-Dr.
Kautsar Azhari Noer - Dosen Tasawuf UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta-
Sang
Amir berkata:"Siang dan malam hati dan Jiwaku bermaksud sungguh-sungguh
melayani Allah. Tetapi karena tanggung jawab pada pekerjaanku, aku tidak
punya waktu untuk beribadah."
Rumi
menjawab: "Tanggung jawabmu itu juga merupakan pekerjaan yang dilakukan
demi Allah, karena kamu bekerja untuk menciptakan kedamaian dan
keamanan bagi negerimu. Kamu korbankan dirimu, hartamu, waktumu, sehingga
hati beberapa orang akan terangkat begitu damai untuk mematuhi kehendak Allah.
Jadi,
ini juga pekerjaan yang bagus. Allah telah mendorongmu untuk melakukan kerja
semacam itu, dan kecintaanmu yang besar terhadap apa yang kamu
lakukan adalah bukti rahmat Allah. Akan tetapi, jika kecintaanmu pada pekerjaan
melemah, ini akan menjadi pertanda anugerah yang ditolak, karena Allah hanya
membimbing mereka yang layak melakukan sikap-sikap yang benar, yang akan
berdampak pada peningkatan derajat spiritual."
Rumi
kemudian memberikan contoh sebuah bak mandi yang panas. Panasnya berasal dari
bahan bakar yang terbakar, seperti jerami kering, kayu bakar, tulang hewan,
dll.
Dengan
cara sama, Allah menggunakan penampakan luar setan dan kejahatan, meski
sesungguhnya ini dimaksudkan untuk menjernihkan dan menyucikan. Seperti bak
mandi, laki-laki atau wanita yang terbakar oleh kegigihan bekerja, menjadi
tersucikan dan menjelma kemanfaatan bagi semua orang.
Demikian
Maulana Jalaluddin Rumi dalam karya monumental, Fihi Ma Fihi, menggambarkan
proses tercerahnya spiritualitas, justru dalam proses kerja. Satu hal yang
selama ini dianggap terpisah, kerja adalah dunia, ibadah adalah akhirat. Dalam
proses kerja, manusia ternyata mampu mendapatkan "pembakaran
spiritual", sehingga setiap keringat yang menetes, telah melahirkan
pembersihan, dan oleh karenanya penyucian jiwa, selayak laku ‘abid yang beribadah
siang dan malam.
Hanya
memang, hal ini sulit terjadi dalam kenyataan. Kesulitan terletak karena proses
kerja itulah yang sering menjelma kesadaran palsu (false consciousness), dimana
kita lupa dan asing dari diri sendiri, asing dari hakikat kehambaan.
Ini
yang terjadi, sebab masyarakat kita terlanjur menempatkan kerja, an sich dalam
hasrat ekonomi, sehingga kerja dan uang, yang sebenarnya merupakan alat, kini
menjadi tujuan.
Apalagi
masyarakat kita telah lama mengarah pada satu dimensi, one dimensional man,
Herbert Marcuse bilang. Dalam keadaan itu, arah manusia hanya satu, yakni
bagaimana menjalani hari-hari dalam rutinitas mesin besar bernama
industrialisasi, dimana para pekerja menjelma sekrup yang memperkuat struktur
mesin modernitas tersebut. Ini yang membuat manusia terasing dari dirinya,
sehingga kita tidak lagi mampu bertanya, untuk apa semua ini? Untuk apa kerja?
Untuk apa hidup? Dalam situasi seperti ini, memikirkan apalagi merasakan
kehadiran Allah, menjadi sesuatu yang hambar. Apa manfaatnya bagi produktifitas
kerja?
Segenap
tanya tersebut akan kita cari jawab, bersama Dr. Kautsar Azhari Noer. Dosen
tasawuf UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta penulis dua buku; Ibn ‘Araby:
Wahdatul Wujud dalam Perdebatan Kita (1995), dan Tasawuf Perenial (2003).
Beliau
yang merasa mendapatkan "hadiah dari Ibn ‘Araby", karena sejak
pertengahan tahun ini, telah didaulat sebagai Honorary Fellow pada Ibn ‘Araby
Society, Oxford University. Sebagai penggali Ibn ‘Araby, Dr. Kautsar tentu
memiliki pandangan menarik atas problem "absennya Allah di tempat
kerja". Hal ini nyata, karena Ibn ‘Araby sendiri mengabarkan kepada kita
tentang kesatuan Allah dan makhluk, yang saat ini cenderung dipisahkan oleh
proses kerja tersebut. Demikian wawancara santai Cahaya Sufi dengan beliau.
