Menu

TQN PP.Suryalaya

 

(Oleh Dahnil Anzar Simanjuntak)

Perdebatan pemindahan Ibu kota Negara sempat ramai pada saat Jakarta dilanda banjir, Januari 2013 lalu. Wacana ini timbul tenggelam seiring dengan permasalahan yang muncul di Jakarta.
Ketika media ramai mengangkat isu potensi Jakarta mengalami kemacetan total, maka muncul wacana pemindahan Ibu Kota Negara, seperti beberapa bulan lalu, ketika Jakarta mengalami musibah banjir yang menyebabkan kerugian ekonomi dan sosial yang tidak sedikit.

(Foto: Kemacetan yang sudah demikian parah di Jakarta)
Wacana pemindahan sayangnya berhenti menjadi wacana para tokoh politik tanpa ada aksi legal formal yang nyata. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mengamini kemungkinan wacana ini, tapi kini kembali sepi dan tidak jelas langkah yang perlu dan harus dilakukan. 
Saya berusaha menyegarkan kembali wacana ini, untuk terus dipikirkan dan dimulai langkah strategis, karena pemindahan Ibu kota bukan pekerjaan jangka pendek, tetapi membutuhkan waktu yang panjang untuk kebaikan Indonesia jangka panjang, bukan sekedar kebaikan Jakarta.


Alasan Pemindahan Ibu Kota

Beberapa tokoh mengomentari dengan sinis wacana pemindahan Ibu Kota Negara, dengan perspektif menurut saya cenderung myopia alias rabun jauh, tidak mampu melihat kebutuhan masa depan Indonesia dalam jangka panjang. 
Pemindahan Ibu kota Negara bukan sekadar permasalahan banjir serta kemacetan di Jakarta. Banjir dan kemacetan di Jakarta harus segera ditangani dalam jangka pendek, tetapi mendorong percepatan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi di Indonesia dalam jangka panjang harus dilakukan, pemindahan akan menggeser beban dan pusat pertumbuhan tidak hanya di Jakarta tetapi juga bagian Indonesia lainnnya, karena di masa yang akan datang Jakarta akan semakin “sesak”, ditambah lagi kebijakan desentralisasi belum berhasil menggeser pusat pertumbuhan ke daerah-daerah. 
Ada banyak argumentasi yang mendasari, mengapa sebuah Ibu kota Negara perlu dipindahkan dari satu kota ke kota lainnya, tetapi ada dua alasan penting yang bisa menjadi argumetasi dasar mengapa Indonesia harus melakukan pemindahan Ibu kota. 
Pertama. Alasan yang paling rasional adalah untuk meningkatkan kinerja ekonomi, sebagai daerah pusat pertumbuhan ekonomi, Jakarta terasa begitu “sesak”,  kemacetan, dan banjir menjadi wajah Ibu Kota Indonesia ini.
Dalam jangka panjang seiring dengan pertumbuhan ekonomi maka Jakarta akan menjadi semakin “sesak”, ditambah lagi dengan fakta Jakarta tetap menjadi magnet urbanisasi seiring dengan gagalnya daerah-daerah lain menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, meski kebijakan desentralisasi sejatinya menggeser pertumbuhan ekonomi lebih tersebar keseluruh daerah di Indonesia. 
Pemindahan ibu kota Negara setidaknya akan mampu menggeser pusat pertumbuhan tersebut ke kota lain yang disepakati menjadi Ibu kota Indonesia yang baru.  Tengok saja, 80 persen aktivitas bisnis di Indonesia dilakukan di Jakarta, 80 persen uang beredar juga ada di Jakarta. Wajah Indonesia selalu dipotret dengan wajah Jakarta, mulai dari ekonomi, politik dan sosial-budaya. 
Kedua, pemindahan Ibu kota bisa menjadi ekspresi politik keberagaman. Pemindahan Ibu kota, setidaknya bisa dimaknai sebagai ekspresi bahwa Indonesia tidak sekadar Jakarta, karena dengan pemindahan ibu kota Negara, maka lokus pandangan kita akan agak  bergeser ke daerah yang menjadi Ibu kota Indonesia yang baru. 
Selain itu secara politik melalui pemindahan Ibu kota maka, dalam jangka pendek kita akan memisahkan pusat pemerintahan dan politik dengan pusat bisnis dan ekonomi. 


Melawan Myiopia 

Memulai kebijakan pemindahan Ibu kota memang tidak mudah bagi Negara demokrasi seperti Indonesia, karena proses perubahan konstitusi dan teknis pelaksanaan seperti penetapan Ibu Kota baru, pemindahan pegawai, infrastruktur pemerintahan serta penganggarannya pasti memakan waktu.
Berbeda dengan negara-negara otoritarian memindahkan Ibu kota tentu pekerjaan mudah secara politik, tetapi, a billion step begin with one step. Brazil saja membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun untuk merealisasikan wacana pemindahan Ibu kota Negara-nya dari Rio De Janeiro ke Brasilia. Langkahnya harus dimulai jangan lagi berhenti sekadar menjadi wacana pepesan kosong ketika musibah datang melanda Jakarta. 

Belajar dari pemindahan Ibu kota Negara seperti Malaysia (2000) dari Kualalumpur ke Putrajaya, Khazakstan (1998) dari Almaty ke Astana. German (1990) dari Bonn ke Berlin dan banyak lagi Negara-negara yang berhasil memindahkan Ibu kota negaranya.
Meskipun, tentu dengan alasan-alasan yang berbeda-beda, setidaknya bisa menjadi bahan pembelajaran bagi Indonesia bahwa pemindahan Ibu kota Negara bukan satu hal yang tabu dan mustahil dilakukan apalagi dengan kondisi Jakarta seperti saat ini. 
Jakarta harus dibenahi, tetapi memikirkan masa depan Indonesia yang lebih baik juga harus dilakukan karena Indonesia tidak berdiri hanya untuk generasi sekarang atau generasi 20 tahun maupun 100 tahun ke depan, tetapi juga untuk generasi ratusan tahun ke depan.  
Indonesia bukan sekadar Jakarta, banyak daerah-daerah lain yang bisa dan siap menjadi Ibu kota Negara dan menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru. Melawan cara pandang, myiopic perlu dilakukan, karena cara pandang yang didominasi kepentingan jangka pendek ini menyebabkan banyak kebijakan negara didesain atas dasar kepentingan-kepentingan jangka pendek abai kebutuhan masa depan.
Usaha merealisasikan wacana pemindahan Ibu kota adalah wacana kebijakan jangka panjang bukan myopia, untuk eksitensi Indonesia dimasa yang akan datang, jadi mari kita mulai.



Penulis adalah Pengajar FE Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA) Banten

(dokumen pemuda tqn suryalaya,sumber: republika online)

Posting Komentar

 
Top