Pada
dasarnya tonggak dasar Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam/mantiq sudah berkembang dari
semenjak masa sahabat Rasulullah. Bahkan menyebarkan ilmu tauhid ini merupakan
konsentrasi dakwah seluruh sahabat Rasulullah, karenanya perkembangan ilmu
tauhid saat itu justru lebih mapan dan lebih pesat di banding dengan
periode-periode sesudahnya.
Bantahan-bantahan terhadap berbagai kelompok ahli bid’ah sudah
berkembang di masa para sahabat. Misalkan, sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas (w 68
H) dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar (w 74 H) yang telah memerangi faham
Mu’tazilah. Atau dari kalangan Tabi’in, seperti Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz
(w 101 H) dan al-Imam al-Hasan ibn al-Hanafiyah yang giat memerangi faham para
ahli bid’ah tersebut. Bahkan Khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib dengan argumen
kuatnya telah memecahkan faham Khawarij dan faham kaum Dahriyyah; kaum yang
mengatakan bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan.
Demikian pula beliau telah membungkam empat puluh orang dari kaum Yahudi yang
mengatakan bahwa Tuhan adalah benda yang memiliki tubuh dan memiliki tempat. Di
antara pernyataan sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib dalam masalah tauhid sebagai
bantahan terhadap kaum Musyabbihah Mujassimah adalah “Barang siapa berkeyakinan
bahwa Tuhan kita (Allah) memiliki bentuk maka ia tidak mengetahui Pencipta yang
wajib disembah -artinya seorang yang kafir-”.
Kemudian Iyas ibn Mu’awiyah, yang sangat terkenal dengan
kecerdesannya, juga telah memecahkan argumen-argumen kaum Qadariyyah
(Mu’tazilah). Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz telah membungkam para pengikut
Syauzdab; salah seorang pemuka kaum Khawarij. Dan bahkan beliau telah menulis
beberapa risalah sebagai bantahan terhadap faham-faham Mu’tazilah. Kemudian
al-Imam Rabi’ah ar-Ra’y (w 136 H), salah seorang guru al-Imam Malik Ibn Anas,
dengan dalil yang sangat kuat telah membungkam Ghailan ibn Muslim, salah
seorang pemuka kaum Qadariyyah. Kemudian al-Imam al-Hasan al-Bashri, salah
seorang ulama besar dan terkemuka di kalangan tabi’in, juga telah menyibukan
diri dalam bergelut dengan Ilmu Kalam ini.
Jika ada yang berkata: Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas telah
berkata: “Berpikirlah kalian tentang makhluk, dan janganlah kalian berpikir
tentang al-Khaliq (Allah)”. Bukankah ini artinya berpikir tentang Allah adalah
sesuatu yang dilarang?!.
Jawab:
Yang dilarang dalam hal ini adalah berpikir tentang Allah, namun
kita diperintahkan untuk berpikir tentang makhluk-Nya. Ini artinya bahwa kita
diperintahkan untuk berpikir tentang kekuasaan-kekuasaan Allah baik yang
terdapat di langit maupun yang terdapat di bumi, agar supaya hal itu semua
dijadikan bukti akan adanya Allah sebagai penciptanya, dan bahwa Dia Allah
tidak menyerupai makhluk-makhluk-Nya tersebut. Seorang yang tidak mengenal
Allah; Tuhan yang ia sembahnya, bagaimana mungkin ia dapat mengamalkan atsar
Shahih dari sahabat Ibn ‘Abbas di atas?! Kemudian dari pada itu al-Qur’an telah
memerintahkan kepada kita untuk mempelajari dalil-dalil akal tentang kebenaran
akidah Islam. Mempelajari dalil-dalil akal tentang adanya Allah, bahwa Dia maha
mengetahui, maha kuasa, maha berkehendak, tidak menyerupai makhluk-Nya, dan
berbagai perkara lainnya. Karenanya, tidak ada seorangpun dari ulama kita dari
kalangan Ahlussunnah, baik ulama salaf maupun khalaf, yang mencaci Ilmu Kalam
ini.