Bagaimana
sebenarnya cara kita bisa merasakan kehadiran Allah dalam proses kerja sehari-
hari?
Spiritualitas
itu bisa dilakukan di tempat kerja. Jadi praktik spiritual tidak hanya
dilakukan ditempat khusus, seperti masjid, musholla, zawiyyah, dan kholwat,
apalagi pergi ke gunung, menyepi. Karena Allah itu dekat, lebih dekat dari urat
nadi. Wanahnu aqrabu min hablil wariid. Demikian maktub al-Qur’an. Kalau kita
yakin Allah dekat, kita bisa merasakan kehadiran Allah dalam bekerja. Kalau
orang merasakan kehadiran Allah dalam bekerja, dia akan menjalankan kerja
sesuai keinginan Allah, dan tidak mungkin melakukan hal-hal yang tidak etis.
Sebenarnya
Islam arahnya kesana. Jadi anta’budalloha kaannka taroohu fainlam takun taroohu
fainnahu yarooka. Kalau saya mengartikan ibadah disana, bukan hanya ibadah
mahdloh saja, tetapi apapun yang kita lakukan, kita selalu merasakan kehadiran
Allah. Al-Qur’an juga mengatakan agar kita mengingat Allah dimanapun, ketika
duduk, berdiri. Kuncinya disitu, sebab dzikir merupakan kunci dalam tasawuf.
Karena tidak mungkin tasawuf tanpa dzikir, dan tasawuf sangat menekankan
kehadiran Allah.
Permasalahannya,
pemahaman masyarakat terhadap makna kerja yang bersifat homo economicus, jadi
kerja ya hanya memenuhi kebutuhan ekonomi. Allah tidak terlibat.Bagaimana
menanggulangi hal ini?
Ya
tujuannya yang sudah salah. Kalau orang kerja tujuannya ekonomi semata, duniawi
semata, sudah tidak benar menurut tuntunan al-Qur’an. Dimata saya, kita boleh
bekerja mencari harta sebanyak-banyaknya, sejauh dimanfaatkan untuk
meningkatkan kualitas spiritual. Atau dengan bahasa lain, ditujukan untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Cuma orang kan sering lupa kepada yang memberi
rezeki (al-Raziq) akhirnya dia hanya terbenam dengan kehidupan duniawi. Mungkin
hal ini terkait dengan kesinambungan antara akal dan batin. Jadi selama ini,
orang memaknai kerja itu akal, sementara dzikir itu batin, dan keduanya tidak
bisa nyambung karena situasi kerja yang akal an sich.
Saya
kira wilayahnya masing-masing ya. Dzikir dengan qalbu, karena dalam al-Qur’an,
istilah yang ada ya qalbu. Jadi pengalaman spiritual wadahnya qalbu, bukan
akal. Bukan berarti akal diabaikan, tetapi ditempatkan sesuai dengan kapasitas
atau fungsinya, yakni untuk hal-hal yang empiris; fisika, biologi, penelitian
ilmiah. Tetapi untuk persoalan metafisik, ya qalbu. Jadi jangan
dipertentangkan.
Tapi
seakan terpisah?
Tidak
mesti dipisahkan, lain fungsi aja. Ada dua kata yang tak sama, memisahkan dan
membedakan, ia berbeda tapi tak terpisah. Karena akal dan qalbu itu kemampuan
kita. Artinya sama-sama anugerah Allah. Kalau akal tidak diragukan lagi sering
dibicarakan dalam tasawuf. Ada hadist yang menyatakan, bumi dan langit tidak
mampu memeluk Allah, tetapi akal hamba yang mukmin, mampu memeluk Allah. Nah
sementara qalbu itu dari fi’il qollaba, berubah, bolak-balik. Ya tergantung,
kalau hatinya baik, kualitas orang akan baik, kalau hatinya jahat, kualitasnya
akan rendah. Dalam hubungan dengan Allah, yang berperan qalbu, iman.
Dzikir itu qalbu, bukan akal. [pagebreak]Nah bagaimana agar bisa dzikir dalam
proses kerja? Baik dizkir ritual, maupun dzikir dalam artian bahwa kerja
merupakan jalan mendekat kepada Gusti Allah.
