Menu

TQN PP.Suryalaya

 



Lebih jauh, juga perlu diingat bahwa dalam menghukumi sesuatu haruslah menyeluruh dan harus mempertimbangkan hadits-hadits lain yang saling terkait. Dalam hal ini, ada sebuah hadits lain yang shahih diriwayatkan oleh Abu Daud, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari sahabat Anshar, yang redaksinya sebagai berikut:
“Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pada sebuah jenazah, maka aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam berada diatas kubur berpesan kepada penggali kubur : “perluaskanlah olehmu dari bagian kakinya, dan juga luaskanlah pada bagian kepalanya”, Maka tatkala telah kembali dari kubur, seorang wanita (istri mayyit, red) mengundang (mengajak) Rasulullah, maka Rasulullah datang seraya didatangkan (disuguhkan) makanan yang diletakkan di hadapan Rasulullah, kemudian diletakkan juga pada sebuah perkumpulan (qaum/sahabat), kemudian dimakanlah oleh mereka. Maka ayah-ayah kami melihat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam makan dengan suapan, dan bersabda: “aku mendapati daging kambing yang diambil tanpa izin pemiliknya”. Kemudian wanita itu berkata : “wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah mengutus ke Baqi’ untuk membeli kambing untukku, namun tidak menemukannya, maka aku mengutus kepada tetanggaku untuk membeli kambingnya kemudian agar di kirim kepadaku, namun ia tidak ada, maka aku mengutus kepada istinya (untuk membelinya) dan ia kirim kambing itu kepadaku, maka Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “berikanlah makanan ini untuk tawanan”. (Sunan Abi Daud no. 3332 ; As-Sunanul Kubrra lil-Baihaqi no. 10825 ; hadits ini shahih ; Misykaatul Mafatih [5942] At-Tabrizi dan Mirqatul Mafatih syarh Misykah al-Mashabih [5942] karangan al-Mulla ‘Alial-Qari, hadits tersebut dikomentari shahih.)
Hadits ini tentang Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam sendiri dan para sahabat beliau yang berkumpul dan makan di kediaman keluarga almarhum, yang berarti bahwa hadits ini menunjukkan atas kebolehan keluarga almarhum membuatkan makanan (jamuan) dan mengajak manusia memakannya.
Secara dhahir hadits Jarir telah berlawanan dengan hadits dari ‘Ashim bin Kulaib ini, sedangkan dalam kaidah ushul fiqh mengatakan jika dua dalil bertentangan maka harus dikumpulkan jika dimungkinkan untuk dikumpulkan. ( at-Tabshirah fi Ushul al-Fiqh lil-Imam asy-Syairazi [1/153]) Maka, kedua hadits diatas dapat dipadukan yakni hadits Jarir bin Abdullah dibawa atas pengertian jamuan karena menjalankan adat, bukan dengan niat “ith’am ‘anil mayyit (memberikan makan atas nama mayyit/shadaqah untuk mayyit) “ atau hal itu bisa membawa kepada niyahah yang diharamkan, kesedihan yang berlarut-larut dan lain sebagainya. Sedangkan hadits ‘Ashim bin Kulaib dibawa atas pengertian jamuan makan bukan karena menjalankan adat (kebiasaan), melainkan jamuan makan dan berkumpul dengan niat “ith’am ‘anil mayyit” atau pun ikramudl dlayf (memulyakan tamu). Oleh karena itu larangan tersebut tidaklah mutlak, tetapi memiliki qayyid yang menjadi ‘illat hukum tersebut.
Bariqatul Mahmudiyyah li-Abi Sa’id al-Khadami al-Hanafi [3/205] : “Mushannif berkata di dalam syarahnya dari pembesar al-Halabi “sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam ketika kembali dari pemakaman orang Anshar, Rasulullah menerima ajakan wanitanya, maka datang dan dihidangkanlah makanan, kemudian Rasulullah menelatakkan tangannya dan di ikutilah orang rombongan (sahabat), kemudian Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam makan sesuapan yaitu secabik daging ke mulutnya”. Maka ini menunjukkan atas kebolehan bagi ahl mayyit menyajikan makanan dan mengundang orang lain kepadanya. Selesai”.
Kemudian juga dijelaskan didalam Hasyiyah ath-Thahthawi ‘alaa Muraqi al-Falaah Syarh Nuur al-Iydlaah [1/617] Ahmad bin Muhammad bin Isma’il ath-Thahthawi al-Hanafi : “… Maka hadits ini (‘Ashim bin Kulaib) menunjukkan atas kebolehan bagi ahl mayyit menghidangkan makanan dan mengajak manusia padanya bahkan juga di sebutkan didalam al-Bazaziyyah dari kitab al-Ihtihsan “dan jika menghidangkan makanan untuk fuqaraa’ maka itu bagus”. Selesai.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami di dalam Tuhfatul Muhtaj mengatakan : “dan apa yang diadatkan (dibiasakan) daripada keluarga almarhum membuat makanan demi mengajak manusia atasnya maka itu bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh), sebagaimana menerima mereka untuk hal yang demikian berdasarkan hadits shahih dari Jarir “Kami (sahabat) menganggap berkumpul ke (kediaman) keluarga almarhum serta (keluarga almarhum) menghidangkan makanan setelah pemakaman bagian dari niyahah”, dan sisi dianggapnya bagian dari niyahah yakni apa yang terdapat didalamnya daripada berlebihanlebihan dengan perkara kesedihan”. ( Tuhfatul Muhtaj lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami [3/207 ])
Hal ini juga disebutkan oleh al-‘Allamah as-Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi dalam I’anatuth Thalibin. Maka, illat tersebut tidak terdapat pada kegiatan tahlilan (kenduri arwah) yang dilakukan oleh kaum muslimin yang memang paham mengenai kenduri arwah (tahlilan). Jika tidak ada illat maka hukum makruh pun tidak ada, sebab dalam kaidah syafi’iyah hukum itu meliputi disertakannya illat. (Kifayatul Akhyar lil-Imam Taqiyuddin al-Hishni [1/526] ; Asnal Mathalib lil-Imam Zakariya al-Anshari [3/105]) Oleh karena itu, berkumpul (berhimpun) yang dimaksud pada hadits Jarir adalah jika bukan karena untuk membaca al-Qur’an, berdo’a dan dzikir-dzikir lain. Adapun jika berkumpul untuk tujuan tersebut, maka itu tidak makruh, sebagaimana telah jelas perkataan Syaikhul Madzhab Syafi’i yakni Imam an-Nawawi rahimahullah : “Sebuah cabang : tidak dihukumi makruh pada pembacaan Qur’an secara berkumpul (berhimpun) bahkan itu mustahabbah (sunnah)”( al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi [2/166])


(Dokumen Pemuda TQN Suryalaya News, Sumber: ummatipress.com oleh: Agung Gusti)

Posting Komentar

 
Top