Menu

TQN PP.Suryalaya

 


Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Aswaja/ اهل السنة والجماعة السلفية الاشعرية ) sebagai bagian dari kajian ke-Islam-an merupakan upaya yang mendudukkan Aswaja secara proporsional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu.

Pemaksaan suatu aliran tertentu yang pernah berkembang di era tertentu untuk kita yakini, sama halnya dengan aliran teologi sebagai dogma dan sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan tertentu. Padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan interpretasi sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita antisipasi berarti kita telah memelihara kemerdekaan (hurriyah); yakni kebebasan berfikir (hurriyah al-ra’yi), kebebasan berusaha dan berinisiatif (hurriyah al-irodah) serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas (hurriyah al-harokah).
Berangkat dari pemikiran di atas, maka persoalan yang muncul adalah siapakah golongan Aswaja itu? Bagaimana perkembanganya? Apakah aliran-aliran Islam yang ada termasuk golongan Awaja ?   ASWAJA sesungguhnya identik dengan pernyataan nabi "Ma Ana 'Alaihi wa Ashabi" seperti yang dijelaskan sendiri oleh Rasululloh SAW dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud bahwa :"Bani Israil terpecah belah menjadi 72 Golongan dan ummatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk nereka kecuali satu golongan". Kemudian para sahabat bertanya ; "Siapakah mereka itu wahai rasululloh?", lalu Rosululloh menjawab : "Mereka itu adalah Maa Ana 'Alaihi wa Ashabi" yakni mereka yang mengikuti apa saja yang aku lakukan dan juga dilakukan oleh para sahabatku.
Dalam hadist tersebut Rasululloh SAW menjelaskan bahwa golongan yang selamat adalah golongan yang mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasululloh dan para sahabatnya. Pernyataan nabi ini tentu tidak sekedar kita maknai secara tekstual, tetapi karena hal tersebut berkaitan dengan pemahaman tentang ajaran Islam maka "Maa Ana 'Alaihi wa Ashabi" atau Ahli Sunnah Waljama'ah lebih kita artikan sebagai "Manhaj Au Thariqoh fi Fahmin Nushus Wa Tafsiriha" ( metode atau cara memahami nash dan bagaimana mentafsirkannya).

Dari pengertian diatas maka Ahli Sunnah Wal Jama'ah sesungguhnya sudah ada sejak zaman Rasululloh SAW. Jadi bukanlah sebuah gerakan yang baru muncul diakhir abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah yang dikaitkan dengan lahirnya kosep Aqidah Aswaja yang dirumuskan kembali (direkonstuksi) oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ari (Wafat : 935 M) dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi (Wafat : 944 M) pada saat munculnya berbagai golaongan yang pemahamannya dibidang aqidah sudah tidak mengikuti Manhaj atau thariqoh yang dilakukan oleh para sahabat, dan bahkan banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan.

Secara semantik arti Ahlussunnah wal jama’ah adalah sebagai berikut. Ahl berarti pemeluk, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab maka artinya adalah pengikut aliran atau pengikut madzhab (ashab al-madzhab).
Al-Sunnah mempunyai arti jalan, di samping memiliki arti al-Hadist. Disambungkan dengan ahl keduanya bermakna pengikut jalan Nabi, para Shahabat dan tabi’in. Al-Jamaah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan, Ahlusunnah wal Jama’ah berarti segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, Para Shahabat dan tabi’in.

Nahdlatul ‘Ulama merupakan ormas Islam pertama di Indonesia yang menegaskan diri berfaham Aswaja. Dalam Qanun Asasi (konstitusi dasar) yang dirumuskan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari juga tidak disebutkan definisi Aswaja. Namun tertulis di dalam Qanun tersebut bahwa Aswaja merupakan sebuah faham keagamaan dimana dalam bidang akidah menganut pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang fiqh menganut pendapat dari salah satu madzhab empat (madzahibul arba’ah – Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali), dan dalam bidang tasawuf/akhlak menganut Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.

Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur’an apakah ia makhluk atau bukan, kemudian debat antara Sifat-Sifat Allah antara ulama Salafiyyun dengan golongan Mu’tazilah, dan seterusnya.

Pada masa hidup Nabi Muhammad SAW, semuanya mudah dan gampang, karena segala sesuatu dapat ditanyakan kepada beliau. Perselisihan paham timbul sesudah Nabi Yang Sangat Mulia Nabi Muhammad S.A.W. Wafat tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 11 Hijriah ( Tanggal 8 Juni 632 Masehi) . Pada hari wafat beliau sekumpulan kaum Anshar ( Sahabat-sahabat Nabi yang berasal dari Madinah ) berkumpul di suatu Balairung yang bernama SAQIFAH BANI SA’IDAH untuk mencari khalifah ( pengganti Nabi yang sudah wafat ).

Kaum Anshar ini dipimpin oleh Sa’ad bin Ubadah ( Ketua kaum Anshar dari suku Khazraj ). Mendengar hal ini kaum Muhajirin ( Sahabat-sahabat dari Mekkah yang pindah ke Madinah ) datang bersama-sama ke Balairung itu, dengan dipimpin oleh Saidina Abu Bakar Shiddiq Rda.
Sesudah terjadi perdebatan yang agak sengit antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin yang setiapnya mengemukakan calon dari pihaknya, bersepakatlah mereka mengangkat Sahabat yang paling utama Saidina Abu Bakar Shiddiq sebagai Khalifah yang pertama.

Perdebatan ketika itu hanya terjadi antara golongan kaum Anshar yang mengemukakan Sa’ad bin Ubadah sebagai calonnya dengan kaum Muhajirin yang mengemukakan Saidina Umar bin Khatab atau Saidina Abu Bakar sebagai calon-calon khalifah Nabi.

Dalam rapat itu tidak ada seorangpun yang mengemukakan Saidina’Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah pertama pengganti Nabi. Paham kaum Syi’ah belum ada ketika itu. Yang ada hanya kaum Anshar dan kaum Muhajirin, tetapi ternyata bahwa perselisihan paham antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin tidak menimbulkan firqah dalam ushuluddin, karena perselisihan pendapat sudah selesai dikala Saidina Abu Bakar sudah terangkat dan terpilih secara aklamasi ( suara sepakat ).

Pada tahun 30 Hijriyah timbul paham Syi’ah yang dikobarkan oleh Abdullah bin Saba’ yang beroposisi terhadap Khalifah Saidina Utsman bin Affan. Abdullah bin Saba’ adalah seorang pendeta Yahudi dari Yaman yang masuk Islam. Ketika ia datang ke Madinah tidak begitu dapat penghargaan dari Khalifah dan juga dari ummat Islam yang lain. Oleh karena itu ia jengkel.
Sesudah terjadi “peperangan Siffin”, peperangan saudara sesama Islam, yaitu antara tentara Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dengan tentara Mu’awiyah bin Abu Sofyan ( Gubernur Syria ) pada tahun 37 Hijriyah timbul pula firqah Khawarij, yaitu orang-orang yang keluar dari Saidina Mu’awiyah Rda. dan dari Saidina ‘Ali Rda. .

Periode abad ke II Hijriyah

Kemudian timbul pula Kaum Mu’tazilah, yaitu kaum yang dipimpin oleh Washil bin Atha’ (lahir 80 H – wafat 113 H) dan Umar bin Ubeid (Wafat 145 H).
Kaum Mu’tazilah ini mengeluarkan fatwa yang ganjil-ganjil, yang berlainan dan berlawanan dengan i’tikad Nabi dan sahabat-sahabat beliau.
Di antara fatwa-fatwa yang ganjil dari Kaum Mu’tazilah itu, ialah adanya “manzilah bainal manzilatein”, yakni ada tempat di antara dua tempat, ada tempat yang lain selain syurga dan neraka.
Banyak lagi fatwa-fatwa kaum Mu’tazilah, umpamanya fatwa yang mengatakan bahwa sifat Tuhan tidak ada, bahwa Qur’an itu makhluk, bahwa mi’raj Nabi hanya dengan ruh saja, bahwa pertimbangan akal lebih didahulukan dari hadist-hadist Nabi, bahwa syurga dan neraka akan lenyap, dan lain-lain fatwa yang keliru.

