Oleh DR. H. CECEP ALBA, MA (Rektor IAILM Tasikmalaya)
A. Biografi Ibnu ‘Arabi
(Ibnu Arabi) |
Nama lengkap Ibnu ‘Arabi adalah Abu Bakar Muhammad
bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdillah at-Ţāi al-Hātimi yang
terkenal dengan sebutan Ibnu ‘Arabi, nama lakobnya Muhyiddin Ibnu ‘Arabi,
al-Qutub, as-Syaikh al-Akbar. Nama kunyahnya Abu ‘Abdillah. Ia dilahirkan
di kota Murcia pada tanggal 27 Ramdan tahun 560 H (7
Agustus 1165 M).[1] Di Prancis pada saat
itu Louis VII sedang bertahta, pembangunan Notre
Dame de Paris sudah berjalan dua tahun. Di Spanyol
Muslim, kekuasaan Dinasi
al-Moravid sedang menurun, tak lama kemudian
digantikan oleh Dinasti al-Muwahhidun. Di Mesir, dinasti
lain sedang berakhir, dinasti Ayyubiyyah sedang
disiapkan oleh Salahuddin. Di pinggir sungai Onon di timur Siberia,
Jengis Khan dilahirkan. Kurang dari satu abad, kemudian cucunya,
Hulagu Khan, akan menghancurkan kota Bagdad dan akan membunuh
khalifah terakhir dari Dinasti Abbasiah.[2]
Ketika Dinasti al-Muwahhidūn menaklukan Mursia pada
tahun 567 H./1172 M. Ibnu ‘Arabi dan keluarganya pindah ke Seville,
tempat ayahnya diberi pekerjaan pada dinas pemerintahan atas
kebaikan Abu Ya’kub Yusuf, penguasaDaulah Muwahhidūn pada saat
itu.[3] Ibnu ‘Arabi menghabiskan masa kecilnya di Seville, tempat
keluarganya tinggal. Di kota pusat ilmu pengetahuan itu, dibawah bimbingan sarjana-sarjana
terkenal ia mempelajari al-Qur’an dengan tafsirnya, hadis, fikih, teologi dan
filsafat scolastik. Seville adalah suatu pusat sufisme yang penting dengan
sejumlah guru sufi terkemuka yang tinggal di sana.[4] Keberhasilan Ibnu
‘Arabi dalam pendidikannya mengantarkannya kepada kedudukan sebagai sekretaris
Gubernur Seville. Pada periode itu pula ia menikah dengan seorang
wanita salihat, Maryam. Suasana kehidupan guru-guru
sufi dan kesertaan istrinya dalam
keinginannya mengikuti jalan tasawuf adalah paktor
penyebab yang mempercepat pembentukan kepribadian Ibnu
‘Arabi menjadi seorang sufi. Ia memasuki jalan
sufi (tarekat) secara formal pada tahun 580 H/1184 M, saat berusia
dua puluh tahun.[5] Sementara Michel Chodkiewicz,
menyebutkan bahwa pada saat usia Ibnu ‘Arabi berumur sekitar enam
belas tahun ia masuk tarekat. Mendekati usianya yang ke dua puluh, ia sudah
berhasil melewati seluruh tingkatan (maqāmāt) yang
harus dilalui oleh para salik dalam perjalanannya
menuju Tuhan. Selain itu, ia juga sudah menerima berkah yang istimewa.[6]
Ibnu ‘Arabi[7] mempunyai dua saudara yang keduanya pengamal
tarekat. Saudara pertama bernama Yahya bin Yagon yang meningglkan
kedudukannya sebagai pejabat di wilayah Tilmasan dan ia mewakafkan
diri untuk berhidmah kepada seorang wali. Adapun saudaranya yang kedua adalah
Abu Muslim al-Khaulani yang biasa menghabiskan waktu malamnya dengan zikir dan
tasbih. Melihat latar belakang kehidupan Syaikh, begitu juga lingkungan
keluarganya, kita dapat membuat suatu asumsi yang cukup signifikan
bahwa ternyata Ibnu ‘Arabi dan keluarga besarnya merupakan para pengamal
tarekat. Mereka hidup zuhud, istiqamah dalam beribadah serta selalu melakukan
riyādah. Banyak kejadian dari kehidupan sehari-hari menjadi wasilah kedua adik
