Telaah terhadap
Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Aswaja/ اهل
السنة
والجماعة
السلفية
الاشعرية )
sebagai bagian dari kajian ke-Islam-an merupakan upaya yang mendudukkan Aswaja
secara proporsional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran
atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena
rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran,
sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat
dan aktualisasinya tertentu.
Pemaksaan suatu
aliran tertentu yang pernah berkembang di era tertentu untuk kita yakini, sama
halnya dengan aliran teologi sebagai dogma dan sekaligus mensucikan pemikiran
keagamaan tertentu. Padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang
senantiasa membutuhkan interpretasi sesuai dengan konteks zaman yang
melingkupinya. Jika hal ini mampu kita antisipasi berarti kita telah memelihara
kemerdekaan (hurriyah); yakni kebebasan berfikir (hurriyah al-ra’yi), kebebasan
berusaha dan berinisiatif (hurriyah al-irodah) serta kebebasan berkiprah dan
beraktivitas (hurriyah al-harokah).
Berangkat dari
pemikiran di atas, maka persoalan yang muncul adalah siapakah golongan Aswaja
itu? Bagaimana perkembanganya? Apakah aliran-aliran Islam yang ada termasuk
golongan Awaja ? ASWAJA sesungguhnya identik dengan pernyataan nabi
"Ma Ana 'Alaihi wa Ashabi" seperti yang dijelaskan sendiri oleh
Rasululloh SAW dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu
Majah dan Abu Dawud bahwa :"Bani Israil terpecah belah menjadi 72 Golongan
dan ummatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk nereka
kecuali satu golongan". Kemudian para sahabat bertanya ; "Siapakah
mereka itu wahai rasululloh?", lalu Rosululloh menjawab : "Mereka itu
adalah Maa Ana 'Alaihi wa Ashabi" yakni mereka yang mengikuti apa saja
yang aku lakukan dan juga dilakukan oleh para sahabatku.
Dalam hadist
tersebut Rasululloh SAW menjelaskan bahwa golongan yang selamat adalah golongan
yang mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasululloh dan para sahabatnya.
Pernyataan nabi ini tentu tidak sekedar kita maknai secara tekstual, tetapi
karena hal tersebut berkaitan dengan pemahaman tentang ajaran Islam maka
"Maa Ana 'Alaihi wa Ashabi" atau Ahli Sunnah Waljama'ah lebih kita
artikan sebagai "Manhaj Au Thariqoh fi Fahmin Nushus Wa Tafsiriha" (
metode atau cara memahami nash dan bagaimana mentafsirkannya).
Dari pengertian
diatas maka Ahli Sunnah Wal Jama'ah sesungguhnya sudah ada sejak zaman
Rasululloh SAW. Jadi bukanlah sebuah gerakan yang baru muncul diakhir abad ke-3
dan ke-4 Hijriyyah yang dikaitkan dengan lahirnya kosep Aqidah Aswaja yang
dirumuskan kembali (direkonstuksi) oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ari (Wafat : 935
M) dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi (Wafat : 944 M) pada saat munculnya
berbagai golaongan yang pemahamannya dibidang aqidah sudah tidak mengikuti
Manhaj atau thariqoh yang dilakukan oleh para sahabat, dan bahkan banyak
dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan.
Secara semantik
arti Ahlussunnah wal jama’ah adalah sebagai berikut. Ahl berarti pemeluk, jika
dikaitkan dengan aliran atau madzhab maka artinya adalah pengikut aliran atau
pengikut madzhab (ashab al-madzhab).
Al-Sunnah
mempunyai arti jalan, di samping memiliki arti al-Hadist. Disambungkan dengan
ahl keduanya bermakna pengikut jalan Nabi, para Shahabat dan tabi’in. Al-Jamaah
berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan,
Ahlusunnah wal Jama’ah berarti segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, Para
Shahabat dan tabi’in.
Nahdlatul ‘Ulama
merupakan ormas Islam pertama di Indonesia yang menegaskan diri berfaham
Aswaja. Dalam Qanun Asasi (konstitusi dasar) yang dirumuskan oleh Hadratussyaikh
KH Hasyim Asy’ari juga tidak disebutkan definisi Aswaja. Namun tertulis di
dalam Qanun tersebut bahwa Aswaja merupakan sebuah faham keagamaan dimana dalam
bidang akidah menganut pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam
bidang fiqh menganut pendapat dari salah satu madzhab empat (madzahibul arba’ah
– Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali), dan dalam bidang
tasawuf/akhlak menganut Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.