Kemudian timbul pula paham Qadariyah yang mengatakan bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh manusia sendiri, tidak sangkut-paut dengan Tuhan. Hak mencipta telah diberikan Tuhan kepada manusia, sehingga Tuhan tidak tahu dan tidak perduli lagi apa yang akan dibuat oleh manusia.

Kemudian timbul pula paham, Jabariyah yang mengatakan bahwa sekalian yang terjadi adalah dari Tuhan, manusia tak punya daya apa-apa, tidak ada usaha dan tidak ada ikhiar.

Kemudian timbul pula paham Mujassimah, yakni paham yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk, punya tangan, punya kaki, duduk di atas kursi, turun dari tangga serupa manusia, Tuhan adalah cahaya seperti lampu, dan lain-lain kepercayaan.
Kemudian lahir pula paham-paham yang keliru tentang tawasul dan wasilah, tentang ziarah dan istigatsah dari Ibnu. Thaimiyah yang semuanya mengacaukan dunia Islam dan kaum Muslimin. 

Di wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang hingga zaman al-khulafa’ ar-rasyidun, yakni dimulai sejak terjadi Perang Shiffin yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dengan Muawiyah. Bersama kekalahan Khalifah ke-empat tersebut, setelah dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh kubu Muawiyah, ummat Islam makin terpecah kedalam berbagai golongan seperti dijelaskan diatas .
Di antara kelompok-kelompok itu, adalah sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu Sa’id Hasan ibn Hasan Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih dikenal dengan nama Imam Hasan al-Bashri, yang cenderung mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersifat kultural (tsaqafiyah), ilmiah dan berusaha mencari jalan kebenaran secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian politik antara berbagai faksi politik (firqah) yang berkembang ketika itu. Sebaliknya mereka mengembangkan sistem keberagamaan dan pemikiran yang sejuk, moderat dan tidak ekstrim. Dengan sistem keberagamaan semacam itu, mereka tidak mudah untuk mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik ketika itu.

Seirama waktu, sikap dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi Ulama setelah beliau, di antaranya Imam Abu Hanifah Al-Nu’man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas (w. 179 H), Imam Syafi’i (w. 204 H), Ibn Kullab (w. 204 H), Ahmad Ibn Hanbal (w. 241 H), hingg tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asy’ari (w 324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H).

Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan; meskipun bila ditelusuri secara teliti benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad sebelumnya. Perkataan Ahlussunah wal Jama’ah kadang-kadang dipendekkan menyebutnya dengan Ahlussunah saja, atau Sunny saja dan kadang-kadang disebut ‘Asy’ari atau Asya’irah, dikaitkan kepada guru besarnya Abu Hasan ‘Ali al Asy’ari.

Terhadap madzhab al-Asya’irah ini ada yang barangkali tidak tahu jika sebutan ini adalah kata lain Dari Aswaja.dan ini sangat disayangkan karna bisa menjadi faktor retaknya kesatuan golongan Ahlus Sunnah dan terpecah-pecahnya kesatuan Jama`ah, sehingga sebagian orang yang jahil memasukkan al-Asya’irah dalam kelompok golongan yang sesat padahal jelas jelas mereka Aswaja karna Nama Asya`irah justru diambil dari nama salah satu pendiri Aswaja Abu Hasan ‘Ali al Asy’ari.!!