Ibnu ‘Arabi semakin sadar akan arti pentingnya bertasawuf. Pertemuan dengan
ulama-ulama yang ‘arif seringkali menyadarkan mereka sehingga mereka
menempuh jalan tasawuf secara penuh. Ibnu ‘Arabi menceritakan saudaranya yang
satu, yaitu Abu Muslim al-Khaulani: Saudaraku termasuk salah seorang
tokoh di daerah itu. Ia bangun sepanjang malam, tatkala ia diserang rasa
ngantuk segera ia memukul-mukul kedua kakinya dengan satu cemeti yang
ada padanya sambil berkata: Engkau berdua lebih berhak dipukul daripada
kendaraanku (kuda).[8]
Pada masa usia belajar, Ibnu ‘Arabi belum menampakkan
tanda-tanda kecenderungan terhadap tasawuf bahkan yang paling ia dalami adalah
belajar sastra Arab dan kesenangannya untuk berburu. Tentang kesenangan dalam
berburu ia mengisahkan: Pada saat aku masih dalam kebodohan, dalam
perjalalananku dan aku bersama ayahku, aku sedang berada di antara daerah
Qurmunah dan Balmah (wilayah Andalusia), aku terkejut melihat seekor binatang
liar sedang merumput, dan aku pun membidik untuk menangkapnya. Aku
berfikir dalam hati bahwa aku tidak akan menyakiti salah satu di antara
binatang buruan dengan panah. Tatkala buruan tadi melihat kuda
yang aku kendarai maka larilah ia ketakutan. Akhirnya aku terpaksa melepaskan
anak panah dan mengena ke salah satu di antara binatang buruan
tadi dan dalam waktu yang sama larilah himar-himar yang ada di
sekitar kami. Aku tidak tahu faktor penyebab hal itu.
Setelah aku kembali ke tarekat baru aku tahu apa yang menjadi penyebab
terjadinya peristiwa itu (berlarian himar di sekelilingku),
yaitu hilangnya rasa aman dalam jiwa mereka yang rasa aman itu ada
dalam jiwaku buat mereka. Sebagai telah disinggung bahwa Ibnu Arabi menikah,
setelah ia diangkat menjadi sekretaris Gubernur di Pemerintahan Seville, dengan
seorang wanita salihah bernama Maryam binti Muhammad bin Abdun bin Abdurrahman
al-Bijai. Ia mencintai Ibnu ‘Arabi sepenuh hatinya demikian juga sebaliknya,
sehingga tidak dapat disembunyikan, dalam sebagian karangan
sastranya terlukis kecintaan Ibnu ‘Arabi kepada istrinya.[9] Ibnu
‘Arabi menyatakan, aku tidak melihat perasaan seorang pun dari ahli
maqam ini kecuali keluarga Maryam binti Muhammad bin Abdun melihat
seseorang dan ia menceritakan keadaanya kepadaku, akhirnya aku tahu
kalau ia termasuk ahli syuhūd (orang yang dapat melihat hal-hal yang
gaib), meskipun Maryam menceritakan berbagai keadaan yang menunjukan
bahwa ia tidak kuat dan lemah di dalamnya, tetapi ia
yakin dengan keadaan ini. Selanjutnya istriku yang
salihah pernah menceritakan bahwa pada suatu waktu ia mimpi melihat seseorang
yang berjanji akan menikahinya, ia tidak pernah melihat sosok orang
itu di alam nyata. Laki-laki tadi bertanya: “Apakah anda
bermaksud menuju suatu jalan (tarekat)”? Aku berkata kepadanya:
“Demi Allah aku bermaksud menuju tarekat, tetapi aku tidak
tahu harus bagaimana?”. Berkata Maryam bahwa laki-laki
itu mengkhabarkan kepadanya tentang lima perkara
yaitu tawakkal, yakin, sabar, ‘azimah, dan as-sidq (benar). Ibnu
‘Arabi berkata kepada Maryam; Inilah mazhab pegangan kaum.[10]
Ibnu ‘Arabi menuturkan: Suatu waktu aku sakit sehingga pingsan