Adapun pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam asy-Syafi’i:
“Seorang manusia bila bertemu Allah (meninggal) dalam keadaam membawa banyak
dosa selain dosa syirik maka hal ini jauh lebih baik baginya dari pada ia
meninggal dengan membawa Ilmu Kalam”, statemen ini tidak benar adanya dari
al-Imam Syafi’i. Tidak ada riwayat dengan sanad yang benar bahwa beliau telah
barkata demikian. Adapun pernyataan yang benar dari ucapan beliau dengan
sanadnya adalah:
لَأنْ يَلْقَى اللهَ العَبْدُ بِكُلّ ذَنْبٍ مَا سِوَى الشّرْكِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَلْقَاهُ بشَىءٍ مِنْ الأهْوَاءِ
“Seorang manusia bila bertemu Allah (meninggal) dalam keadaan
membawa banyak dosa selain dosa syirik maka hal ini jauh lebih baik baginya
dari pada ia meninggal dengan membawa al-Ahwa’”.
Al-Ahwa’ adalah jamak dari al-Hawa. Artinya sesuatu yang diyakini oleh para ahli bid’ah yang berada di luar jalur para ulama Salaf. Artinya, al-Hawa di sini ialah keyakinan-kayakinan yang yakini oleh golongan-golongan sesat. Seperti keyakinan Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah, Najjariyyah dan berbagai kelompok lainnya yang telah disebutkan dalam hadits Nabi sebanyak tujuh puluh dua golongan. Dalam sebuah hadits mashur Rasulullah bersabda:وَإنّ هذِه الِملّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ، ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الجَنّةِ وَهِيَ الجَمَاعَة (رَواه أبُو دَاوُد)“Dan sesungguhnya -umat- agama ini akan pecah kepada tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua di neraka, dan hanya satu di surga; dan dia adalah kelompok mayoritas”. (HR. Abu Dawud).
Dengan demikian yang dicaci oleh al-Imam asy-Syafi’i bukan
mutlak keseluruhan Ilmu Kalam, tapi yang dimaksud adalah Ilmu Kalam tercela;
yaitu yang digeluti oleh para ahli bid’ah di atas. Adapun Ilmu Kalam yang
digeluti Ahlussunnah yang berdasar kepada al-Qur’an dan Sunnah maka ini adalah
Ilmu Kalam terpuji, dan sama sekali tidak pernah dicaci oleh al-Imam
asy-Syafi’i. Sebaliknya beliau adalah seorang yang sangat kompeten dan
terkemuka dalam Ilmu Kalam ini. Karenannya argumen beliau telah mamatahkan
pendapat Bisyr al-Marisi dan Hafsh al-Fard; dua orang di antara pemuka kaum
Mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-Qur’an makhluk dan bahwa Allah tidak
memiliki sifat Kalam.
Al-Hafizh Ibn ‘Asakir dalam Tabyin Kadzib al-Muftari menuliskan
sebagai berikut:
“Ilmu Kalam yang tercela adalah Ilmu Kalam yang digeluti oleh
Ahl al-Ahwa’ dan yang diyakini oleh para ahli bid’ah. Adapaun Ilmu Kalam yang
sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah yang dibahas untuk menetapkana dasar-dasar
akidah yang benar dan untuk memerangi fitnah Ahl al-Ahwa’ maka ia telah
disepakati ulama sebagai Ilmu Kalam yang terpuji. Dalam Ilmu Kalam yang terpuji
ini al-Imam asy-Syafi’i adalah di antara ulama besar yang sangat kompeten.
Dalam berbagai kesempatan beliau telah banyak membantah para ahli bid’ah dengan
argumen-argumen kuatnya hingga mereka terpecahkan”[ Tabyin Kadzib al-Mutftari,
h. 339].
Masih dalam karyanya tersebut, Ibn ‘Asakir kemudian mengutip
salah satu kasus yang terjadi dengan al-Imam asy-Syafi’i dengan sanadnya dari
ar-Rabi’ ibn Sulaiman, bahwa ia (ar-Rabi’) berkata:
“Aku berada di majelis al-Imam asy-Syafi’i, Abu Sa’id A’lam
memberitahukan kepadaku bahwa suatu ketika datang ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Hakam,
Yusuf ibn ‘Amr ibn Zaid, dan Hafsh al-Fard. Yang terakhir ini oleh asy-Syafi’i
disebut dengan al-Munfarid (yang berpaham ekstrim). Kemudian Hafsh al-Fard
bertanya kepada ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Hakam: “Bagaimana pendapatmu tentang
al-Qur’an?”. Namun ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Hakam enggan menjawab. Lalu Hafsh
bertanya kepada Yusuf ibn ‘Amr. Tapi ia juga enggan menjawab. Keduanya lalu
berisyarat untuk bertanya kepada asy-Syafi’i. Kemudian Hafsh bertanya kepada
asy-Syafi’i, dan asy-Syafi’i memberikan dalil kuat atas Hafsh. Namun kemudian
antara keduanya terjadi perdebatan yang cukup panjang. Akhirnya asy-Syafi’i
dengan argumennya yang sangat kuat mengalahkan Hafsh dan menetapkan bahwa al-Qur’an
adalah Kalam Allah bukan makhluk. Kemudian asy-Syafi’i megkafirkan Hafsh.