Perhatikan !!
Berkata Sayid Mutadha az Zabidi, pengarang kitab “Ittihaf Sadaatul Muttaqin”, yaitu kitab yang mensyarah kitab “Ihya Ulumuddin”, karangan Imam Ghazali :
Artinya : Apabila disebut “Ahlussunah wal Jama’ah” maka yang dimaksudkan dengan ucapan itu ialah paham atau fatwa-fatwa yang disiarkan oleh Imam Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi (I’tihaf jilid II, halaman 6). 

“Apabila disebut nama Ahlussunnah secara umum, maka maksudnya adalah Asya’irah (para pengikut faham Abul Hasan al-Asy’ari) dan Maturidiyah (para pengikut faham Abu Manshur al-Maturidi” (Ithaf Sadat al-Muttaqin, Muhammad Az-Zabidi, juz 2, hal. 6.)

“Adapun hukumnya (mempelajari ilmu aqidah) secara umum adalah wajib, maka telah disepakati ulama pada semua ajaran. Dan penyusunnya adalah Abul Hasan Al-Asy’ari, kepadanyalah dinisbatkan (nama) Ahlussunnah sehingga dijuluki dengan Asya’irah (pengikut faham Abul Hasan al-Asy’ari)” (Al-Fawakih ad-Duwani, Ahmad an-Nafrawi al-Maliki, Dar el-Fikr, Beirut, 1415, juz 1, hal. 38). 

“Begitu pula menurut Ahlussunnah dan pemimpin mereka Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi” (Al-Fawakih ad-Duwani, juz 1 hal. 103) 

“Dan Ahlul-Haqq (orang-orang yang berjalan di atas kebenaran) adalah gambaran tentang Ahlussunnah Asya’irah dan Maturidiyah, atau maksudnya mereka adalah orang-orang yang berada di atas sunnah Rasulullah Saw., maka mencakup orang-orang yang hidup sebelum munculnya dua orang syaikh tersebut, yaitu Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi” (Hasyiyah Al-’Adwi, Ali Ash-Sha’idi Al-’Adwi, Dar El-Fikr, Beirut, 1412, juz 1, hal. 105)

“Dan yang dimaksud dengan ulama adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dan mereka adalah para pengikut Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi radhiyallaahu ‘anhumaa (semoga Allah ridha kepada keduanya)” (Hasyiyah At-Thahthawi ‘ala Maraqi al-Falah, Ahmad At-Thahthawi al-Hanafi, Maktabah al-Babi al-Halabi, Mesir, 1318, juz 1, hal. 4)

Keistimewaan Aswaja atau juga asya`irah atau juga sunni dalam menegakkan pahamnya ialah, dengan mengutamakan dalil-dalil dari Qur’an dan Hadits dan juga dengan pertimbangan aqal dan pikiran, tidak seperti kaum Mu’tazilah yang mendasarkan pikirannya kepada aqal dan falsafah yang berasal dari Yunani dalam membicarakan Ushuluddin dan pula tidak seperti kaum Mujassimah (kaum yang menyerupakan Tuhan dengan makhluq) yang memegang arti lahir dari Qur’an dan Hadits, sehingga sampai mengatakan bahwa Tuhan bertangan, Tuhan bermuka, Tuhan duduk-duduk diatas ‘arsy, dan lain-lain sebagainya.

Golongan ini adalah para pemimpin ulama yang membawa petunjuk dari kalangan ulama muslimin yang ilmu mereka memenuhi bagian timur dan barat dunia dan disepakati oleh manusia sepakat atas keutamaan, keilmuan dan keagamaan mereka. Mereka adalah tokoh-tokoh besar ulama Ahlussunnah berwibawa tinggi yang berdiri teguh menentang kecongkaan dan kesombongan golongan Mu’tazilah. 

(Dokumen Pemuda TQN News, Sumber: benderaaswaja.com) 

Posting Komentar

GR007 mengatakan... 20 Maret 2013 pukul 08.48

subhanallah...
alhamdullillah..
ijin copy ya saudara...

Unknown mengatakan... 20 Maret 2013 pukul 11.16

@Gus Ris... silahkan saudaraku
dengan tetap mencantumkan links/url sumber yakni: benderaaswaja.com

 
Top