dan dalam kerasnya sakitku aku merasa bertemu dengan orang-orang
yang telah meninggal, lalu aku melihat suatu kaum yang jelek dipandang
mata bermaksud menyakitiku. Dalam waktu yang sama aku pun melihat
seorang laki-laki yang kuat dan harum dengan wewangian mengusir
mereka dan mempertahankanku. Aku bertanya kepadanya: Siapakah anda? Ia
menjawab: Saya adalah surat Yāsīn, sedang menjagamu. Tak lama kemudian aku
pun siuman dan sadar dari pingsanku dan aku terkejut di depan kepalaku ada ayah
menangis sambil membaca surat Yāsīn. Setelah ayah selesai membacanya aku
menceritakan kepada ayahanda apa yang aku saksikan.[11]
Kepindahan Ibnu ‘Arabi ke dunia tasawuf dan tarekat, sebagai
diungkapkannya sendiri, terjadi pada tahun 580 H “Aku
mendapatkan kedudukan setelah aku masuk tarekat pada
tahun 580 H”.[13] Setelah umur Ibnu ‘Arabi mencapai usia 30
tahun kemasyhurannya menyebar ke seluruh wilayah Andalusia dan dunia
Barat. Paktor penyebabnya antara lain, karena ia banyak bepergian dari satu
kota ke kota lain baik untuk berziarah kepada para ulama atau
menemui para syaikh tarekat, untuk menghadiri diskusi atau tukar pendapat
menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah filsafat, teologi atau
mistisisime. Di sebagian perjalanannya tidak jarang ia sengaja
mengunjungi para sufi, mursyid tarekat dan berdiskusi dengan mereka
sekitar ta’wil ayat-ayat yang berkaitan dengan teologi, hukum, panteisme dan
lain-lain. Sering pula ia menghabiskan waktunya dengan berhidmah
kepada para syaikh (mursyid) untuk bertabarruk mengambil barokah (kebaikan) dari
mereka yang memiliki karômahdan kedudukan yang tinggi.[14]
Ibnu ‘Arabi pindah dari Mursia ke Asbilia pada tahun 568 H.
selanjutnya beliau pindah ke Magrib pada tahun 590 H. Di
Maroko beliau sibuk dengan tugas-tugas harian sebagai pegawai
kerajaan; antara lain membuat konsep-konsep, baik untuk pidato raja
atau surat-surat biasa. Beliau tidak lama berada di tempat ini
sehingga akhirnya beliau pulang kembali ke Seville untuk menetap bersama
pengikutnya. Atas kehendak Allah, ia kembali lagi pergi ke Magrib untuk bekerja
pada seorang raja dan beliau tinggal pada kali kedua ini selama sembilan bulan
kurang beberapa hari. Selepas bekerja di kerajaan beliau mulai melakukan
pengembaraannya yang panjang; pertama beliau pergi ke Maroko dan ia menjadikan
Maroko sebagai tempat star (berangkat) untuk pengembaraannya di Timur Tengah.
Beliau pergi ke Pes dan beliau masuk ke kota Jāyah, di kota ini beliau banyak
mengunjungi para tokoh, khususnya para sufi.
Ibn ‘Arabi melanjutkan perjalananya ke Mesir pada
tahun 597 H. Di Mesir ia bertemu dengan para penentang ajarannya. Ia menetap di
Mesir untuk jangka waktu tertentu bersama murid dan pembantunya ‘Abdullah
al-Habashī. Banyak percobaan dilakukan oleh orang Mesir
yang tidak sehaluan untuk membunuhnya. Ia lolos dari maut dengan pertolongan
dan perlindungan seorang syaikh berpengaruh yang menjadi penduduk
Mesir saat itu. Karenanya ia mengakhiri perjalanan di Mesir, pulang
meninggalkan Mesir dengan selamat. Penguasa Mesir amat mencintainya
dan wali Mesir amat senang atas kehadiran Ibnu Arabi. Di
Mesir bahkan ia sempat diangkat menjadi imam.
