[Status
Suriyanto AlMaliki TQN, Dok.No.428 di Facebook Pemuda TQN Suryalaya]
Jika
sebagian umat Islam ada yang berpendapat bahwa merayakan Maulid Nabi Muhammad S.A.W. adalah
bid’ah yang sesat karena alasan tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw
sebagaimana dikatakan oleh beliau:
إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه أبو داود والترمذي
Hindarilah
amalan yang tidak ku contohkan (bid`ah), karena setiap bid`ah menyesatkan.
(HR
Abu Daud dan Tarmizi)
Maka
selain dalil dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi tersebut, juga secara semantik
(lafzhi) kata ‘kullu’ dalam hadits tersebut tidak menunjukkan makna keseluruhan
bid’ah (kulliyah) tetapi ‘kullu’ di sini bermakna sebagian dari keseluruhan
bid’ah (kulli) saja. Jadi, tidak seluruh bid’ah adalah sesat karena ada juga
bid’ah hasanah, sebagaimana komentar Imam Syafi’i:
المُحْدَثَاتُ ضَرْباَنِ مَاأُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتاَباً أَوْسُنَّةً أَوْأَثَرًا أَوْإِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضَّلاَلِ وَمَاأُحْدِثَ مِنَ الخَيْرِ لاَيُخَالِفُ شَيْئاً مِنْ ذَالِكَ فَهِيَ مُحْدَثَةٌ غَيْرَ مَذْمُوْمَةٍ
Sesuatu
yang diada-adakan (dalam agama) ada dua macam: Sesuatu yang diada-adakan (dalam
agama) bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, prilakuk sahabat, atau
kesepakatan ulama maka termasuk bid’ah yang sesat; adapun sesuatu yang
diada-adakan adalah sesuatu yang baik dan tidak menyalahi ketentuan (al Qur’an,
Hadits, prilaku sahabat atau Ijma’) maka sesuatu itu tidak tercela (baik).
(Fathul Bari, juz XVII: 10)
Juga
realitas di dunia Islam dapat menjadi pertimbangan untuk jawaban kepada mereka
yang melarang maulid Nabi Muhammad S.A.W. Ternyata fenomena tradisi maulid Nabi SAW itu
tidak hanya ada di Indonesia, tapi merata di hampir semua belahan dunia Islam.
Kalangan awam diantara mereka barangkali tidak tahu asal-usul kegiatan ini.
Tetapi mereka yang sedikit mengerti hukum agama berargumen bahwa perkara ini
tidak termasuk bid`ah yang sesat karena tidak terkait dengan ibadah mahdhah
atau ritual peribadatan dalam syariat.
Buktinya,
bentuk isi acaranya bisa bervariasi tanpa ada aturan yang baku. Semangatnya
justru pada momentum untuk menyatukan semangat dan gairah ke-islaman. Mereka
yang melarang peringatan maulid Nabi S.A.W. sulit membedakan antara ibadah dengan
syi’ar Islam. Ibadah adalah sesuatu yang baku (given/tauqifi) yang datang dari
Allah SWT, tetapi syi’ar adalah sesuatu yang ijtihadi, kreasi umat Islam dan
situasional serta mubah.
Perlu
dipahami, sesuatu yang mubah tidak semuanya dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Imam as-Suyuthi mengatakan dalam menananggapi hukum perayaan maulid Nabi SAW:
وَالجَوَابُ عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ المَوْلِدِ الَّذِيْ هُوَ اِجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَأَةُ مَاتَيَسَّّرَ مِنَ القُرْآنِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَأِ أَمْرِالنَّبِيّ صَلَّّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّّمَ مَاوَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الاَياَتِ ثُمَّ يَمُدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَهُ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَالِكَ مِنَ البِدَعِ الحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيْ صََلََّى اللهُُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِظْهَارِالفَرَحِ وَالِاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ
Menurut
saya asal perayaan maulid Nabi S.A.W, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur’an
dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya.
Kemudian dihidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang.
Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid’ah
hasanah(sesuatu yang baik). Orang yang melakukannya diberi pahala karena
mengagungkan derajat Nabi S.A.W, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas
kelahiran Nabi Muhamad saw yang mulia. (Al- Hawi Lil-Fatawa, juz I, h. 251-252)
Pendapat
Ibnu Hajar al-Haithami: “Bid’ah yang baik itu sunnah dilakukan, begitu juga
memperingati hari maulid Rasulullah S.A.W.”
Pendapat
Abu Shamah (guru Imam Nawawi): ”Termasuk hal baru yang baik dilakukan pada zaman
ini adalah apa yang dilakukan tiap tahun bertepatan pada hari kelahiran
Rasulullah saw. dengan memberikan sedekah dan kebaikan, menunjukkan rasa
gembira dan bahagia, sesungguhnya itu semua berikut menyantuni fakir miskin
adalah tanda kecintaan kepada Rasulullah SAW dan penghormatan kepada beliau,
begitu juga merupakan bentuk syukur kepada Allah atas diutusnya Rasulullah SAW
kepada seluruh alam semesta”.
Untuk
menjaga agar perayaan maulid Nabi SAW tidak melenceng dari aturan agama yang
benar, sebaiknya perlu diikuti etika-etika berikut:
1.
Mengisi dengan bacaan-bacaan shalawat kepada Rasulullah SAW.
2.
Berdzikir dan meningkatkan ibadah kepada Allah SWT.
3.
Membaca sejarah Rasulullah SAW dan menceritakan kebaikan-kebaikan dan
keutamaan-keutamaan beliau.
4.
Memberi sedekah kepada yang membutuhkan atau fakir miskin.
5.
Meningkatkan silaturrahim.
6.
Menunjukkan rasa gembira dan bahagia dengan merasakan senantiasa kehadiran
Rasulullah SAW di tengah-tengah kita.
7.
Mengadakan pengajian atau majlis ta’lim yang berisi anjuran untuk kebaikan dan
mensuritauladani Rasulullah SAW.
HM
Cholil Nafis MA
Wakil
Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il (LBM) PBNU
(COPAS
NU ONLINE)
Posting Komentar
Posting Komentar