Ar-Rabi’i ibn Sulaiman berkata: “Beberapa saat kemudian di masjid aku bertemu
dengan Hafsh, ia berkata kepadaku bahwa asy-Syafi’i hendak memenggal leherku”[
Manaqib asy-Syafi’i karya ar-Razi, h. 194-195. Lihat juga al-Asma’ Wa as-Shifat
karya al-Baihaqi, h. 252
].
Jika ada yang berkata: “Ada beberapa orang ulama Salaf yang
telah mencaci Ilmu Kalam. Diriwayatkan bahwa as-Sya’bi berkata: “Barang siapa
mempelajari agama dengan Ilmu Kalam maka ia menjadi seorang zindik. Barang
siapa mencari harta dengan kimia maka ia akan bangkrut. Dan barang siapa
megajarkan hadits dengan mengutip hadits-hadits gharib maka ia seorang
pembohong”. Pernyataan semacam ini juga telah diriwayatkan dari al-Imam Malik
dan al-Imam al-Qadli Abu Yusuf (sahabat al-Imam Abu Hanifah).
Jawab:
Masalah ini telah dijawab oleh al-Imam al-Baihaqi. Beliau
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ilmu Kalam oleh mereka adalah Ilmu Kalam
tercela yang digeluti oleh para ahli bid’ah. Karena di masa mereka penyebutan
Ilmu Kalam konotasinya adalah Ilmu Kalam yang digeluti oleh para ahli bid’ah
tersebut. Adapun kaum Ahlussunnah saat itu belum banyak membahas secara detail
sebelum kemudian Ilmu Kalam ini menjadi sangat dibutuhkan untuk dibukukan dan
dibahas secara komprehensif.
Masih menurut al-Baihaqi, mungkin pula yang dimaksud Ilmu Kalam
yang dicela oleh para ulama Salaf di atas adalah bagi seorang yang hanya
mempalajari Ilmu Kalam semata, dengan menyampingkan ilmu-ilmu Fikih yang sangat
dibutuhkan untuk mengenal hukum halal dan haram, atau menolak hukum-hukum yang
telah ditetapkan dalam syari’at hingga tidak terlakasananya hukum-hukum itu
sendiri.
Kemudian al-Baihaqi juga mengatakan bahwa banyak para ulama
Salaf yang memuji Ilmu Kalam untuk usaha memerangi faham-faham ahli bid’ah. Di
antaranya al-Imam Hatim al-Ashamm, salah seorang seorang sufi terkemuka ahli
zuhud dimasanya, mengatakan bahwa Ilmu Kalam merupakan ilmu pokok agama,
sementara Ilmu Fikih merupakan cabangnya, dan pengamalan adalah buah dari
ilmu-ilmu tersebut. Dengan demikian, kata al-Imam Hatim, barang siapa
menggeluti Ilmu Kalam dengan menyampingkan Ilmu Fikih dan pengamalannya maka ia
akan menjadi seorang zindik. Dan barang siapa mencukupkan dengan amalan saja tanpa
didasarkan kepada Ilmu Kalam dan Ilmu Fikih maka akan menjadi seorang ahli
bid’ah. Dan barang siapa mencukupkan dengan Ilmu Fikih saja dengan
menyampingkan Ilmu Kalam maka ia akan menjadi seorang fasik. Dan barang siapa
yang mempelajari semua disiplin ilmu tersebut maka dialah yang akan selamat[
Lihat Tabyin Kadzib al-Muftari, h. 334
].