Selanjutnya Ibnu ‘Arabi berteguh hati
meneruskan perjalananya ke wilayah Hijaz kemudian ke Makkah. Di
Makkah beliau khusu’ beribadah dan sekaligus mengajar di Masjid al-Harām. Di
Masjid yang dimulyakan ini beliau mencurahkan sepenuh kemampuan intelektual dan
spiritualnya sehingga beliau berhasil menyusun kitab yang amat monumental yaitu
kitab “al-Futūhāt al-Makkiyyah”. Dalam pada itu, ia juga menyelesaikan
empat kitab yang lainnya yaitu: Misykah al-Anwār, Hilyah al-Abdāl,
Tāj ar-Rasāil dan Rūh al-Quds. Beliau meneruskan perjalanan ke Madinah,
setibanya di Madinah beliau berziarah ke Raudah Nabawiyyah untuk menemui
Rasulullah saw. Ibnu ‘Arabi meneruskan perjalanan masuk ke Tāif
selanjutnya ke Irak. Kota Mosul menjadi kota pertama yang ia kunjungi,
ia bertemu dan berkumpul dengan para tokoh di kota ini untuk
selanjutnya beliau pergi meninggalkan Mosul
menuju Bagdad, ia sampai di kota Abu Nawas
ini pada tahun 601 H. dan beliau kembali lagi ke Bagdad, untuk yang kedua
kalinya, pada tahun 608 H.[15]
Makkah bagi Ibnu ‘Arabi bukan sekedar tempat melaksanakan ibadah
haji, tawaf mengelilingi Ka’bah dan ibadah-ibadah lain. Makkah
baginya, adalah tempat meningkatkan kualitas kehidupan mistiknya. Ka’bah
sebagai “pusat kosmik” merupakan tempat khusus untuk memperoleh pengalaman
rohani yang tidak mungkin diperoleh di tempat lain. H. Corbin,
melukiskan, sebagaimana dikutip oleh Kautsar Azhari Noor,
peristiwa hakiki dan menentukan hanya ditimbulkan dengan bermeditasi
”di sekitar Ka’bah” karena peristiwa-peristiwa seperti itu terjadi hanya “dalam
pusat dunia”, yaitu pada kutub mikrokosmos batini, dan Ka’bah adalah pusat
dunia.[16]
Kunjungannya ke Ka’bah secara teratur untuk beribadah
dan bermeditasi
membuahkan pengalaman-pengalaman rohani. Di antara
pengalaman-pengalaman itu ada dua yang perlu disebutkan di sini. Pertama, ia
mengalami suatu visi tentang “kemudaan abadi” yang boleh dikatakan mewakili
perpaduan apa-apa yang berlawanan, concidentia oppositorum, yang dalam
keseluruhannya semua ketegangan dapat dipecahkan. Kedua, visi
yang menegaskan bahwa ia adalah penutup Walāyah Muhammadiyyah.[17]
Ia kembali pergi ke Makkah pada tahun 604 H. /1207 M.
Hanya satu tahun ia tinggal di kota suci ini. Setelah itu ia pergi ke Asia
Kecil melalui Aleppo. Ia sampai di Konya, atau Quniyyah, pada tahun
607 H./1210 M. Di sana ia disambut hangat oleh Raja Kay Kaus dan penduduknya.
Pengaruhnya di Konya menyebar dengan cepat di masyarakat dan khususnya di kalangan
para sufi. Di kemudian hari pengaruhnya menjalar ke mana-mana dan menjadi
dominan dalam sejarah perkembangan tasawuf di seluruh dunia Islam sampai hari
ini. Tokoh yang paling berjasa dalam proses penyebaran ajaran Ibnu
‘Arabi adalah Sadr ad-Din al-Qunawi (w. 673 H/1274 M), murid
terdekat dan terpenting Ibnu ‘Arabi, dan menjadi komentator karya-karya gurunya
itu. Beberapa ahli mengakui bahwa al-Qunawi adalah tokoh yang berhasil membantu
pemaduan ajaran-ajaran Ibnu ‘Arabi dan sufisme timur.[18]
Pada tahun 608 H Ibnu ‘Arabi memasuki Irak bermaksud
menemui Syaikh Syihabuddin ‘Umar as-Suhrawardi, mursyid Madrasah Sufi di
Bagdad. Diceritakan bagaimana Ibnu ‘Arabi bertemu dengan as-Suhrawardi; untuk
yang pertama, masing-masing saling memandang dalam waktu
yang agak lama tanpa sepatah kata pun keluar dari lisan keduanya, kemudian
keduanya berpisah tanpa mengeluarkan ucapan sedikit pun. Setelah pertemuan ini
berlalu berkatalah as-Suchrawardi kepada para muridnya mengenai Ibnu
‘Arabi: “Huwa bahrun ‘amīq fi al-Haqīqah” Dia
adalah lautan yang dalam mengenai hakekat[19]
Di Bagdad banyak terjadi karomat, tajalliyat, dan isyrāqāt
spiritual Ibnu ‘Arabi, sehingga karenanya berkumpulah kepadanya para
pengikutnya dan para pencari hakikat berbondong-bondong menemuinya dari berbagai
pelosok.
