Menu

TQN PP.Suryalaya

 

dokumen pemuda tqn suryalaya news
(Ibnu Arabi)

Oleh:  DR. H. CECEP ALBA, MA (Rektor IAILM Tasikmalaya)


B.     Akar-akar  dan Perkembangan Spiritual Ibnu ‘Arabi

Pada awal kehidupannya, Syaikh yang agung  ini menghapal al-Qur’an, mempelajari tafsirnya, dan mendalami maknanya,  mendengarkan hadis dan meriwayatkannya. Dengan kedua dasar keilmuan ini ia dapat menguasai ilmu-ilmu syari’ah. Kehidupan spiritualnya, ia warisi dari lingkungan keluarganya karena ia memang  berasal dari keluarga yang mulia, tumbuh dan dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang mulia. Kakeknya Abdullah al-Hātimi adalah seorang panglima perang yang gemilang, kakeknya yang lebih dekat adalah seorang hakim di Andalusia, ayahnya sendiri adalah seorang ulama yang mengamalkan ilmunya yang selalu menempuh jalan menuju Tuhannya (pengamal   sebuah tarekat).
Selanjutnya Ibnu ‘Arabi  menyatakan: “Allah telah memberiku nikmat yang besar, aku sendiri tidak tahu bahwa kabar gembira itu untuku, aku ditemani oleh seorang Imam  dan khalifah al-Qutb,  dimana ia melarangku ketika aku menemuinya, dari bersandar kepada Syaikh yang manapun yang aku temui”. Selanjutnya ia menyatakan: “Janganlah engkau menyandarkan diri kecuali kepada Allah. Tidak ada seorang pun yang memiliki kekuatan dalam hal  apa yang kamu ada padanya, tetapi Allah lah yang memberimu kekuasaan untuk memeliharanya dan menaklukannya. Ceritakanlah kelebihan orang yang engkau temui jika engkau mau tetapi janganlah engkau menyandarkan diri  kecuali kepada Allah”. Selanjutnya Ibnu ‘Arabi  menuliskan bahwa Allah telah membukakan kepadanya satu rahasia dari rahasia-rahasia-Nya ketika aku berada di kota Pes Maroko pada tahun 574 H. aku menikmatinya, tetapi aku tidak tahu bahwa hal itu bagian dari rahasia-rahasia-Nya yang tidak dibukakan kepada yang lain,[23] lalu aku ditegur karenanya oleh kekasihku  (Allah),   dan aku pun tidak  bisa menjawab kecuali diam.  Hanya saja aku berkata: Peliharalah  hal itu menyangkut orang yang engkau menitipkan sesuatu padanya, jika padamu ada selainnya sebab engkau mampu sementara aku tidak mampu. Aku telah menitipkannya kepada lebih dari delapan belas orang laki-laki; Ia berkata kepadaku; Aku menguasainya lalu ia menghabarkan kepadaku, bahwa ia mencabut dari  dada mereka dan tulang rusuk mereka  tentang hal itu, segala puji bagi Allah dimana Allah tidak menyiksaku dengan ketakutan dan keterhalangan   seperti halnya disiksa selainku.[24]
Dengan demikian, sewaktu masih kecilnya  Ibnu ‘Arabi telah cukup kuat pandangan ruhaninya melihat ufuk yang amat tinggi yaitu ufuk tauhid yang dicari yang haq dan hidup di ufuk sana selamanya  serta sibuk dengan zikir kepada-Nya lalu naik ke tingkatan pencapaian tanpa berhenti. Dan dalam perjalanan spiritual ini ia sibuk dengan ţā’ah (keta’atan) dan qurbah (pendekatan diri) serta ia melepaskan diri dari berbagai kesibukan, ia menyerahkan kepada ayahnya apa-apa yang ia miliki (secara materi)  lalu ia dawām (terus menerus) melaksanakan apa-apa yang ia diciptakan untuknya dan secara fitri ia dipersiapkan untuknya. Dalam semua ini ia dijaga dari kemungkinan keluar dari koridor Syari’at Muhammad.
Pada suatu waktu ia bertemu dengan seorang Syaikh Mursyid[25] suatu tarekat, syaikh mursyid tersebut mengajari Ibnu ‘Arabi  pada suatu zikir yang khas yang mesti ia amalkan dalamkhalwahnya. Lalu Ibnu ‘Arabi  melaksanakan petunjuk syaikh mursyid tadi  sehingga terbukalah kepadanya ilmu-ilmu ladunni yang amat luas sebagai yang diikrarkan oleh syaikh itu sendiri. Misalnya ia mengetahui bahwa ia adalah benar dalam pencarian (suluk). Dan ia pun tahu bahwa yang diberi ilmu serupa ini pada masanya  tidak sendirian alias banyak, antara lain Ibnu Rusyd di Cordova.   Ia bersyukur dapat bertemu dengan  Ibnu Rusyd pada masanya dan Ibnu Rusyd adalah salah seorang fakih yang sufi yang terbuka kepadanya ilmu-ilmu ladunni.
Dalam salah satu wasiatnya Ibnu ‘Arabi pernah menyatakan kepada murid-muridnya: Hendaklah kalian melakukan riyādah sebelum khalwat (bersemedi).Riyādoh adalah suatu  proses pembinaan akhlak, meninggalkan kemewahan dan kesombongan, dan sanggup menanggung ażā (derita). Sesungguhnya manusia jika  keterbukaannya (kasyf al-hijab) mendahului riyādahnya maka tidak akan ada orang yang mengalami hal serupa ini kecuali jarang sekali.[26]
Di antara paktor yang membantu Ibnu ‘Arabi  selamat dari cacatnya perubahan, rusaknya lapaz, pengakuan  batil, dan penyia-nyiaan haq, bahwa ia tidaklah  terganggu selama dalam proses perolehan ilmu-ilmu yang dicari dengan ilmu-ilmu ‘aqliyyāh jadaliyyah yang seringkali mempengaruhi salik (orang yang menempuh jalan menuju Tuhan)  dari  memperoleh ilmu-imu hakekat. Menyangkut hal ini, Ibnu ‘Arabi mengutarakan:
Barang siapa  mengenal Allah dengan Allah maka sungguh ia telah betul-betul mengetahui (ma’rifah), dan  barang siapa yang mengenal Allah melalui alam  maka ia mengetahui-Nya sejauh yang diberikan alam kepadanya tidak lebih.[27]