Al-Imam al-Qadli Abu al-Ma’ali ‘Abdul Malik, yang lebih dikenal
dengan sebutan Imam al-Juwaini, mengatakan bahwa orang yang berkeyakinan bahwa
para ulama Salaf tidak mengetahui Ilmu Kalam atau Ilmu Ushul, atau berkeyakinan
bahwa mereka menghindari ilmu ini dan bersikap apatis terhadapanya, maka orang
ini telah berburuk sangka terhadap mereka. Karena sangat mustahil, baik secara
akal maupun dari tinjuan agama, bahwa para ulama Salaf tersebut menghindari
Ilmu Kalam ini. Padahal di kalangan mereka seringkali terjadi perdebatan dalam
masalah-masalah Furu’iyyah. Dalam masalah ‘Aul misalkan, atau dalam masalah
hak-hak seorang kakek (permasalahan dalam hukum waris), atau metode penetapan
hukuman dan praktek qisas, serta berbagai masalah lainnya. Bahkan tidak jarang
antara mereka satu sama lainnya sama-sama melakukan Mubahalah (bersumpah) dalam
menetapkan kebenaran yang diyakini oleh masing-masing individu. Atau lihat
misalnya, hanya untuk menetapkan permasalah najis saja, mereka dengan sekuat
tenaga dan pikiran seringkali berusaha mencari banyak dalil, baik dalil-dalil
untuk dirinya sendiri atau dalil-dali untuk mematahkan pendapat lawan. Bila
keadaan mereka dalam masalah-masalah Furu’iyyah saja semacam ini, maka sudah
barang tentu merekapun demikian adanya dalam masalah-masalah Ushuliyyah.
Bukankah masalah-masalah Ushuliyyah jauh lebih besar urgensitasnya dibanding
masalah-masalah Furu’iyyah?![Ibid, h. 354]
Dengan demikian sangat tidak logis jika diklaim bahwa para ulama
Salaf tidak memiliki kompetensi dalam permasalahan-permasalahan Ilmu Kalam.
Bukankah mereka dekat dengan masa kenabian?! Bukankah mereka menerima langsung
ajaran-ajaran Islam ini dari pembawa syari’at itu sendiri, yaitu Rasulullah?!
Kemudian kaum Tabi’in, kaum pasca sahabat Nabi, walaupun mereka tidak secara
langsung menerima ajaran Islam dari Rasulullah, bukankah mereka menerima
ajaran-ajaran tersebut dari para sahabat Rasulullah sendiri?! Jika diklaim
bahwa kaum Tabi’in tidak mumpuni dalam Ilmu Kalam, berarti kalim ini sama saja
dialamatkan kepada para sahabat Rasulullah. Dan klaim ini jika dialamatan
kepada para sahabat Rasulullah, maka berarti sama juga dialamatkan kepada
Rasulullah sendiri. Sekarang siapakah yang berani berkata bahwa Rasulullah
tidak mengenal Allah, tidak ma’rifat kepada-Nya, tidak mengenal Ilmu Tauhid
atau Ilmu Kalam?! Dari sini dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya segala
permasalahan yang berkembang dalam Ilmu Kalam telah benar-benar diketahui dan
dipahami oleh Rasulullah dan para sahabatnya, atau para ulama Salaf pada
umumnya.
Salah satu bukti bahwa para ulama Salaf benar-benar menggeluti
Ilmu Kalam adalah adanya beberapa karya dari al-Imam Abu Hanifah dalam disiplin
ilmu ini. Di antaranya; al-Fiqh al-Akbar, ar-Risalah, al-Fiqh al-Absath,
al-‘Alim Wa al-Muta’allim, dan al-Washiyyah. Yang terakhir disebut, yaitu
al-Washiyyah, terdapat perbedaan pendapat tentang benar tidaknya sebagai
risalah dari al-Imam Abu Hanifah. Satu pendapat mengingkari risalah tersebut
sabagai risalah dari al-Imam Abu Hanifah dengan alasan bukan dari hasil
tangannya. Pendapat lain mengatakan bahwa risalah al-Washiyyah ini karya dari
Muhammad ibn Yusuf al-Bukhari yang memiliki nama panggilan (kunyah) Abu
Hanifah.
Pendapat yang mengingkari risalah tersebut sebagai tulisan
al-Imam Abu Hanifah umumnya diungkapkan orang-orang Mu’tazilah. Hal ini karena
isi dari risalah tersebut adalah bantahan terhadap kelompok-kelompok bid’ah,
seperti faham Mu’tazilah sendiri. Pengingkaran kaum Mu’tazilah juga didasari
pengakuan bahwa keyakinan al-Imam Abu Hanifah adalah persis sama dengan
keyakinan mereka sendiri. Tentu pendapat Mu’tazilah ini hanyalah dusta belaka.
Karena seperti yang sudah diketahui, al-Imam Abu Hanifah adalah sosok yang paling
gigih memerangi para ahli bid’ah termasuk faham-faham Mu’tazilah sendiri.
