Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – berkata: Adapun sifat
sifat kaum Sufi dan siapa sebenarnya mereka, adalah sebagaimana yang pernah
dijawab oleh Abdul Wahid bin Zaid – sebagaimana yang pernah saya terima –
dimana ia adalah salah seorang yang sangat dekat dengan Hasan al-Bashri –
rahimahullah – ketika ditanya, “Siapakah kaum Sufi itu menurut Anda?” Ia
menjawab, “Adalah mereka yang menggunakan akalnya tatkala ditimpa kesedihan dan
selalu menetapinya dengan hati nurani, selalu berpegang teguh pada Tuannya
(Allah) dari kejelekan nafsunya. Maka merekalah kaum Sufi.”Dzun Nun al-Mishri –
rahimahullah – ditanya tentang Sufi, kemudian ia menjawab, “Seorang Sufi ialah
orang yang tidak dibikin lelah oleh tuntutan, dan tidak dibuat gelisah oleh
sesuatu yang hilang darinya.” DzunNun juga pernah mengemukakan, “Orang-orang
Sufi adalah kaum yang lebih mengedepankan Allah daripada segala sesuatu. Maka
dengan demikian Allah akan mengutamakan mereka di atas segala-galanya.”
Pernah ditanyakan pada sebagian orang Sufi, “Siapa yang pantas
menjadi sahabatku?” Maka ia menjawab, “Bertemanlah dengan kaum Sufi, karena di
mata mereka kejelekan yang ada pasti memiliki berbagai alasan untuk dimaafkan.
Sedangkan sesuatu yang banyak dalam pandangan mereka tak ada artinya, sehingga
tak membuat Anda merasa bangga (ujub).”Al-Junaid bin Muhammad – rahimahullah –
ditanya tentang kaum Sufi, “Siapa mereka?” Ia menjawab, “Mereka adalah kaum
pilihan Allah dari makhluk-Nya yang Dia sembunyikan tatkala Dia menyukai dan
Dia tampakkan tatkala Dia menyukai pula.”
Abu al-Husain Ahmad bin Muhammad an-Nuri – rahimahullah – ditanya
tentang kaum Sufi, maka ia menjawab, “Kaum Sufi ialah orang yang mendengar
sama’ (ekstase ketika dzikir) dan lebih memilih menggunakan sarana
(sebab).”Orang-orang Syam menyebut kaum Sufi dengan sebutan fuqara’ (orang
orang fakir kepada Allah). Dimana mereka memberikan alasan, bahwa Allah swt.
telah menyebut mereka dengan fuqara’ dalam firman Nya:“(Juga) bagi orang-orang
fakir yang berhijrah, dimana mereka diusir dari kampung halaman dan dari harta
benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka
menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang jujur (benar).”
(Q.s. al Hasyr:8).
Dan firman Nya pula:“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang
terikat (oleh jihad) dijalan Allah.” (Q.s. al Baqarah: 273).
Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad Nahya al-Jalla’ – rahimahullah –
ditanya tentang seorang Sufi. Maka ia menjawab, “Kami tidak tahu akan adanya
persyaratan ilmu, akan tetapi kami hanya tahu, bahwa ia adalah seorang fakir
yang bersih dari berbagai sarana (sebab). Ia selalu bersama Allah Azza wajalla
dengan tanpa batas tempat. Sementara itu al-Haq, Allah tidak menghalanginya
untuk mengetahui segala tempat. Itulah yang disebut seorang Sufi.”
Ada pendapat yang menyatakan, bahwa kata Sufi awalnya berasal
dari kata Shafawi (orang yang bersih), namun karena dianggap berat dalam
mengucapkan, maka diganti menjadi Shufi.Abu Hasan al Qannad rahimahullah
ditanya tentang makna Sufi, maka ia menjawab, “Kata itu berasal dari kata
Shafa’, yang artinya adalah selalu berbuat hanya untuk Allah Azza wa jalla
dalam setiap, waktu dengan penuh setia.”
Sebagian yang lain berkata, “Sufi adalah seseorang apabila
dihadapkan pada dua pilihan kondisi spiritual atau dua akhlak yang mulia, maka
ia selalu memilih yang paling baik dan paling utama.” Ada pula yang lain
ditanya tentang makna Sufi, maka ia menjawab, “Makna Sufi adalah apabila
seorang hamba telah mampu merealisasikan penghambaan (ubudiyyah), dijernihkan
oleh al-Haq sehingga bersih dari kotoran manusiawi, menempati kedudukan hakikat
dan membandingkan hukum-hukum syariat. Jika ia bisa melakukan hal itu, maka
dialah seorang Sufi. Karena ia telah dibersihkan.”Syekh Abu Nashr –
rahimahullah – berkata: jika Anda ditanya, “Siapa pada hakikatnya kaum Sufi
itu?” Coba terangkan pada kami! Maka Syekh Abu Nashr as-Sarraj memberi jawaban,
“Mereka adalah ulama yang tahu Allah dan hukum-hukum Nya, mengamalkan apa yang
Allah ajarkan pada mereka, merealisasikan apa yang diperintah untuk
mengamalkannya, menghayati apa yang telah mereka realisasikan dan hanyut
(sirna) dengan apa yang mereka hayati. Sebab setiap, orang yang sanggup
menghayati sesuatu ia akan hanyut (sirna) dengan apa yang ia hayati.”