Ahlussunnah Wal
Jama’ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di
wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur’an apakah ia
makhluk atau bukan, kemudian debat antara Sifat-Sifat Allah antara ulama
Salafiyyun dengan golongan Mu’tazilah, dan seterusnya.
Pada masa hidup
Nabi Muhammad SAW, semuanya mudah dan gampang, karena segala sesuatu dapat
ditanyakan kepada beliau. Perselisihan paham timbul sesudah Nabi Yang
Sangat Mulia Nabi Muhammad S.A.W. Wafat tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 11
Hijriah ( Tanggal 8 Juni 632 Masehi) . Pada hari wafat beliau sekumpulan kaum
Anshar ( Sahabat-sahabat Nabi yang berasal dari Madinah ) berkumpul di suatu
Balairung yang bernama SAQIFAH BANI SA’IDAH untuk mencari khalifah ( pengganti
Nabi yang sudah wafat ).
Kaum Anshar ini
dipimpin oleh Sa’ad bin Ubadah ( Ketua kaum Anshar dari suku Khazraj ).
Mendengar hal ini kaum Muhajirin ( Sahabat-sahabat dari Mekkah yang pindah ke
Madinah ) datang bersama-sama ke Balairung itu, dengan dipimpin oleh Saidina
Abu Bakar Shiddiq Rda.
Sesudah terjadi
perdebatan yang agak sengit antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin yang
setiapnya mengemukakan calon dari pihaknya, bersepakatlah mereka mengangkat
Sahabat yang paling utama Saidina Abu Bakar Shiddiq sebagai Khalifah yang
pertama.
Perdebatan
ketika itu hanya terjadi antara golongan kaum Anshar yang mengemukakan Sa’ad
bin Ubadah sebagai calonnya dengan kaum Muhajirin yang mengemukakan Saidina
Umar bin Khatab atau Saidina Abu Bakar sebagai calon-calon khalifah Nabi.
Dalam rapat itu
tidak ada seorangpun yang mengemukakan Saidina’Ali bin Abi Thalib sebagai
Khalifah pertama pengganti Nabi. Paham kaum Syi’ah belum ada ketika itu. Yang
ada hanya kaum Anshar dan kaum Muhajirin, tetapi ternyata bahwa perselisihan
paham antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin tidak menimbulkan firqah dalam
ushuluddin, karena perselisihan pendapat sudah selesai dikala Saidina Abu Bakar
sudah terangkat dan terpilih secara aklamasi ( suara sepakat ).
Pada tahun 30
Hijriyah timbul paham Syi’ah yang dikobarkan oleh Abdullah bin Saba’ yang
beroposisi terhadap Khalifah Saidina Utsman bin Affan. Abdullah bin Saba’
adalah seorang pendeta Yahudi dari Yaman yang masuk Islam. Ketika ia datang ke
Madinah tidak begitu dapat penghargaan dari Khalifah dan juga dari ummat Islam
yang lain. Oleh karena itu ia jengkel.
Sesudah terjadi
“peperangan Siffin”, peperangan saudara sesama Islam, yaitu antara tentara
Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dengan tentara Mu’awiyah bin Abu Sofyan ( Gubernur
Syria ) pada tahun 37 Hijriyah timbul pula firqah Khawarij, yaitu orang-orang
yang keluar dari Saidina Mu’awiyah Rda. dan dari Saidina ‘Ali Rda. .
Periode abad ke
II Hijriyah
Kemudian timbul
pula Kaum Mu’tazilah, yaitu kaum yang dipimpin oleh Washil bin Atha’ (lahir 80
H – wafat 113 H) dan Umar bin Ubeid (Wafat 145 H).
Kaum Mu’tazilah
ini mengeluarkan fatwa yang ganjil-ganjil, yang berlainan dan berlawanan dengan
i’tikad Nabi dan sahabat-sahabat beliau.
Di antara
fatwa-fatwa yang ganjil dari Kaum Mu’tazilah itu, ialah adanya “manzilah bainal
manzilatein”, yakni ada tempat di antara dua tempat, ada tempat yang lain
selain syurga dan neraka.