Dalam Ilmu Kalam, dan seluruh disiplin ilmu lainnya, al-Imam Abu
Hanifah adalah Imam terkemuka sebagai ahli ijtihad pada abad pertama hijriyah.
Tentang hal ini dalam kitab at-Tabshirah al-Baghdadiyyah disebutkan sebagai
berikut:
“Orang paling pertama sebagai ahli Kalam dikalangan ulama Fikih
Ahlussunnah adalah al-Imam Abu Hanifah dan al-Imam asy-Syafi’i. Abu Hanifah
telah menuliskan al-Fiqh al-Akbar dan ar-Risalah yang kemudian dikirimkan
kepada Muqatil ibn Sulaiman untuk membantahnya. Karena Muqatil ibn Sulaiman ini
adalah seorang yang berkeyakinan tajsim (Meyakini bahwa Allah adalah benda).
Demikian pula beliau telah banyak membantah para ahli bid’ah dari kaum
Khawarij, Rawafidl, Qadariyyah (Mu’tazilah) dan kelompok sesat lainnya. Para
pemuka ahli bid’ah tersebut banyak tinggal di wilayah Bashrah, dan al-Imam Abu
Hanifah lebih dari dua puluh kali pulang pergi antara Bashrah dan Baghdad hanya
untuk membantah mereka, -padahal perjalanan saat itu sangat jauh dan sulit-.
Dan tentunya al-Imam Hanifah telah memecahkan dan membungkam mereka dengan
argumen-argumen kuatnya, hingga beliau menjadi panutan dan rujukan dalam segala
permasalahan Ilmu Kalam ini”.
Al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi dengan sanadnya hingga al-Imam
Abu Hanifah, meriwayatkan bahwa ia (al-Imam Abu Hanifah) berkata: “Saya telah
benar-benar mempelajari Ilmu Kalam, hingga saya telah mencapai puncak sebagai
rujukan dalam bidang ilmu ini”[Tarikh Baghdad, j. 13, h. 3335].
Kemudian al-Imam Abu Hanifah menceritakan bahwa ia baru benar-benar terjun
dalam mempelajari Ilmu Fikih setelah ia duduk belajar kepada al-Imam Hammad ibn
Sulaiman, dan ia melakukan itu setelah ia mumpuni dalam Ilmu Kalam tersebut.
Dalam riwayat lain dengan sanadnya dari al-Haritsi, bahwa
al-Imam Abu Hanifah berkata:
“Saya telah dikaruniai kekuatan dalam Ilmu Kalam. Dengan ilmu
tersebut saya memerangi dan membantah faham-faham ahli bid’ah. Kebanyakan
mereka saat itu berada di Bashrah. Maka pada masa itu saya sering pulang pergi
antara Bashrah dan Baghdad lebih dari dua puluh kali. Di antara perjalananku
tersebut ada yang hingga menetap satu tahun di Bashrah, ada pula yang kurang
dari satu tahun, dan ada pula yang lebih. Dalam hal ini aku telah membantah
berbagai tingkatan atau sub sekte kaum Khawarij; seperti golongan Abadliyyah,
Shafariyyah dan lainnya. Juga telah aku bantah berbagai faham kaum
Hasyawiyyah”[Lihat Muqaddimah Isyrat al-Maram karya al-Imam al-Bayyadli yang
ditulis oleh al-Imam as-Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari mengutip dari kitab
Manaqib al-Imam Abi Hanifah.].
Al-Imam ‘Abd al-Qahir al-Bagdadi asy-Syafi’i, seorang teolog
terkemuka di kalangan Ahlussunnah penulis kitab al-Farq Bain al-Firaq, dalam
salah satu kitab karyanya berjudul Kitab Ushuliddin menuliskan sebagi berikut:
“Orang yang pertama kali bergelut dengan Ilmu Kalam dari
kalangan para ahli Fikih adalah al-Imam Abu Hanifah dan al-Imam asy-Syafi’i.
Al-Imam Abu Hanifah telah menulis satu kitab sebagai bantahan terhadap kaum
Qadariyyah yang ia namakan dengan al-Fiqh al-Akbar. Sementara al-Imam
asy-Syafi’i telah menulis dua karya dalam Ilmu Kalam, salah satunya penjelasan
tentang kebenaran kenabian dan bantahan kepada kaum Brahma, dan yang ke dua
bantahan terhadap Ahl al-Ahwa’”[ Kitab Ushuliddin, h. 308].