Seperti
saya katakan, orang bisa dzikir dimana saja dan Allah tidak jauh kan, lebih
dekat dari urat nadi. Yunus Emre (w. 721 H/1321 M) penyair Sufi Anatolia, Turki
yang merupakan pengikut Ibn Araby pernah bilang, "Jika Anda ingin mencari
Allah, carilah didalam qalbumu". Nah itu nggak jauh-jauh kan. Jadi
dimanapun dan kapanpun, baik kita sedang kerja di pasar, di kantor, Allah ada
disitu. Kita bisa merasakan Allah disana. Tapi itu tergantung, ada nggak
kemauan, karena yang penting, menjaga kesadaran kita akan kehadiran Allah.
Menjaga kesadaran itu yang saya kira orang belum konstan berusaha.
Hal
ini memang perlu dilatih, dan dimulai dari diri kita sendiri. Mungkin
diperlukan pemahaman. Seperti pemahaman orang bahwa dzikir itu hanya di masjid,
ingat kepada Allah hanya ketika sholat saja, padahal nggak seperti itu kan.
Maka ada istilah sholat daim, itu sebenarnya bukan sholat ritual, tetapi sholat
setiap detik sepanjang hidup. Jadi janganlah sholat hanya ketika sedang sholat,
tetapi sholatlah sepanjang hidup. Selama ini hubungan kita dengan Allah putus,
ketika kita selesai sholat ritual.
Bisa
nggak dikatakan, bahwa yang memutus hubungan dengan Allah itu pekerjaan?
Ya,
itu tergantung dari kesadaran dan kemauan kita. Karena sibuk dengan kerjaan,
orang lupa dengan Allah. Seharusnya tidak seperti itu. Justru kita juga bisa
ingat Allah ketika bekerja. Karena seperti saya katakan tadi, praktik
keruhanian bisa dilakukan ditempat keramaian.
Jadi
setiap kita melakukan sesuatu, selalu detak qalbu kita mengucapkan Allah,
Allah, sehingga semuanya Allah, akhirnya kita ini nggak ada apa-apanya. Ketika
Nabi Muhammad melempar musuh, bukan beliau yang melempar kan, tapi Allah yang
melempar. Makanya orang-orang yang berbuat kebaikan melebihi yang wajib, Allah
akan menjadi pendengarannya, penglihatannya. Ini artinya, kita harus menyadari
bahwa semuanya Allah, kita ini nggak ada apa-apanya. Nah itu bisa kita lakukan
ketika kerja. Ketika kita sedang nulis, yang nulis Allah, bukan kita. Buktinya,
seandainya tangan kita diambil oleh Allah, ya udah, berhenti kan kita. Tapi
jangan disalahpahami, ketika Anda yang berjalan, bukan Anda, tapi Allah yang
berjalan. Tidak seperti itu. Coba ketika kita sedang jalan, nyawa kita dicabut
Allah, maka stop kan jalan kita.
Apalagi
kalau kita sadar seperti kesadaran Ibn Arabi, al-Hallaj, dan Abu Yazid
al-Bustami, bahwa kita ini nggak ada, yang ada hanya Allah. Kita tidak lebih
dari tajalli-Nya, dhzillun (bayangan) Nya. Mungkin paham seperti ini tidak
dipahami oleh semua orang. Saya paham itu. Sama ketika orang memahami ayat,
wamaa romaita idz romaita walakinnalloha roma, itu arahnya kesana. Jadi bukan
kamu yang melempar, tetapi Allah yang melempar. Kamu itu tidak lebih dari madzhar-Nya
Allah, tajalli, majla, tempat penampakan Allah, hakikatnya Allah, kita nggak
ada apa-apanya.
Kalau
bisa begitu, orang nggak akan pernah sombong. Sayang sikap egoisme kita terlalu
besar. Disini ketika al-Hallaj mengucapkan Anna al-Haq, egonya hilang, yang ada
Allah. Aku disitu bukan aku al-Hallaj, dia nggak ada. Tapi ini kan sulit
dipahami masyarakat.
Nah
terkait dengan kegiatan kita sehari-hari, saya kira seperti itu juga. Apapun
yang kita lakukan, sebenarnya yang melakukan Allah, kita nggak ada apa-apanya.
