum min amalihim min syai-in kullumri-in bima kasaba rohinun” (Atthur-21)
yang kurang lebih artinya: “Dan orang-orang beriman sedang keturunannya mengikutinya dalam keimanan, niscaya kami pertemukan mereka dengan keturunannya di surga. Dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya”
Dengan hadirnya semua Waliyulloh, maka Jaka Tingkir, menyudahi semedinya dan langsung pulang menuju kediaman gurunya.
Dari sinilah Sunan KaliJaga, menyerahkan tombak Cakra Langit: “Sudah waktunya tombak ini kuserahkan kepadamu Angger Joko Tingkir”
Dilain waktu, tatkala Jaka Tingkir, sedang bersama istrinya, tiba-tiba santri Sunan KaliJaga, datang tergopoh-gopoh mengabarkan bahwa perguruan gurunya diobrak abrik oleh Arya Panangsang, dan saat Jaka Tingkir, menanyakan keadaan gurunya, sang santripun menjawab: “Sejak 2 minggu lalu Dimas menyambangi guru, kanjeng KaliJaga, langsung pergi entah kemana dan sekarang beliau belum pulang” terang sang santri.
Lalu Jaka Tingkirpun langsung cabut diri menuju padepokan gurunya dan setelah sampai disana Jaka Tingkir tidak bisa menahan emosinya melihat apa yang terjadi. Ya, padepokan yang selama ini membesarkannya kini tinggal puing belaka.
Beliaupun langsung mengejar Arya Panangsang dirumahnya dan dengan suara lantang Jaka Tingkir, menantangnya, entah kelelahan atau lainnya, kala itu Arya Panangsang sedang tidur terlelap dan setelah mendengar suara Jaka Tingkir, beliaupun secepat kilat keluar dengan membawa tombak Tulungagung.
Perkelahianpun tidak bisa dihindarkan lagi, kedua murid Waliyulloh ini saling serang satu sama lainnya, mereka tiada hentinya mengeluarkan jurus andalannya masing-masing. Dan diwaktu bersamaan Jaka Tingkir, lebih dulu menghujamkan tombak Cakra Langitnya kejantung Arya Panangsang, hingga beliau roboh bersimbah darah.
Setelah Arya Panangsang tewas ditangan Jaka Tingkir, tombak Tulungagung akhirnya diserahkan kepada mertuannya Dewi Nawang Wulan.
Namun yang menjadi tanda Tanya, mengapa Arya Panangsang bisa dikalahkan dengan mudah oleh Jaka Tingkir? Inilah jawaban aslinya.
Sewaktu tombak ki Gede Plered, diserahkan kepadaku, Nyimas Retno Kencana Wungu, berujar: “Bahwa kekalahan suamiku Arya Panangsang, tak lain karena beliau dalam keadaan tidak suci (baru melakukan hubungan badan dan belum mandi besar)”
(wallohua'lam)
=======================
Kisah tersebut memiliki makna dan pelajaran yang dalam khususnya bagi sesama penempuh jalan (tarekat) bahwa setiap prilaku dari sesama penempuh jalan (pesuluk/salikin) haruslah selalu disikapi dengan penuh prasangka baik dan selalu ada hikmah di balik setiap kejadian, dan jika belum mengetahui sesuatu di balik peristiwa lebih baik diam serta perbanyak dzikirullah dan ubudiyah.

(Dari Dokumen di Facebook Pemuda Tqn Suryalaya, sumber: 
gunturgheni.wordpress.com)

Posting Komentar

 
Top