Politik pertanian menurut
pandangan Islam sangat terkait erat dengan politik ekonomi Islam. Politik
ekonomi Islam adalah adanya jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok
(primer) tiap indidvidu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan
yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap
(sekunder dan tersier) sesuai dengan kadar kesanggupannya, sebagai indidvidu
yang hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style)
tertentu. Sedangkan politik pertanian Islam adalah hukum-hukum dan
langkah-langkah yang ditempuh untuk mengoptimalkan pengelolaan tanah pertanian
dalam rangka mencapai tujuan politik ekonomi Islam yakni menjamin tercapainya
kebutuhan pokok individu masyarakat. Dari sinilah dapat dikatakan bahwa politik
pertanian Islam membicarakan hukum-hukum tentang optimalaisasi tanah pertanian
serta uapaya meningkatkan produktivitas barang-barang kebutuhan pokok.
Telah menjadi pemandangan
umum terutama di negeri Islam yang subur, adanya kepemilikan tanah yang sangat
luas dari orang-orang yang mempunyai kekayaan yang besar yang umumnya mereka
berada di perkotaan. Sementara tanah pertanian yang mereka kuasai tersebut
berada di pinggiran kota ada dipelosok desa. Akibatnya banyak kita saksikan
tanah-tanah milik “orang kaya kota” yang dibiarkan terlantar yang kemudian
sering dikenal dengan “lahan tidur”. Sementara itu juga kita saksikan para
petani yang dulunya merupakan pemilik sekaligus penggarap tanah sekarang
berubah fungsi hanya menjadi penggarap atau penyewa tanah yang sebelumnya
mereka kuasai, atau para petani kemudian beralih profesi dan pergi meninggalkan
desanya untuk mencari penghidupan dikota.
Akibatnya akan kita
temukan banyak “tuan tanah” yang memiliki tanah yang sangat luas
sementara mereka tidak sanggup mengelolanya sendiri. Sementara itu terdapat
pula orang-orang yang mampu mengelolanya tetapi mereka tidak memiliki tanah
pertanian. Inilah yang menjadi penyebab banyaknya tanah pertanian yang tidak
digarap serta tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Abibatnya bagi
masyarakat adalah ketersediaan bahan pangan menjadi terganggu, sebab tanah
pertanian tidak optimal dimanfaatkan. Kondisi ini mendorong sejumlah orang
berpendapat bahwa penguasaan tanah pertanian oleh individi harus dibatasi
sehingga tidak ada pengusaan secara besar-besaran. Salah satu pendapat yang
mereka lontarkan adalah dengan ide land reform yang mencoba mengatasi
persoalaan kepemilikan lahan yang tidak merata.
Yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana sebenarnya upaya Islam untuk mengatasi persoalan tersebut serta menjamin tercapainya optimalisasi pemanfaatan tanah pertanian. Menurut Islam masalah penguasaan yang tidak merata, bukanlah persoalan satu-satu bahkan bukanlah persoalah pokok dari optimalisasi pemanfaatan tanah pertanian. Pokok persoalannya bukanlah pada penguasaan tanah pertanian yang luas atau sempit. Tetapi persoalan pokoknya adalah tidak dikelola serta tidak berproduksinya tanah-tanah pertanian yang ada. Oleh karena itu untuk mengatasi hal itu tidak cukup hanya dengan membagi tanah pertanian secara merata kepada anggota masyarakat. Tetapi yang lebih penting adalah harus adanya jaminan agar tanah pertanian yang ada tidak terlantar. Oleh karena itulah islam menetapkan beberapa hukum yang wajib diterapkan dalam rangka menjamin tercapainya optimalisasi pemanfaatan tanah pertanian. Hukum-hukum tersebut adalah hukum pencabutan hak atas tanah pertanian yang dibiarkan terlantar selama tiga tahun berturut-turut serta hukum larangan penyewaan tanah pertanian.
Jadi penyesaian terhadap
persoalan tersebut bukanlah membatasi kepemilikan seseorang atas tanah
pertanian, tetapi yang yang lebih penting adalah bagaimana agar setiap tanah
yang dimiliki seseorang harus dia kelola. Oleh karena itu secara langsung Islam
tidak pernah membatasi hak seseorang untuk memiliki tanah pertanian. Sebab hal
seperti ini adalah sesuatu yang bertentangan dengan fitrahmanusia, dimana
setiap manusia mempunyai naluri untuk menyenangi serta ingin menguasai
sesuai (hubbut tamaluk). Bahkan menurut Islam setiap orang diperbolehkan
memiliki tanah pertanian seluas apapun yang dia inginkan selama tanah tersebut
ia peroleh dengan cara-cara yang dibenarkan oleh Islam serta selama tanah yang
dia miliki tersebut dia kelola (garap). Jika dia telah memiliki tanah pertanian
berapapun luasnya maka dia terikat kewajiban untuk mengelolanya jika dia ingin
tetap memiliki tanah tersebut. Jika ada tanah pertanian yang tidak dia garap
selama tiga tahun berturut- turut, maka tanah tersebut akan diambil oleh negara
untuk diserahkan kepada orang lain yang mau menggarapnya. Dengan hukum inilah
Islam memberikan batasan secara tidak langsung terhadap kepemilikan
tanah pertanian. Yakni batasannya adalah kemampuan mengelola.