Namun, meskipun di Bagdad ia disambut hangat oleh para
pengikutnya, Ibnu ‘Arabi tidak tinggal lama di Bagdad, malah kemudian ia pergi
ke Halb dan dari kota ini beliau menuju ke kota Damaskus dan dari Damaskus Ibnu
‘Arabi pergi berziarah ke Majid al-Aqsa. Berulang kali beliau pulang pergi
antara Syam dan Hijaz hingga ia mengakhiri perjalanannya di Damaskus tahun 620
H., ketika umur beliau menginjak 60 tahun. Beliau menghabiskan sisa umurnya di
Damaskus dengan riyādoh, mengarang dan menulis.
Raja Mu’azzam putera Raja al-Malik al-‘Ādil menaruh
kepercayaan yang amat besar kepada Ibnu ‘Arabi. Raja Mu’azzam selalu
menghadiri pengajian yang diselenggarakan Ibnu ‘Arabi dengan hidmat. Demikian
juga Qadi Qudāt Damaskus, penganut Mazhab Syafi’i, yang bernama Syamsuddin
Ahmad al-Khauli berhidmah kepada Ibnu ‘Arabi seperti layaknya pengabdian
seorang hamba sahaya kepada majikannya. Hal ini dilakukan semata-mata karena
mengagungkan ketinggian kedudukan dan keilmuan Ibnu
‘Arabi. Al-Khauli banyak mengambil ilmu dan hikmah dari Ibnu
‘Arabi sekaligus mengikuti sirahnya (perjalanan hidupnya). Kecuali
itu, Hakim Agung yang bermazhab Maliki menghendaki kemuliaan, tak
segan-segan ia menikahkan anak perempuannya kepada Ibnu
‘Arabi. Dihikayatkan, bahwa ia pernah meninggalkan suatu persidangan dengan
dasar teori yang ia dapatkan dari Ibnu ‘Arabi. Dalam pada itu, masih di
Damaskus, Hakim Ibnu Zaki selalu memberikan keleluasaan kehidupan kepada Ibnu
‘Arabi. Secara rutin tiap hari, ia mengirimkan tiga puluh dirham dan
ia menyerahkannya ke rumah Ibnu ‘Arabi.[20]
Di penghujung bulan Muharram tahun 627 H, -dalam
kejadian spiritual- datanglah kepada Ibnu ‘Arabi Nabi Muhammad
saw. menyerahkan kitab “Fusūs al-Hikam” dan beliau memerintahkan Ibnu
‘Arabi agar menyebar luaskan kitab tersebut kepada umat manusia. Mengenai
kejadian ini Ibnu ‘Arabi menyatakan:
Pada tanggal 20 Muharam tahun 627 H. di suatu tempat
yang terpelihara di Damskus, dalam tidurku, aku melihat
Rasulullah saw dan di tangan beliau ada sebuah kitab, Nabi berkata
kepadaku: Ini adalah kitab “Fusûs al-Hikam” ambilah dan sebarkanlah
kepada umat manusia agar mereka mengambil manfaat darinya. Aku menjawab: “Aku
mendengar dan ketaatan hanya bagi Allah dan Rasul-Nya, juga
bagi uli al-Amri (penguasa) sebagaimana kami diperintah
untuk berlaku demikian”. Kemudian aku mengikhlaskan niat,
membulatkan tekad dan kesungguhan untuk memperkenalkan kitab ini sebagaimana
didiktekan oleh baginda Rasulullah saw kepadaku tanpa dikurangi
atau ditambah sedikitpun.[21]
Di Damaskus, Ibnu ‘Arabi beserta
keluarganya menghabiskan sisa hidupnya dengan tenang,
tentram dan sakinah. Para murid dan pengikutnya berkeliling di sekitarnya. Ibnu
‘Arabi menyusun kitab, menyampaikan wejangan-wejangan (mau’izah) dan pemikiran-pemikiran
falsafahnya hingga ahir hayatnya. Beliau meninggal di kota itu pada malam
Jum’at tanggal 27 Rabi al-Akhīr tahun 638 H. bertepatan
dengan tanggal 16 Agustus 1240 M. Beliau di makamkan di kaki gunung
Qasiun di luar kota Damaskus.
