Sayyid
Abdul Wahab asy-Sya'rani
Seseorang yang meniti jalan Allah, hendaknya tidak melupakan
dzikir (ingat kepada Allah). Ini sangat penting. Para ulama menyatakan
"Siapa yang lupa Allah, berarti ia telah menjadi kufur".
Dzikir menyebabkan seseorang selalu terjaga dan dilindungi
Tuhan.
Para
ulama menyatakan, orang-orang arif senantiasa berdzikir kepada Tuhan.
Bila
melupakan-Nya, walau hanya satu dua nafas, Allah menyerahkan--nasib--mereka
kepada setan sehingga setan menjadi temannya.
Adapun orang-orang yang belum
mencapai tingkatan tersebut, Allah tidak sampai berbuat demikian. Semua menurut
tingkatan dan derajat masing-masing.
Dzikir adalah sebuah bentuk ibadah yang sangat agung derajat
dan pahalanya. Dalam riwayat Muslim, Nasai dan al-Bazzar dikatakan: Maukah aku
beritahu tentang suatu amal yang paling baik, paling suci disisi Tuhan, yang
mampu meningkatkan derajat, lebih baik dari memberi sedekah emas dan perak,
bahkan lebih baik daripada bertempur dengan musuh? Baiklah ya Rasul, jawab
sahabat. 'Dzikir kepada Allah'
Dzikir juga merupakan pembeda antara iman dan kufur, hakikat
hidup dan kematian. Dalam riwayat at-Tabrani, Rasul menyatakan tidak,
"Siapa yang ingat Allah dengan tidak berdzikir, berarti terlepas
imannya".
Pada kesempatan lain Rasul juga bersabda: "Siapa yang
mengerjakan shalat subuh secara jamaah, lalu berdzikir kepada Allah sampai
terbit matahari, kemudian melakuakan shalat dua rakaat, maka ia diberi pahala
seperti pahala orang yang melakukan haji dan umrah secara sempurna"
Seseorang harus terus berusaha berdzikir untuk semakin
mendekatkan diri kepada Allah, walau dalam keadaan sempit atau sakit. Jangan
menunggu sampai sehat. Sebab menanti sampai sehat berarti pengangguran.
Sejalan dengan itu, Athaillah, pengarang kitab Al-Hikam
menyatakan, "Seseorang hendaknya terus berdzikir. Jangan sampai tidak mau
dzikir dengan alasan belum bisa khusyuk. Sebab meninggalkan dzikir adalah lebih
parah daripada dzikir yang tidak khusyuk. Dari model dzikir yang tidak khusyuk
tersebut, Insya Allah akan bisa naik menjadi dzikir yang disertai dengan
kesadaran hati. Dari situ kemudian naik
lagi
menjadi dzikir yang benar-benar khusyuk kepada Allah.
Manfaat atau faedah dzikir amat banyak. Antara lain,
pertama,
bahwa dzikir merupakan ketetapan dan syarat kewalian. Artinya, siapa yang
senatiasa berdzikir kepada Allah, maka ia akan bisa mencapai
derajat kekasih Tuhan dan itu menjadi salah satu ciri utamanya. Sebaliknya,
siapa yang lupa atau berhenti dari berdzikir berarti ia lepas dari deradjat
kewalian.
Kedua, Dzikir merupakan kunci dari ibadah-ibadah yang
lain. Dzikir merupakan jalan yang paling cepat untuk membuka rahasia-rahasia
ibadahyang lain.
Syyid Ali al-Mursifi menyatakan, banyak guru thariqat yang
merasa tidak mampu merawat--hati--muridnya sampai bersih. Mereka tidak
menemukan obat yang lebih baik untuk itu, kecuali dengan cara terus-menerus
melakukan dzikir. Maka, dalam soal pembersihan hati ini, dzikir bisa
diumpamakan sebagai alat gosok khusus yang dapat secara cepat membersihkan
kerak tembaga. Sedang ibadah-ibadah lain bagai alat gosok biasa yang lama
sekali bila digunakan untuk membersihkan kotoran tembaga.