Banyak lagi
fatwa-fatwa kaum Mu’tazilah, umpamanya fatwa yang mengatakan bahwa sifat Tuhan
tidak ada, bahwa Qur’an itu makhluk, bahwa mi’raj Nabi hanya dengan ruh saja,
bahwa pertimbangan akal lebih didahulukan dari hadist-hadist Nabi, bahwa syurga
dan neraka akan lenyap, dan lain-lain fatwa yang keliru.
Kemudian timbul
pula paham Qadariyah yang mengatakan bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh
manusia sendiri, tidak sangkut-paut dengan Tuhan. Hak mencipta telah diberikan
Tuhan kepada manusia, sehingga Tuhan tidak tahu dan tidak perduli lagi apa yang
akan dibuat oleh manusia.
Kemudian timbul
pula paham, Jabariyah yang mengatakan bahwa sekalian yang terjadi adalah dari
Tuhan, manusia tak punya daya apa-apa, tidak ada usaha dan tidak ada ikhiar.
Kemudian timbul
pula paham Mujassimah, yakni paham yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk,
punya tangan, punya kaki, duduk di atas kursi, turun dari tangga serupa
manusia, Tuhan adalah cahaya seperti lampu, dan lain-lain kepercayaan.
Kemudian lahir
pula paham-paham yang keliru tentang tawasul dan wasilah, tentang ziarah dan
istigatsah dari Ibnu. Thaimiyah yang semuanya mengacaukan dunia Islam dan kaum
Muslimin.
Di wilayah
sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang hingga zaman al-khulafa’
ar-rasyidun, yakni dimulai sejak terjadi Perang Shiffin yang melibatkan Khalifah
Ali bin Abi Thalib RA dengan Muawiyah. Bersama kekalahan Khalifah ke-empat
tersebut, setelah dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh kubu
Muawiyah, ummat Islam makin terpecah kedalam berbagai golongan seperti
dijelaskan diatas .
Di antara
kelompok-kelompok itu, adalah sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu
Sa’id Hasan ibn Hasan Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih dikenal
dengan nama Imam Hasan al-Bashri, yang cenderung mengembangkan aktivitas
keagamaan yang bersifat kultural (tsaqafiyah), ilmiah dan berusaha mencari
jalan kebenaran secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian politik
antara berbagai faksi politik (firqah) yang berkembang ketika itu. Sebaliknya
mereka mengembangkan sistem keberagamaan dan pemikiran yang sejuk, moderat dan
tidak ekstrim. Dengan sistem keberagamaan semacam itu, mereka tidak mudah untuk
mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik
ketika itu.
Seirama waktu,
sikap dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi Ulama setelah
beliau, di antaranya Imam Abu Hanifah Al-Nu’man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas
(w. 179 H), Imam Syafi’i (w. 204 H), Ibn Kullab (w. 204 H), Ahmad Ibn Hanbal
(w. 241 H), hingg tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asy’ari (w 324 H) dan Abu
Mansur al-Maturidi (w. 333 H).
Kepada dua ulama
terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan; meskipun bila
ditelusuri secara teliti benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad sebelumnya.
Perkataan Ahlussunah wal Jama’ah kadang-kadang dipendekkan menyebutnya dengan
Ahlussunah saja, atau Sunny saja dan kadang-kadang disebut ‘Asy’ari atau
Asya’irah, dikaitkan kepada guru besarnya Abu Hasan ‘Ali al Asy’ari.
Terhadap madzhab
al-Asya’irah ini ada yang barangkali tidak tahu jika sebutan ini adalah kata
lain Dari Aswaja.dan ini sangat disayangkan karna bisa menjadi faktor retaknya
kesatuan golongan Ahlus Sunnah dan terpecah-pecahnya kesatuan Jama`ah, sehingga
sebagian orang yang jahil memasukkan al-Asya’irah dalam kelompok golongan yang
sesat padahal jelas jelas mereka Aswaja karna Nama Asya`irah justru diambil
dari nama salah satu pendiri Aswaja Abu Hasan ‘Ali al Asy’ari.!!
Perhatikan !!