Sebelum
al-Hallaj mati, dia bilang, "Ya Allah ampuni mereka yang hendak
membunuhku, karena mereka tidak mengerti. Mereka mencintai Mu. Maafkan
mereka". Bukannya mengamuk dan memaki, tapi dia faham, seandainya mereka
mengerti apa yang al-Hallaj alami, mereka nggak akan melakukan itu.
Apa
proses tadi bisa dikatakan kholwat dalam kerja?
Saya
tidak menyebutnya kholwat. Kalau kholwat memang menyendiri, ada yang 10 hari
ada 40 hari. Itu memang khusus. Saya tidak sebut hal diatas kholwat. Tetapi orang
bisa merasakan kehadiran Allah ditempat keramaian, tidak mesti ketika kholwat
saja. Bahwa kholwat itu semacam baterai hendak diisi gitu lah. Mungkin untuk
melatih, dan setelah kholwat itu diharapkan selamanya bisa meningkatkan
kualitas keruhanian, karena hatinya selalu nyambung dengan Allah.
Terkait
dengan pandangan miring terhadap zuhud?
Zuhud
itu tidak berarti orang tidak makan, tidak punya isteri, tidak punya harta.
Tapi maksudnya orang tidak dikuasai oleh hartanya, tidak dikuasai oleh apa yang
dia miliki. Bahkan kalau sampai tingkat itu, dia bilang, "Aku nggak
memiliki apa-apa". Karena semua milik Allah. Jadi mobil yang kita miliki,
nggak dikatakan milik kita, tetapi milik Allah. Bahkan diri kita sendiripun
milik Allah. Kita cuma menjaga amanah, titipan. Kalau sudah sampai titik itu,
insya Allah orang nggak akan stress. Kita belum sampai kesitu kan, karena kita
masih ingin memiliki.
Untuk
mencapai kesana kan butuh hidayah?
Memang
susah ya, yang penting berusaha. Ada yang bilang, kalau sudah sampai ke tingkat
yang tinggi, itu memang anugerah dari Allah. Apalagi apa yang kita sebut
ma’rifat, ilmu hudluri, dan sebagainya, itu anugerah. Bahkan cinta kepada
Allah-pun anugerah dari Allah, Kalau Allah nggak memberi ya walaupun kita
berusaha sampai mati, kita nggak akan dapat. Nah menurut saya, Allah akan
memberikan anugerah itu kepada orang yang dianggap siap. Tapi biasanya orang
siap itu kan sebelumnya sudah mengondisikan dirinya. Banyak berdoa, berbuat
baik, selalu mendekatkan diri kepada Allah, sehingga anugerah nggak mungkin
tiba begitu saja.
Tapi
bisa saja yang kelihatannya tiba-tiba, tapi sebelumnya kita nggak tahu. Kan
banyak riwayat aneh, misalnya Rahim ibn Adham, ketika ia berburu di tengah
hutan, ada suara dari atas yang memerintahkan agar dia menjadi zahid. Kalau
memang anugerah dari Allah ya susah dirasionalkan.
Nah
banyak ilmuwan yang bilang, kerja khususnya di industri seperti Jakarta ini
telah membuat orang teralienasi, asing dari dirinya sendiri. Bagaimana Bapak
menanggapi hal ini?
Ya
karena sibuk dengan pekerjaan, dia lupa dengan dirinya sendiri. Akhirnya dia
terasing dari dirinya. Bukan hanya kerja, harta, jabatan, juga begitu kan.
Pertanyaannya, yang jadi tuan siapa sih, kerja atau kita? Kadang kita
diperbudak oleh kerjaan. Kalau orang sudah sibuk, ngurus dirinya sendiri juga
sudah lupa. Dia kerja sampai lupa menjaga kesehatannya. Nah kita kadang
diperbudak oleh sistem yang kita buat, cuma kita nggak sadar. Tapi kalau bicara
sistem kan kolektif, tidak sendiri. Kolektif itu terkait dengan struktur kan.
Kita
harus mengikuti struktur, masyarakat, dan budaya. Ya kita yang diperbudak oleh
struktur, bukan kita yang mengendalikannya.
(Dokumen
Pemuda TQN Suryalaya News, sumber: sufinews.com,
judul
asli: Allah Hadir di Tengah Aktivitas Kerja Kita)
Posting Komentar
Posting Komentar