Ketiga, bahwa dzikir merupakan syarat atau perantara untuk
bisa masuk dalam hadirat Ilahi.
Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Suci. Dia tidak akan
bisa didekati kecuali oleh orang-orang yang suci. Seseorang yang senantiasa
melakukan dzikir, hatinya akan menjadi bening dan bersih. Maka, dengan itu, ia
akan bisa mencapai Tuhan dengan baik dan cepat.
Keempat, dzikir akan membuka hijab dan menciptakan keihlasan
hati yang sempurna. Kasyah (terbuka hijab) ada dua macam: hissi dan khayali.
Kasyaf hissi adalah terbukanya pandangan karena penglihatan mata, sedang kasyaf
khayali terbukanya tabir hati sehingga mampu mengetahui kondisi di luar alam
inderawi; mahluk halus atau yang
lain-lain. Akan tetapi, siapa yang mempunyai kasyaf sehingga
mampu melihat gerak-gerik orang lain di rumah mereka, maka itu berarti kasyaf
syaitani. Ia harus bertaubat dari kasyaf sesat tersebut.
Kelima, menurunkan rahmat. Rasullulah bersabda, "Orang-orang
yang duduk untuk berdzikir, maka malaikat mengitari mereka, Allah melimpahkan
rahmat-Nya, dan Allah juga menyebut (membanggakan) mereka kepada para malaikat
di sekitarnya".
Keenam, menghilangkan kesusahan hati. Sesungguhnya, kesusahan
dan kesedihan adalah akibat lupa kepada Allah. Seseorang hendaknya tidak
mencaci dan menyalahkan orang lain ketika bertubi-tubi mendapat celaka,
tertimpa musibah dan kesusahan. Semua itu, sebenarnya, merupakan pembalasan
atas perbuatannya yang memalingkan diri dari
Allah. Siapa yang menghendaki kebahagiaan dan ketenangan,
hendaknya memperbanyak dzikir.
Ketujuh, melunakkan hati. Al-Hakim Abu Muhhamad at-Turmudzi
berkata, "dzikir kepada Allah bisa membasahi hati dan melunakkannya.
Sebaliknya, bila hati kosong dari dzikir, ia akan menjadi panas oleh dorongan
nafsu dan api syahwat. Sehingga hatinya menjadi kering dan keras. Anggota
badannya menjadi sulit (menolak) untuk diajak taat
kepada Allah". Selain itu, dzikir juga bisa meredakan
berbagai macam penyakit hati,
seperti
sombong, riya, ujub, hasud, dendam, suka menipu, dan lain-lain.
Kedelapan, memutuskan ajakan setan. Ada perbedaan antara
kehendak nafsu dengan kehendak setan. Kehendak setan biasanya mengajak kepada
kemaksiatan dan kedurhakaan, sedang kehendak kehendak nafsu biasanya mengajak
untuk menurutkan sahwat.
Kesembilan, dzikir bisa menolak bencana. Dzunnun al-Misri
berkata:
"Siapa yang berdzikir, Allah senantiasa menjaganya dari
segala sesuatu".
Para ulama menyatakan, dzikir merupakan pedang bagi para
pemula. Dengan dzikir ia memerangi musuh-musuhnya; jin dan manusia. Dengan
dzikir pula, ia menolak segala macam bencana. Sesungguhnya, bencana, bila
bertemu dengan orang-orang yang berdzikir, ia akan menyimpang. Dzikir yang
telah kokoh dalam hati, membuat setan menjadi pingsan bila mendekat.
Demikian di antara faedah-faedah dzikir. Karena itu,
hendaknya seseorang senantiasa membiasakan dzikir kepada Allah. Dengan dzikir,
setan tidak akan bisa mengendalikan manusia.
Sumber : sufiroad.blogspot.com dari Sayyid Abdul Wahab
asy-Sya'rani dalam bukunya"Al-Minah as-Saniyah".
Di
Indonesia buku tersebut diterjemahkan oleh Ach. Khudori Soleh dengan judul
"Menjadi Kekasih Tuhan" dan diterbitkan oleh Mitra Pusaka, Yogyakarta
55167
Posting Komentar
Posting Komentar