Menu

TQN PP.Suryalaya

 



Oleh : Dr. H. Asep Salahudin, Pembantu Rektor II  Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah Suryalaya .

Dalam telaah almarhum Edi S. Ekadjati, kosmologi Sunda kuno terbagi dalam tiga hal:   bumi sangkala (dunia nyata, alam dunia), buana niskala (dunia gaib, alam gaib), dan buana jatiniskala (dunia atau alam kemahagaiban sejati). Bumi sangkala adalah alam nyata di dunia tempat kehidupan makhluk yang me­miliki jasmani (raga) dan rohani (jiwa). Makhluk demikian adalah yang disebut manusia, hewan, tumbuhan, dan benda lain yang dapat dilihat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. 

Buana niskala adalah alam gaib sebagai tempat tinggal makhluk gaib yang wujudnya hanya tergambar dalam imajinasi manusia, seperti dewa-dewi, bidadara-bidadari. Buana niskala yang disebut juga kahyangan yang terdiri atas surga dan neraka. Buana jatiniskala adalah alam kemahagaiban sejati sebagai tempat tertinggi di jagat raya. Penghuninya adalah zat Maha Tunggal yang disebut Sang Hyang Manon, zat Maha Pencipta yang disebut Ijunajati Nistemen.

Kalau kita membuka literasi tradisi Sunda, akan banyak kita temukan kearifan perenial yang menekankan kita agar memiliki tiga bentuk kesadaran: 
1) kesadaran ketuhanan (transendensi); 
2) kesadaran  kemanusiaan (humanisasi) dan 
3) kesadaran lingkungan (ekologi). 
Pertauatan tiga bentuk kesadaran inilah yang akan mendorong terwujudnya semesta yang adil berkeadaban (sangkala) sekaligus pintu masuk untuk meraih kebahagiaan di alam niskala dan puncaknya  merengkuh keheningan bersama Sang Kuasa (jatiniskala).

Kesadaran ketuhanan misalnya dapat kita baca dalam ungkapan mulih ka jati mulang ka asal. Humanisasi dapat kita cerna dalam peribahasa ulah saomong-omongna lamun lain omongkeuneun, ulah sadenge-dengena lamun lain dengekeuneun, kudu silih asih silih asah jeung silih asuh,  kawas gula jeung peueut, pondok jodo panjang baraya, henteu asa jeung jiga, ulah ngadu-ngadu raja wisuna, ulah ngaliarkeun taleus ateul, ulah nyolok mata bunceulik, ulah biwir nyiru rombengeun, kudu nyanghulu ha hukum nunjang ka nagara mupakat ka balarea, dan sebagainya. Dan kesadaran  ekologis tercermin dalam peribahasa manuk hiber ku jangjangna jalma hiber ku akalna, artinya akal manusia jangan dijadikan sebagai instrumen untuk memperlakukan alam dengan kebuasan tidak terkendali sebab ternyata lingkungan memiliki hak yang sama untuk merengkuh alam yang damai.

Kearifan perenial itu dapat kita lacak baik dalam wawacan (wawacan Purnama Alam, Panji Wulung), pantun (Lutung Kasarung, Mundinglaya, Ciaung Wanara), babad (Babad Sumedang, Dipati Ukur, Babad Dipati Imanagara), sisindiran, wawangsalan atau dalam novel yang penuh makna yang dimulai, sebagaimana penelitian Ajip Rosidi, sejak Daeng Kanduruan Ardiwinata menerbitkan Baruang Kanu Ngarora (1914, bandingkan dengan novel bahasa Indosensia yang baru muncul tahun 1920 lewat Azab dan Sengsara) dan novel-novel Yuhana terbitan 1930 seperti Carios Eulis Acih,  Carios Agan Permas, Mugiri, Rusiah Nu Goreng Patut.  

Rasaning eling

Dengan kata lain, kebahagiaan niskala dan jatiniskala hanya dapat dilakukan ketika seseorang mampu merasukan rasaning eling dalam kehidupan sangkala. Semacam ingatan abadi terhadap asal usul, dalam spiritualisme Jawa eling sangkan paraning dumadi. Sebentuk eling yang akan menjadi haluan pembebasan/liberasi dari segala bentuk potensi yang dapat menistakan harkat kemanusiaan.