Al-Imam Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini asy-Syafi’i, juga seorang
teolog terkemuka di kalangan Ahlussunnah, dalam karyanya berjudul at-Tabshir
Fiddin menuliskan sebagai berikut:
“Kitab al-‘Alim Wa al-Muta’allim karya al-Imam Abu Hanifah
memuat berbagai argumen yang sangat kuat untuk membantah kaum ilhad (kaum
kafir) dan para ahli bid’ah. Kemudian kitab karyanya dengan judul al-Fiqh
al-Akbar, yang telah sampai kepada kami dengan jalur orang-orang tsiqah dan
dengan sanad yang Shahih dari Nushair ibn Yahya dari al-Imam Abu Hanifah,
adalah kitab yang berisikan bantahan kepada para ahli bid’ah. Barang siapa
mempelajari karya-karya Ilmu Kalam tersebut dan karya-karya Ilmu Kalam al-Imam
asy-Syafi’i maka dia tidak akan mendapati di antara madzhab ulama lain yang
memiliki karya yang lebih jelas dari keduanya. Adapun beberapa tuduhan yang
dialamatkan kepada keduanya yang berseberangan dengan isi karya-karya Ilmu
Kalam mereka, maka itu semua adalah kedustaan yang dituduhkan oleh para ahli
bid’ah untuk menyebarkan bid’ah mereka sendiri”[ at-Tabshir Fiddin, h. 113].
Tentang lima risalah al-Imam Abu Hanifah yang telah kita
sebutkan di atas, menurut pendapat yang paling kuat bukan benar-benar dengan
tulisan tangan al-Imam Abu Hanifah sendiri. Tapi risalah-risalah tersebut
adalah pelajaran yang didiktekan beliau kepada para sahabatnya; seperti Hammad
ibn Zaid, Abu Yusuf, Abu Muthi’ al-Hakam ibn ‘Abdullah al-Balkhi, Abu Muqatil
Hafsh ibn Salam as-Samarqandi dan lainnya. Sahabat-sahabat Abu hanifah inilah
yang membukukan pelajaran-pelajaran beliau hingga menjadi risalah-risalah
tersebut di atas.
Dari para sahabat al-Imam Abu Hanifah tersebut kemudian
pelajaran-pelajaran yang sudah berbentuk risalah-risalah itu turun kepada
generasi para ulama berikutnya. Di antaranya; Isma’il ibn Hammad, Muhammad ibn
Muqatil ar-Razi, Muhammad ibn Samma’h, Nushair ibn Yahya al-Balkhi, Syidad ibn
al-Hakam dan lainnya. Dari generasi ini kemudian turun dengan sanad yang shahih
kepada al-Imam Abu Manshur al-Maturidi.
Dengan demikian pendapat yang mengatakan bahwa risalah-risalah
di atas sebagai karya al-Imam Abu Hanifah adalah pendapat benar. Hanya saja
risalah-risalah itu adalah hasil pengisian (Imla’) beliau terhadap para
sahabatnya yang kemudian dibukukan. Demikian pula pendapat yang mengatakan
bahwa risalah-risalah tersebut sebagai karya para sahabat generasi al-Imam Abu
Hanifah, atau genarasi yang datang sesudahnya, adalah pendapat yang juga benar,
karena risalah-risalah tersebut hasil kodifikasi atau pembukuan mereka.
Demikianlah pendapat yang telah dinyatakan oleh al-Imam al-Hafizh Muhammad
Murtadla az-Zabidi.
Al-Imam Badruddin az-Zarkasyi dalam Tasynif al-Masami’ Syarh
Jama’ al-Jawami’ menyebutkan bahwa para ulama Salaf terdahulu sudah
mentradisikan usaha dalam membantah faham-faham ahli bid’ah, baik dengan
tulisan-tulisan maupun dalam forum-forum terbuka. Dalam usaha tersebut al-Imam
asy-Syafi’i telah menulis kitab al-Qiyas sebagai bantahan terhadap faham yang
mengatakan bahwa alam tidak memiliki permulaan. Beliau juga telah menulis kitab
dengan judul ar-Radd ‘Ala al-Barahimah, dan beberapa karya lainnya yang khusus
ditulis untuk menyerang faham-faham di luar Ahlussunnah. Sebelum al-Imam
asy-Syafi’i, al-Imam Abu Hanifah juga telah melakukan hal yang sama. Dalam hal
ini al-Imam Abu Hanifah telah menulis kitab al-Fiqh al-Akbar dan kitab al-‘Alim
Wa al-Muta’allim untuk membantah orang-orang zindik. Demikian pula dengan
al-Imam Malik ibn Anas dan al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Mereka semua adalah para
Imam yang giat memerangi faham-faham sesat yang berseberangan dengan akidah
Rasulullah dan para sahabatnya.