Ibnu ‘Arabi meninggalkan dua anak yaitu
Sa’duddin Muhammad yang dilahirkan pada bulan Ramdan tahun 618 H
/1221 M. Ia seorang sastrawan sufisme besar
yang terkenal, ia mempunyai balai tempat menampilkan karya-karya
seninya. Sa’duddin meninggal pada tahun 656 H dan dimakamkan di luar kota
Damaskus di kaki gunung Qasiun bersebelahan dengan ayahnya, Ibnu
‘Arabi. Dan anak yang satu lagi adalah ‘Imāduddin Abu ‘Abdillah
Muhammad, ia meninggal di Madrasah As-Sālihiyyah dan juga dimakamkan di sebelah
ayahandanya berdekatan dengan saudara tuanya. Ibnu ‘Arabi juga memiliki seorang
putri bernama Sayyidah Zainab. Menurut Ibnu ‘Arabi, sejak kecil,
anak putrinya Zainab telah sering mendapatkan intuisi (ilham) dan
mukasyafah (terbuka hijab).[22]
Keterangan:
[1] Abu al-‘Ala
‘Afifi, dalam pengantar kitab Fusūs al-Hikam karya Ibnu ‘Arabi,
Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, tth, hal. 5. Muhammad Ibrahim Muhammad
Salim, Takyîd as-Sûfiyyah, fī al-Majmū’ah al-Hātimiyyah, (Mesir :
Maţba’ah Hamadah al-Hādisiyyah, 1997), hal 10. Baca pula Tafsīr
al-Qur’an al-Karīm karya yang dinisbahkan kepada Ibnu ‘Arabi, juz
I, hal. 1. Dalam pengantar Kitab Tafsīr al-Qur’an al-Karīm, tertulis
bahwa Ibnu ‘Arabi dilahirkan pada tanggal 17 Ramdhan 560
H. bertepatan dengan 28 Juli tahun 1165 M. Di Barat ia disebut Ibnul
‘Arabi. Sementara di dunia timur ia disebut Ibnu ‘Arabi (tanpa al), untuk
membedakan antara Muhyiddin dengan Abu Bakar bin al-‘Arabi.
Lihat: Dāirāt al-Ma’ārif, karya al-Bustāni, Juz I, hal
599. Nafhat at-Tāib, karya al-Muqri, juz II, 175. al-Bidāyah
wa an-Nihāyah, karya Ibnu Kasir, juz 13, hal. 156. Tetapi
anehnya dalam beberapa sumber, ketika menyebut Ibnu Arabi secara
lengkap, ia adalah Abu Bakar Muhyiddin bin ‘Arabi, Muhammad bin
Muhammad bin Ahmad bin Abdillah at-Ţāi, al-Hātimi
al-Andalusī, as-Sûfi. Lihat! Muhammad Ibrahim Abdurrahman, Manhaj al-Fakhr
ar-Rāzi baina Manāhiji mu’āsirihi, (Madinah an-Nasr: As-
Sadr li hidmat at-Tibā’ah, 1989), hal. 44. Pengantar Tafir
al-Qur’an al-Karīm karya Ibnu ‘Arabi, hal 7. Husain az-Zahabi, at-Tafsîr wa al-Mufasirūn, juz
II, hal 340.
[2] Michel Chodkiewicz, Seal
of the Saints Prophetood and Sainthood in the Doctrine of
Ibn Arabi, tr. Dwi Surya Atmaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hal.
12.
[3] Kautsar Azhari Noer, Ibnu
Al-‘Arabi (Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan), (Jakarta: Paramadina, tahun
1995, hal 18). (Imam Syamsuddin bin Musaddad menerangkan
bahwa Ibnu ‘Arabi adalah seorang anak yang cerdas, teliti, banyak
mengetahui ilmu pengetahuan dalam segala bidang, cepat menangkap sesuatu dengan
pikirannya, termasuk anak termaju dan terpintar dalam
negrinya. Di antara gurunya ialah Ibnu Zarqum, Ibnu al-Jaddi dan
Abd. Al- Walid al-Hadrāmī. Di Magrib ia berguru pada Muhammad bin Abdillah,
pernah juga bertemu dan berguru kepada Abu Muhammad Abd al-Mun’im
bin Muhammad al-Khazrajī.