Tanpa adanya larangan
penyewaan tanah pertanian, maka akan kita temukan orang-orang yang mempunyai
tanah pertanian yang luas akan menyewakan tanah pertanian mereka kepada orang
lain. Akibatnya kita lihat mereka para tuan tanah akan menyewakan tanah-tanah
pertanian mereka kepada para petani yang tidak mempunyai tanah pertanian.
Mereka mengambil sewa dari orang-orang yang menggarapnya. Dengan demikian upaya
pengelolaan tanah tersebut dilimpahkan kepada orang lain, sementara kepemilikan
tanah tersebut tetap menjadi tuan tanah. Hal ini tentunya merupakankezhaliman.
Kezhaliman itu muncul kari eksploitasi tenaga manusia dan hal ini harus
dihilangkan. Untuk mengatasi persoalan ini maka Islam menetapkan hukum larangan
penyewaan tanah pertanian agar eksploitasi tidak terjadi serta yang lebih
penting agar tercapai optimasiasi pemanfaatan tanah pertanian.
Sebenarnya hal yang
menjadi sumber permasalahan tersebut adalah karena terpisahnya antara pemilikan
tanah dengan produksi tanah itu sendiri. Hal ini terlihat dari bahwa para
pemilik tanah tidak mereka sendiri yang mengurusi produksi tanahnya. Sementara
orang yang mengurusi produksi (penggarap) tidak memiliki tanah pertanian. Oleh
karena itu upaya mengatasinya adalah dengan adanya larangan pemisahan antara
produksi dari pemilikan tanah pertanian secara tegas. Untuk itu Islam
menetapkan larangan tegas bagi penyewaan tanah pertanian. Karenanya setiap
pemilik tanah harus dipaksa untuk memproduksi tanah tersebut dengan kegiatan
pertaniannya sendiri, atau menjualnya. Jika ia tidak mau maka tanah tersebut
akan diambil tanpa imbalan apapun. Inilah pemecahan masalah yang ditawarkan
Islam untuk mengatasi beberapa persoalan tersebut.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh Islam untuk menjamin kebutuhan pokok masyarakat adalah melaksanakan politik pertanian Islam, yakni segala upaya yang harus ditempuh untuk meningkatkan produksi bahan-bahan pertanian yang dapat memenuhi kebutuhan pokok individu masyarakat. Strategi peningkatan produksi pertanian pokok tersebut mencakup tiga hal berikut :(1) peningkatan produksi bahan-bahan pangan;(2) peningkatan produksi bahan-bahan pokok untuk sandang;(3) peningkatan produksi komoditi pertanian yang mempunyai pasaran di luar negeri.
Pertama : Peningkatan
produksi bahan-bahan pangan. Peningkatan produksi bahan-bahan pangan adalah
harus menjadi prioritas, sebab bahan-bahan pangan itu penting untuk mencukupi
kebutuhan makanan pokok penduduk, sekaligus untuk mengantisipasi terjadinya
bahaya kepalaran pada musim paceklik atau musim kemarau yang menyebankan
kekurangan pangan. Atau juga untuk mengantisipasi terjadinya embargo ekonomi
oleh negara-negara lain karena negara mengembangkan perjuangan jihad, sekaligus
juga untuk berjaga-jaga jika negeri-negeri Islam yang lain mengalami kekurangan
makanan karena disebabkan beberapa hal.
Oleh sebab itu menjadi
kewajiban bagi negara Islam untuk mencurahkan segala potensi untk meningkatkan
produksi bahan-bahan pangan, baik dalam bentuk kekayaan nabati maupun hewani.
Lebih dari itu alasan kita harus berusaha menjadi swasembada pangan adalah
karena jika kita harus membelinya dari luar negeri, maka hal itu akan membuat
kita tergantung dengan negara lain dan hal ini tidak jarang akan menyulitkan
negara.
Kedua : Peningkatan
produksi bahan-bahan pokok untuk keperluan sandang seperti kapas, wol, sutera
dan lain sebagainya. Upaya memenuhi kebutuhan ini penting karean sandang adalah
salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi di dalam negeri. Karenya kita
seharusnya sekuat tenaga berusaha untuk mencukupi kebutuhan sebdiri tanpa
mengimpornya dari luar negeri yang menyebabkan kita tergantung dengan mereka.
Dengan demikina kita dapat menjauhkan umat dari bahaya “telanjang” jika
suatu ketiika negara menghadapi embargo ekonomi dari negara luar karean
aktivitasnya menyebarkan Islam dengan dakwah dan jihad.
Ketiga : Peningkatan
produksi pertanian untuk komoditi yang mempunyai pasaran luar negeri. Hal ini
penting untuk mendapatkan devisa yang mencukupi jika suatu waktu kita harus membeli
kebutuhan dalam negeri dari luar. Kalau kita tidak memiliki cadangan devisa
yang cukup untuk mem-back up impor kita maka jika suatu waktu kita harus
mengimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, maka akan menyebabkan kita
terpaksa menjual nilai tukar kita dengan harga yang murah dipasar
internasional. ‘Allahu A’lam.
Bacaan: As Siyaasah
Al iqtishodiyyatu Al Mutsla,
Syaikh Abdurrahman Al Maliki
(Dokumen Pemuda TQN Suryalaya News,
sumber:wwwsuaratanipriyangan.blogspot.com)
Posting Komentar
Posting Komentar