Abu Hasan al Qannad – rahimahullah – berkata, “Tasawuf adalah
nama yang diberikan pada lahiriah pakaian. Sedangkan mereka berbeda beda dalam
berbagai makna dan kondisi spiritual.”Abu Bakar Dulaf bin Jahdar asy-Syibli –
rahimahullah – ditanya tentang mengapa para kaum Sufi disebut dengan nama
demikian. Ia menjawab, “Karena masih ada bekas yang mengesan di jiwa mereka.
Andaikan tidak ada bekas tersebut, tentu berbagai nama tidak akan bisa melekat
dan bergantung pada mereka.”
Disebutkan juga bahwa kaum Sufi adalah sisa-sisa orang-orang
terbaik Ahlush-Shuffah (para penghuni masjid yang hidup pada zaman Nabi saw.,
pent.).Adapun orang yang mengatakan bahwa nama tersebut merupakan simbol
lahiriah pakaian mereka. Hal ini telah disebutkan dalam riwayat tentang orang
orang yang mengenakan pakaian shuf (wool), dimana para Nabi dan orang orang
saleh memilih pakaian jenis ini. Sementara untuk membicarakan masalah ini akan
cukup panjang. Banyak jawaban tentang tasawuf, dimana sekelompok orang telah
memberikan jawaban yang berbeda beda. Di antaranya adalah Ibrahim bin
al-Muwallad ar-Raqqi rahimahullah yang memberikan jawaban lebih dari seratus
jawaban. Sedangkan yang kami sebutkan, kami rasa sudah cukup memadai.
Ali bin Abdurrahim al-Qannad – rahimahullah – memberi jawaban
tentang tasawuf dan lenyapnya orang-orang Sufi dalam untaian syairnya:Ketika
Ahli Tasawuf telah berlalu, tasawuf menjadi keterasingan, jadi teriakan,
ekstase dan riwayat.Ketika berbagai ilmu telah berlalu, maka tak ada lagi ilmu
dan hati yang bersinar,Nafsumu telah mendustaimu, tak ada pijakan jalan nan
indahHingga kau tampak pada manusia dengan ketajaman mata, mengalir rahasia
yang ada di dalam dirimu terbuka Tampaklah aktivitas dan rahasia bergururan.
Di kalangan para guru (syekh) Sufi ada tiga jawaban tentang
tasawuf. Pertama, jawaban dengan syarat ilmu, yaitu membersihkan hati dari
kotoran kotoran, berakhlak mulia dengan makhluk Allah dan mengikuti Rasulullah
saw. dalam syariat. Kedua, jawaban dengan lisanul-haqiqah (bahasa
hakikat), yaitu tidak merasa memiliki (pamrih), keluar dari perbudakan sifat
dan semata mencukupkan diri dengan Sang Pencipta langit. Ketiga, jawaban
dengan lisanul-Haq (bahasa al-Haq), yakni mereka yang Allah bersihkan dengan
pembersihan sifat-sifatnya, dan Dia jernihkan dari sifat mereka. Merekalah yang
pantas disebut kaum Sufi.
Saya pernah bertanya pada al-Hushri, “Siapakah sebenarnya seorang
Sufi menurut pandangan Anda.” Ia menjawab, “Ia adalah seorang manusia yang
tidak bertempat di atas bumi dan tidak dinaungi langit. Artinya, sekalipun
mereka berada di atas bumi dan di bawah langit, akan tetapi Allah-lah yang
menempatkannya di atas bumi dan Dia pulaYang menaunginya dengan langit. Bukan
bumi atau langit itu sendiri.”
Dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. diriwayatkan bahwa ia pernah
berkata, “Bumi mana yang akan sanggup memberi tempat pada saya dan langit mana
yang sanggup menaungiku, jika saya mengatakan tentang apa yang ada dalam Kitab
Allah menurut pendapatku semata.”
(Dokumen No.433 di Facebook Pemuda TQN Suryalaya,Status Wahyu Pratama, dari berbagai sumber)
Posting Komentar
Posting Komentar