[4] Ibnu ‘Arabi mula-mula belajar al-Qur’an
pada Abu Bakar bin Khalaf dan ketika usia tujuh tahun ia
sudah berkenalan dengan kitab al-Kāfi. Ia banyak meriwayatkan
hadis dari Abdul Hasan bin Muhammad bin Syuraih ar-Rāi’ni
melalui ayahnya. Kitab ini dibaca, dan
dipelajari dengan dipandu seorang ulama besar Ali Qasim
asy-Syarrāt al-Qurtubi di Seville. Ibnu ‘Arabi mempelajari kitab “at-Taisīr
li al-Ladduni” dari Ali Abu Bakar Muhammad bin Abu Jumrah. Lalu ia pun
berguru kepada Ibnu Zarqum Abu Muhammad Abdul Haq al-Isybilī
al-Azdī. Ibnu ‘Arabi pernah juga mengikuti pelajaran hadis dari Abdul Qasim
al-Khazrani dan ulama-ulama lain, serta khusus mempelajari kitab Sahih Muslim
pada Syaikh Abdul Hasan bin Nasr pada bulan Sawal tahun 606 H. Banyak
ulama-ulama yang memberikan ijazah kepadanya, diantaranya Hāfiz as-Salafi, Ibnu
Asākir dan Abu al-Faraj ibn al-Jauzī.
[5] Kautsar Azhari Noer, Wahdat
al-Wujud, hal. 18. Futûhāt al-Makiyyah, Jilid
2. hal. 425.
[6] Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt
al-Makiyyah juz II, 436. Keseriusannya dalam tasawuf, ia
menghasilkan tulisan-tulisan mendalam dalam bidang tasawuf antara lain
kitab “al-Jāmi wa at-Tafsîl Haqāiq at-Tanzîl”, kitab al-Juzwah al-Muqtabisah
wa al-Khatarāt al-Muqtalisah, kitab Kasyf al-Makna fi
Tafsîr al-Asmā al-Husnā, Kitab Ma’ārif al-Ilāhiyyahdan lain-lain.
[7] Bedakan Ibnu
‘Arabi dari Ibnul ‘Arabi (468-543 H.), yang
disebut pertama adalah penulis al-Futūhāt al-Makkiyyah sementara yang
disebut kedua adalah Abu Bakar bin al-‘Arabi. Nama lengkapnya adalah al-Imam
al-‘Allāmah al-Faqih Muhammad bin Abdillah al-Ma’afiri al-Andalusi
al-Isbili yang dikenal dengan sebutan Ibnul ‘Arabi al-Maliki. Ia menulis tafsir
corak fikih dalam mazhab Maliki, “Ahkām al-Qur’an”. Karya
yang lainnya dalam bidang tafsir adalah “al-Qānūn fi Tafsir
al-Qur’an al-‘Aziz”. Ia selain ahli dalam bidang tafsir, juga
ahli dalam bidang hadis, fikih dan usul al-Fiqh.
[8] Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt, juz
II, hal. 23.
[9] Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt
al-Makiyyah, III, 311.
[10] Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt, IV,
638.
[11] Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt, IV,
648.
[12] Ibnu Arabi, al-Futūhāt, I,
289.
[13] Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt, II,
559.
[14] Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt, III, 573..
[15] Muhammad Ibrahim Muhammad
Salim, Ta’yîd as-Sūfiyyah fi al-Majmū’ah al-Hātimiyyah, Matba’ah Hamadah
al-Hādisah, tth. hal. 12.
Kautsar Azhari Noor, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, hal
21. Lihat pula H. Corbin, Creative Imagination in The Sufism of
Ibnu ‘Arabi, diterjemahkan oleh R. Manheim (Priceton: Priceton University
Press, 1969), hal 52-53.
[16] Kautsar Azhari Noer, Wahdat al-Wujud, hal
89
[17] Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt al-Makiyyah,
juz I, hal. 47- 48.
[18] Kautsar Azhari Noer, Wahdat al-Wujud, hal.
22.
[19] Ibnu ‘Arabi, Tafsīr al-Qur’an al-Karîm, juz I,
hal, 6.
[20] Ibnu ‘Arabi, al-Futûhāt, I,
hal. 9.
[21] Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt,
juz I, hal. 9.
[22] Ibrahim Muhammad Salim, Ta’yīd as-Sūfiyyah fi Majmu’at
al-Hatimiyyah, Beirut: Maj’ma’ah al-Hadisah, tth, hal. 30.
(Dokumen Pemuda TQN Suryalaya News, Sumber: fsyariahiailm.blogspot.com/)
(BERSAMBUNG KE BAGIAN II)
Posting Komentar
Posting Komentar