Berkata Sayid
Mutadha az Zabidi, pengarang kitab “Ittihaf Sadaatul Muttaqin”, yaitu kitab
yang mensyarah kitab “Ihya Ulumuddin”, karangan Imam Ghazali :
Artinya :
Apabila disebut “Ahlussunah wal Jama’ah” maka yang dimaksudkan dengan ucapan
itu ialah paham atau fatwa-fatwa yang disiarkan oleh Imam Asy’ari dan Abu
Mansur al Maturidi (I’tihaf jilid II, halaman 6).
“Apabila disebut
nama Ahlussunnah secara umum, maka maksudnya adalah Asya’irah (para pengikut
faham Abul Hasan al-Asy’ari) dan Maturidiyah (para pengikut faham Abu Manshur
al-Maturidi” (Ithaf Sadat al-Muttaqin, Muhammad Az-Zabidi, juz 2, hal. 6.)
“Adapun hukumnya
(mempelajari ilmu aqidah) secara umum adalah wajib, maka telah disepakati ulama
pada semua ajaran. Dan penyusunnya adalah Abul Hasan Al-Asy’ari, kepadanyalah
dinisbatkan (nama) Ahlussunnah sehingga dijuluki dengan Asya’irah (pengikut faham
Abul Hasan al-Asy’ari)” (Al-Fawakih ad-Duwani, Ahmad an-Nafrawi al-Maliki, Dar
el-Fikr, Beirut, 1415, juz 1, hal. 38).
“Begitu pula
menurut Ahlussunnah dan pemimpin mereka Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur
al-Maturidi” (Al-Fawakih ad-Duwani, juz 1 hal. 103)
“Dan Ahlul-Haqq
(orang-orang yang berjalan di atas kebenaran) adalah gambaran tentang
Ahlussunnah Asya’irah dan Maturidiyah, atau maksudnya mereka adalah orang-orang
yang berada di atas sunnah Rasulullah Saw., maka mencakup orang-orang yang
hidup sebelum munculnya dua orang syaikh tersebut, yaitu Abul Hasan al-Asy’ari
dan Abu Manshur al-Maturidi” (Hasyiyah Al-’Adwi, Ali Ash-Sha’idi Al-’Adwi, Dar
El-Fikr, Beirut, 1412, juz 1, hal. 105)
“Dan yang
dimaksud dengan ulama adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dan mereka adalah para
pengikut Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi radhiyallaahu
‘anhumaa (semoga Allah ridha kepada keduanya)” (Hasyiyah At-Thahthawi ‘ala
Maraqi al-Falah, Ahmad At-Thahthawi al-Hanafi, Maktabah al-Babi al-Halabi,
Mesir, 1318, juz 1, hal. 4)
Keistimewaan
Aswaja atau juga asya`irah atau juga sunni dalam menegakkan pahamnya ialah,
dengan mengutamakan dalil-dalil dari Qur’an dan Hadits dan juga dengan
pertimbangan aqal dan pikiran, tidak seperti kaum Mu’tazilah yang mendasarkan
pikirannya kepada aqal dan falsafah yang berasal dari Yunani dalam membicarakan
Ushuluddin dan pula tidak seperti kaum Mujassimah (kaum yang menyerupakan Tuhan
dengan makhluq) yang memegang arti lahir dari Qur’an dan Hadits, sehingga
sampai mengatakan bahwa Tuhan bertangan, Tuhan bermuka, Tuhan duduk-duduk
diatas ‘arsy, dan lain-lain sebagainya.
Golongan ini
adalah para pemimpin ulama yang membawa petunjuk dari kalangan ulama muslimin
yang ilmu mereka memenuhi bagian timur dan barat dunia dan disepakati oleh manusia
sepakat atas keutamaan, keilmuan dan keagamaan mereka. Mereka adalah
tokoh-tokoh besar ulama Ahlussunnah berwibawa tinggi yang berdiri teguh
menentang kecongkaan dan kesombongan golongan Mu’tazilah.
(Dokumen Pemuda
TQN News, Sumber: benderaaswaja.com)
Posting Komentar
subhanallah...
alhamdullillah..
ijin copy ya saudara...
@Gus Ris... silahkan saudaraku
dengan tetap mencantumkan links/url sumber yakni: benderaaswaja.com
Posting Komentar