Kemudian dari pada itu, al-Imam Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari
(w 256 H), pimpinan para ahli hadits, penulis kitab al-Jami’ as-Shahih, telah
menulis sebuah kitab yang sangat penting berjudul Khalq Af’al al-‘Ibad. Sebuah
kitab bantahan terhadap faham Qadariyyah atau Mu’tazilah yang berpendapat bahwa
manusia adalah pencipta bagi perbuatannya sendiri. Dengan secara rinci al-Imam
al-Bukhari mematahkan satu-persatu faham-faham Qadariyyah, dan menetapkan
kebenarakan akidah Ahlussunah bahwa segala perbuatan manusia adalah ciptaan
Allah, bukan ciptaan manusia sendiri.
Kemudian ahli hadits lainnya yang juga merupakan sahabat al-Imam
al-Bukhari; al-Imam Nu’aim ibn Hammad al-Khuza’i (w 228 H) telah menulis sebuah
kitab yang sangat penting dalam bantahan terhadap kaum Jahmiyyah dan beberapa
kelompok sesat lainnya.
Demikian pula al-Imam Muhammad ibn Aslam at-Thusi (w 242 H),
juga seorang ahli hadits terkemuka yang merupakan salah seorang sahabat al-Imam
Ahmad ibn Hanbal, telah menuliskan kitab yang sangat penting dalam bantahan
terhadap kaum Jahmiyyah. Setidaknya ada tiga orang sahabat al-Imam Ahmad ibn
Hanbal yang gigih membela akidah Ahlussunnah dengan tulisan-tulisannya. Mereka adalah
al-Imam al-Harits al-Muhasibi; yang juga seorang sufi terkemuka, al-Imam
al-Husain al-Karabisi, dan al-Imam ‘Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab al-Qaththan.
Termasuk juga dalam hal ini saudara kandung dari Imam yang terakhir disebut;
yaitu al-Imam Yahya ibn Sa’id al-Qaththan.
Kemudian di kalangan ulama madzhab Hanafi, masih di masa Salaf,
pasca al-Imam Abu Hanifah, ada seorang ulama besar ahli teologi dan ahli hadits
juga ahli fikih, yaitu al-Imam Abu Ja’far at-Thahawi (w 321 H). Tulisan risalah
akidah Ahlussunnah yang beliau bukukan, yang dikenal dengan al-‘Aqidah
at-Thahawiyyah, menjadi salah satu rumusan yang benar-benar terkodifikasi
sebagai penjabaran akidah al-Imam Abu Hanifah dan para Imam Salaf secara
keseluruhan. Yang hingga sekarang risalah al-‘Aqidah at-Thahawiyyah ini menjadi
sangat mashur sebagai akidah Ahlussunnah, yang diterima dari masa ke masa dan
antara generasi ke genarasi.
Walaupun al-Imam at-Thahawi tidak pernah bertemu dengan al-Imam
Abu Hanifah, karena memang tidak semasa, namun ungkapan-ungkapan yang beliau
tulis dalam risalahnya ini adalah perkataan-perkataan al-Imam Abu Hanifah yang
beliau kutip dengan sanadnya dari para murid-murid al-Imam Abu Hanifah sendiri.
Dalam pembukaan risalah al-‘Aqidah at-Thahawiyyah, al-Imam at-Thahawi menuliskan
sebagai berikut: “Ini adalah penjelasan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, di atas
madzhab para ulama agama; Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufi, Abu Yusuf
Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari, dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani”[Lihat
matan al-‘Akidah at-Thawiyyah dalam Izhar al-‘Akidah as-Sunniyyah Bi Syarh
al-‘Akidah at-Thawiyyah, karya al-Hafizh as-Syaikh ‘Abdullah al-Habasyi, h.
341].
Tulisan-tulisan tentang Ilmu Kalam kemudian menjadi sangat
berkembang, terlebih setelah menyebarnya karya-karya dua Imam Ahlussunnah yang
agung, yaitu al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan al-Imam Abu Manshur
al-Maturidi. Dua Imam ini telah menulis berbagai karya dalam menetapkan
rumusan-rumusan akidah Ahlussunnah di tambah dengan bantahan-bantahan terhadap
berbagai kelompok di luar Ahlussunnah, dengan argumen-argumen yang sangat kuat,
baik dalil-dalil akal maupun dalil-dalil tekstual. Terutama al-Imam al-Asy’ari
yang berada di wilayah Bashrah saat itu, beliau adalah sosok yang sangat
ditakuti oleh kaum Mu’tazilah.
