Lebih jauh, juga perlu
diingat bahwa dalam menghukumi sesuatu haruslah menyeluruh dan harus
mempertimbangkan hadits-hadits lain yang saling terkait. Dalam hal ini,
ada sebuah hadits lain yang shahih diriwayatkan oleh Abu Daud, dari ‘Ashim bin
Kulaib, dari ayahnya, dari sahabat Anshar, yang redaksinya sebagai berikut:
“Kami keluar bersama
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pada sebuah jenazah, maka aku melihat
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam berada diatas kubur berpesan
kepada penggali kubur : “perluaskanlah olehmu dari bagian kakinya, dan juga
luaskanlah pada bagian kepalanya”, Maka tatkala telah kembali dari kubur,
seorang wanita (istri mayyit, red) mengundang (mengajak) Rasulullah, maka
Rasulullah datang seraya didatangkan (disuguhkan) makanan yang diletakkan di
hadapan Rasulullah, kemudian diletakkan juga pada sebuah perkumpulan
(qaum/sahabat), kemudian dimakanlah oleh mereka. Maka ayah-ayah kami
melihat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam makan dengan suapan, dan
bersabda: “aku mendapati daging kambing yang diambil tanpa izin pemiliknya”.
Kemudian wanita itu berkata : “wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah
mengutus ke Baqi’ untuk membeli kambing untukku, namun tidak menemukannya, maka
aku mengutus kepada tetanggaku untuk membeli kambingnya kemudian agar di kirim
kepadaku, namun ia tidak ada, maka aku mengutus kepada istinya (untuk
membelinya) dan ia kirim kambing itu kepadaku, maka Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam bersabda : “berikanlah makanan ini untuk tawanan”. (Sunan
Abi Daud no. 3332 ; As-Sunanul Kubrra lil-Baihaqi no. 10825 ; hadits ini shahih
; Misykaatul Mafatih [5942] At-Tabrizi dan Mirqatul Mafatih syarh Misykah
al-Mashabih [5942] karangan al-Mulla ‘Alial-Qari, hadits tersebut
dikomentari shahih.)
Hadits ini tentang Nabi
shallallahu ‘alayhi wa sallam sendiri dan para sahabat beliau yang berkumpul
dan makan di kediaman keluarga almarhum, yang berarti bahwa hadits ini
menunjukkan atas kebolehan keluarga almarhum membuatkan makanan (jamuan) dan
mengajak manusia memakannya.
Secara dhahir hadits
Jarir telah berlawanan dengan hadits dari ‘Ashim bin Kulaib ini, sedangkan
dalam kaidah ushul fiqh mengatakan jika dua dalil bertentangan maka harus
dikumpulkan jika dimungkinkan untuk dikumpulkan. ( at-Tabshirah fi Ushul
al-Fiqh lil-Imam asy-Syairazi [1/153]) Maka, kedua hadits diatas dapat
dipadukan yakni hadits Jarir bin Abdullah dibawa atas pengertian jamuan karena
menjalankan adat, bukan dengan niat “ith’am ‘anil mayyit (memberikan makan atas
nama mayyit/shadaqah untuk mayyit) “ atau hal itu bisa membawa kepada niyahah
yang diharamkan, kesedihan yang berlarut-larut dan lain sebagainya. Sedangkan
hadits ‘Ashim bin Kulaib dibawa atas pengertian jamuan makan bukan karena
menjalankan adat (kebiasaan), melainkan jamuan makan dan berkumpul dengan niat
“ith’am ‘anil mayyit” atau pun ikramudl dlayf (memulyakan tamu). Oleh karena
itu larangan tersebut tidaklah mutlak, tetapi memiliki qayyid yang menjadi
‘illat hukum tersebut.
Bariqatul Mahmudiyyah
li-Abi Sa’id al-Khadami al-Hanafi [3/205] : “Mushannif berkata di dalam
syarahnya dari pembesar al-Halabi “sesungguhnya Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam ketika kembali dari pemakaman orang Anshar, Rasulullah
menerima ajakan wanitanya, maka datang dan dihidangkanlah makanan, kemudian
Rasulullah menelatakkan tangannya dan di ikutilah orang rombongan (sahabat),
kemudian Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam makan sesuapan yaitu secabik
daging ke mulutnya”. Maka ini menunjukkan atas kebolehan bagi ahl mayyit
menyajikan makanan dan mengundang orang lain kepadanya. Selesai”.
Kemudian juga
dijelaskan didalam Hasyiyah ath-Thahthawi ‘alaa Muraqi al-Falaah Syarh Nuur
al-Iydlaah [1/617] Ahmad bin Muhammad bin Isma’il ath-Thahthawi al-Hanafi : “…
Maka hadits ini (‘Ashim bin Kulaib) menunjukkan atas kebolehan bagi ahl mayyit
menghidangkan makanan dan mengajak manusia padanya bahkan juga di sebutkan
didalam al-Bazaziyyah dari kitab al-Ihtihsan “dan jika menghidangkan makanan
untuk fuqaraa’ maka itu bagus”. Selesai.
Imam Ibnu Hajar
al-Haitami di dalam Tuhfatul Muhtaj mengatakan : “dan apa yang diadatkan
(dibiasakan) daripada keluarga almarhum membuat makanan demi mengajak manusia
atasnya maka itu bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh), sebagaimana
menerima mereka untuk hal yang demikian berdasarkan hadits shahih dari Jarir
“Kami (sahabat) menganggap berkumpul ke (kediaman) keluarga almarhum serta
(keluarga almarhum) menghidangkan makanan setelah pemakaman bagian dari
niyahah”, dan sisi dianggapnya bagian dari niyahah yakni apa yang terdapat
didalamnya daripada berlebihanlebihan dengan perkara kesedihan”. (
Tuhfatul Muhtaj lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami [3/207 ])
Hal ini juga
disebutkan oleh al-‘Allamah as-Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi dalam
I’anatuth Thalibin. Maka, illat tersebut tidak terdapat pada kegiatan
tahlilan (kenduri arwah) yang dilakukan oleh kaum muslimin yang memang paham
mengenai kenduri arwah (tahlilan). Jika tidak ada illat maka hukum makruh pun
tidak ada, sebab dalam kaidah syafi’iyah hukum itu meliputi disertakannya
illat. (Kifayatul Akhyar lil-Imam Taqiyuddin al-Hishni [1/526] ; Asnal Mathalib
lil-Imam Zakariya al-Anshari [3/105]) Oleh karena itu, berkumpul (berhimpun)
yang dimaksud pada hadits Jarir adalah jika bukan karena untuk membaca
al-Qur’an, berdo’a dan dzikir-dzikir lain. Adapun jika berkumpul untuk tujuan
tersebut, maka itu tidak makruh, sebagaimana telah jelas perkataan Syaikhul
Madzhab Syafi’i yakni Imam an-Nawawi rahimahullah : “Sebuah cabang : tidak
dihukumi makruh pada pembacaan Qur’an secara berkumpul (berhimpun) bahkan itu
mustahabbah (sunnah)”( al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi
[2/166])
(Dokumen Pemuda TQN Suryalaya News, Sumber: ummatipress.com oleh: Agung Gusti)
Posting Komentar
Posting Komentar