Ingatan seperti ini akan membuat seseorang (suatu bangsa) menjalani hidup dengan penuh pertimbangan, memiliki skala prioritas (tidak terjebak dalam ungkapan cul dog dog tinggal igel, moro jualng ngalepaskeun peusing). Eling yang dijangkarkan kepada akar spiritual: Dzat Yang Maha Eling. 

Dalam tafsir Kuntowijoyo ingatan ini mencakup cita-cita humanisasi, liberasi dan transendensi (2005). Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia setelah mengalami dehumanisasi. Humanisasi diperlukan karena masyarakat sedang berada dalam tiga keadaan akut yaitu dehumanisasi (obyektivasi teknologis, ekonomis, budaya dan negara), agresivitas (agresivitas kolektif dan kriminalitas) dan loneliness (privatisasi, individuasi). Liberasi mengusung pembebasan manusia dari kemiskinan struktural, keangkuhan tekhnologi dan pemerasan. Liberasi menempatkan diri bukan pada lapangan moralitas kemanusiaan abstrak, tapi pada realitas kemanusiaan kongkrit. Kuntowijoyo bahkan menganggap sikap menghindar dari yang kongkrit menuju abstrak adalah salah satu ciri berpikir berdasarkan mitos.
Sementara transendensi bertujuan membersihkan diri dengan mengingat kembali dimensi transendental yang telah menjadi bagian integral fitrah manusia. Nilai-nilai transendental ketuhanan inilah yang akan membimbing manusia menuju nilai-nilai luhur.Transendensi adalah dasar dari humanisasi dan liberasi. Melalui kritik transendensi, masyarakat akan dibebaskan dari kesadaran palsu materialistik.

Hilang ingatan

Sebaliknya, manakala ingatan ini punah, maka bukan hanya alam niskala yang akan lepas, namun juga sangkala akan penuh dengan derita, krisis senantiasa mendera dan manusia akan ditimpa beragam bencana yang hakikatnya di undang dirinya sendiri. Manusia yang tidak eling tak ubahnya ternak: tunggul dirarud catang dirumpak. Kematian diri yang dungu (the death of the self),    meminjam istilah Zohar dan Marshall, kepribadian yang sudah asing dengan dirinya sendiri (cut off from myself), dari orang lain di sekitarnya (from others around me) bahkan boleh jadi terputus dari Tuhannya (from God) hakikatnya adalah muara dari beragam malapetaka sebagaimana dengan menarik terpantul dalam pepatah China dalam  Chicken Soup for the Soul-nya Jack Canfield dan Mark Victor Hansen  yang mengisahkan delapan puluh sembilan kisah mencerahkan hati dan memompa semangat (1997):

Bila ada cahaya di dalam jiwa/Ada kecantikan di dalam diri/Bila ada kecantikan di dalam pribadi/Ada harmoni di dalam rumah/Bila ada harmoni di dalam rumah/Ada ketertiban di dalam negara/Bila ada ketertiban di dalam negara/Ada kedamaian di dunia

Eling yang punah ini yang menjadi sebab  utama bangsa ini berada di halaman belakang dari lembaran bangsa-bangsa di Asia.  Negara kleptokrasi dimana praktek korupsi dilakukan secara berlapis-lapis yang dimainkan empat aktor yaitu pejabat negara, aparatus birokrasi, anggota parlemen, dan sektor swasta (pengusaha).   Boleh jadi hampir mendekati Negara gagal

Di sinilah menjadi mafhum makna dari Asmarandana yang ditulis RA Bratawidjaja: Eling-eling mangka eling/Rumingkang di bumi alam/Darma wawayangan bae/Raga taya pangawasa/Lamun kasasar lampah/Nafsu nu matak  kaduhung/Badan anu katempuhan
(Prasasti Kawali)
Asmarandana ini sekali lagi inti pesan moralnya mendesakan kesadaran agar kita memiliki rasa eling   (God’s conciousness). Jika tidak? Maka kita tengah melaju dengan kecepatan tinggi menyambut jaman edan! Jaman penuh kekerasan termasuk kekerasan dengan mengatasnamakan agama.***


Edisi Cetak diterbitkan REPUBLIKA 5 Oktober 2011

(Sumber: iailm.ac.id)

Posting Komentar

 
Top