Al-Hafizh al-Lughawi al-Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam
kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ Ulumiddin menuliskan sebagai
berikut:
“Segala permasalah akidah yang telah dirumuskan oleh dua Imam
agung; al-Asy’ari dan al-Maturidi adalah merupakan dasar-dasar akidah yang
diyakini semua ulama. Al-Asy’ari membangun landasan-landasan karyanya dari
madzhab dua imam agung; al-Imam Malik dan al-Imam asy-Syafi’i. Beliau
merumuskan landasan-landasan tersebut, merincinya, menguatkannya, dan kemudian
membukukannya. Sementara al-Maturidi membangun landasan karyanya dari teks-teks
madzhab al-Imam Abu Hanifah”[Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’
‘Ulumiddin, j. 2, h. 13].
Al-Imam Badruddin az-Zarkasyi dalam Tasynif al-Masami’
menuliskan sebagai berikut:
“al-Imam Abu Bakar al-Isma’ili mengatakan bahwa keagungan ajaran
agama Islam ini, yang semula telah padam, kebanyakan telah dihidupkan kembali
oleh Ahmad ibn Hanbal, Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan Abu Nu’aim al-Istirabadzi.
Dalam pada ini Abu Ishaq al-Marwazi berkata: Saya telah mendengar al-Mahamili
berkata dalam pujiannya kepada Abu al-Hasan al-Asy’ari: “Seandainya beliau
bertemu Allah dalam keadaan banyak dosa sebanyak tanah di bumi ini, bagiku ia
mungkin akan diampuni oleh Allah karena telah benar-benar membela agama-Nya”.
Sementara Ibn al-‘Arabi berkata: “Pada permulaannya kaum Mu’tazilah sebagai
kaum yang memiliki kedudukan, hingga kemudian Allah menjadikan al-Asy’ari balik
menyerang mereka hingga beliau telah menjadikan mereka terkungkung dalam biji-biji
wijen, tidak memiiki kekuatan”[Tasynif al-Masami’ Syarh Jama’ al-Jawami’,h.
395].
Di kemudian hari, pasca al-Imam al-Asy’ari dan al-Imam
al-Maturidi, Ilmu Kalam ini berkembang lebih pesat lagi. Hal ini ditandai
dengan bermunculannya berbagai karya dari para pengikut kedua imam agung
tersebut. Sangat banyak karya-karya yang dihasilkan, puluhan bahkan ratusan
jilid, dengan argumen-argumen yang lebih matang dan dengan formulasi yang lebih
sistematik. Di dalamnya banyak dimuat dialog-dialog dengan firqah-firqah di
luar Ahlussunnah, seperti kaum Dahriyyah, kaum Filsafat, kaum Musyabbihah dan
bahkan para ahli ramal (al-Munajjimun). Dan kemudian makin banyak bermunculan
panji-panji Ahlussunnah yang giat mengibarkan madzhab al-Imam Abu al-Hasan
al-Asy’ri di berbagai penjuru dunia Islam.
Di antara mereka yang memiliki andil besar dalam penyebaran
akidah ini adalah; al-Imam al-Ustadz Abu Bakar ibn Furak (w 406 H), al-Imam Abu
Ishaq al-Isfirayini, dan al-Imam al-Qadli Abu Bakr al-Baqillani (w 403 H). Dua
imam yang pertama menjadikan wilayah penyebarananya di daerah timur. Sementara
al-Baqillani menyebarkannya di wilayah barat dan timur sekaligus. Maka pada
permulaan abad lima hijriyah, dipastikan hampir seluruh pelosok dunia Islam di
belahan timur dan barat adalah kaum Ahlussunnah; Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.
Tidak ada seorang ulamapun, baik ahli Fikih atau ilmu lainnya dalam ulama empat
madzhab, kecuali di dalam akidah dia adalah seorang pengikut al-Asy’ari atau
pengikut al-Maturidi. Adapun kelompok yang menyempal dari Ahlussunnah, hanyalah
kelompok-kelompok kecil dari firqah Mu’tazilah, Musyabbihah dan beberapa
gelintir orang-orang Musyabbihah.
(Dokumen
Pemuda TQN Suryalaya News,
sumber:
forumaswajaindonesia.wordpress.com)
Posting Komentar
Posting Komentar