“Terkadang Adab
mengarahkan mereka untuk tidak meminta, semata karena mengandalkan pada bagian
yang sudah ditentukan, dan lebih menyibukkan dzikir kepada Allah Swt dibanding
memohon kepadaNya.”
DALAM Al-Qur’an
ditegaskan, “Dia yang menciptaku maka Dialah yang memberi hidayah kepadaku.”
(QS. Asyu’ara’: 78). Ketika Nabi Ibrahim as, berada di tempat pelemparan,
beliau hanya berkata, “Cukuplah bagiku dibanding permintaanku, adalah
pengetahuanNya tentangf kondisiku.” Beliau tidak sama sekali memohon dan
mengajukan sesuatu, namun merasa lebih cukup dengan IlmuNya.
Ibnu Athaillah
menggunakan kata “terkadang”, karena pada umumnya kaum arifin dan mereka yang
fana’ lebih banyak diam dan lebih menerima jalannya takdir, sehingga sedikit
sekali mereka memohon. Bagi mereka tidak ada kepentingan terhadap dirinya,
karena tidak ada selain Allah sebagai tempat tujuan. Dalam hadits Qudsi
disebutkan: “Siapa yang lebih sibuk berdzikir kepadaKu dibanding meminta
kepadaKu, justru Aku beri ia lebih utama dibanding yang Kuberikan kepada
orang-orang yang meminta.”
Al-Wasityh
menegaskan, “Apa yang berlaku di zaman Azali bagimu, lebih utama dibanding
melawan zaman, yakni mencari pemenuhan keinginan.”
Al-Qusyairy
mengatakan, “Bila dalam hatinya ada isyarat untuk berdoa, ia akan berdoa.
Sebagaimana jika ia temukan upaya atau hamparan untuk doa, maka berdoa itu
lebih utama. Sebaliknya bila hatinya berada dalam cekaman, justru diam itu
lebih utama”.
Sebab Allah
lebih tahu atas apa yang tersembunyi dalam berbagai persoalan kita. Maka Ibnu
Athaillah melanjutkan:
“Sesungguhnya
yang diingatkan itu adalah orang yang memiliki sifat alpa, dan yang digugah itu
adalah orang yang memiliki sifat lalai.”
Terkadang orang
berdoa, seakan-akan mengingatkan kepada Allah Swt, agar peduli padanya, agar
ingat atas nasibnya, deritanya. Padahal Allah Swt tak pernah lalai, tak pernah
lupa dan tak pernah alpa. Dalam Al-Qur’an disebutkan “Allah tidak pernah
lupa atas apa yang kalian lakukan.” Dan firmanNya, “Bukankah Allah lebih Maha
Mencukupi hambaNya?”
Allah Swt tidak
butuh untuk diingatkan atau digugah. Karena itu siapa yang merasa mengatur
hal-hal yang sudah diatur oleh Allah Ta’ala, justru orang tersebut tergolong
orang yang lalai. Siapa yang sempurna yakinnya kepada Allah, ia merasa
cukup dengan aturan kehendakNya, puas dengan IlmuNya dibanding tuntutan
dirinya. Rela dengan pengaturanNya dibanding rencana dan rekayasanya. Orang
yang sempurna itulah sebagaimana jejak Nabi Ibrahim as, tersebut.
Oleh sebab itu,
kalau mereka berdoa, tidak lebih sebagai wujud kehambaan (ubudiyah) demi
membuktikan rasa butuhnya yang harus dipertahankan selama-lamanya dihadapanNya.
Karena rasa butuh itulah wujud pesta raya bagi para penempuh jalan menuju
kepadaNya. Dengan munculnya rasa butuh, kepentingan nafsu jadi sirna, lebih
senang dengan munculnya hati yang hadir di hadapanNya.
(Dokumen Pemuda
TQN Suryalaya News, sumber: sufinews.com)
Posting Komentar
Posting Komentar