Selanjutnya ia menyatakan:

Ketahuilah bahwa di antara manusia ada orang yang sibuk mencari dalil dan melakukan penelitian secara mendalam, tetapi tatkala batinnya memberi isyarat sesuatu segera ia menapikannya. Ujung perilaku orang serupa ini  adalah ia diam setelah terlebih dahulu ia lelah. Seolah-olah orang  seperti ini  telah dipastikan umurnya habis dalam tafakkur tentang sesuatu yang sebenarnya tidak layak untuk ditafakkuri dan ia sibuk mencari tempat yang sebenarnya dilarang oleh Allah.[28] 

Di antara keutamaan Allah (karunia Allah) kepadaku adalah Allah menjagaku dari bertafakkur tentang Zat Allah, aku tidak mengenal Allah kecuali melalui firman-Nya, berita-Nya dan bukti-bukti lainnya, sehingga menyangkut Zat Allah, fikiranku diliburkan. Dan fikiranku bersyukur kepadaku atas hal ini. Lalu ia berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menjagaku karena-Mu dari tasarruf dan kejenuhan   memikirkan perkara yang tidak perlu bagiku, dan aku
telah berjanji kepada diriku untuk tidak bertafakkur tentang Zat-Mu ya  Allah bahkan aku mengalihkan kesungguhanku  pada i’tibar (proses pengambilan pelajaran dari fenomena yang ada) dan  akupun berjanji  mengenai hal itu. Bagi Allah segala puji karena pengalihan kesibukan yang ia diciptakan bukan untuknya
dan penggunaan dalam kesibukan yang ia diciptakan untuknya”.[29]
Allah berfirman:
                ثم اورثنا الكتاب الذي اصطفينا من عبا دنا       (فاطر:32)

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih dari hamba-hamba-Kami ” (Fātir: 32)

Interpertasi terhadap ayat di atas  Ibnu ‘Arabi menyatakan: Ketahuilah sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidaklah memilih seorang hambanya kecuali Ia menjaganya sebelum memilihnya dari menyelam dalam ilmu nazar dan Allah menghalanginya dari ilmu nazar tersebut sekaligus Allah memberikan kepadanya  daya untuk dapat beriman kepada Allah dan kepada segala yang datang dari Allah melalui lisan Rasulnya. Sebab sesungguhnya pemilik an-nazar al-‘aqli meskipun bahagia, ia tidak akan selamanya ada pada  tingkatan orang yang lurus yang tidak ada padanya ilmu tentang Allah  kecuali melalui iman dan taqwa. Dan inilah warisan para Nabi dalam sifat ini.
Untuk lebih mendalami bagaimana perjalanan spiritual Syaikh al-Akbar, perlu kita telusuri perjalanannya yang panjang, pemikirannya yang luas, substansi  karya-karyanya yang tajam serta pertemuan-pertemuannya dengan para mursyid tasawuf di masanya. Sebelum penulis angkat pertemuan Syaikh dengan mursyid-mursyid di masanya, adalah lebih baik kalau terlebih dahulu penulis utarakan keberhasilan Syaikh al-Akbar  dalam menempuh suluk yakni maqamat-maqamat yang beliau lalui serta ahwal-ahwal yang beliau capai, manzilah-manzilah, tajalli, nur dan rahasia-rahasia yang terungkap kepadanya.
al-Futūhāt, misalnya  merupakan karya spiritual tuan Syaikh yang di dalamnya termuat berbagai persoalan mulai dari bahasan ilmu pengetahuan, ibadat,  mu’amalat, ahwal, manazil, munazalat, dan maqamat. Tiap-tiap bagian dari pokok-pokok bahasan di atas ada inti pembahasannya, rahasia-rahasia, dan ilmu-ilmunya. Sistimatika pembahasan al-Futūhāt sendiri bukanlah perbuatan Syaikh al-Akbar sendiri  melainkan merupakan ilham ruhani sebagai halnya para wali telah mendapatkannya. Ilmu-ilmu yang banyak sebagaimana di atas, ahwal yang maha luas, maqamat, manazil, munazzalat, tajalli yang berbilang dan bermacam-macam, semua itu merupakan perkara  yang diperoleh Syaikh, sebab Syaikh    sebagaimana  manusia yang sederajat dengannya,  tidak menuliskan dan tidak mengucapkan sesuatu  melainkan dari zauq (rasa) yang ada pada hati suci mereka, hal yang hadir  dalam hati mereka  berupa  masyhad tertentu di hadapan mereka.[30]
Dalam perjalanan spiritualnya, Ibnu ‘Arabi banyak menyisihkan waktu untukţalab al-‘ilm, berkumpul dengan para tokoh, ulama dan para mursyid, dan bepergian dari satu wilayah ke wilayah yang lainnya, dari satu tempat ke tempat lainnya. Dalam perjalanan pertamanya di Seville ia bertemu dengan Syaikh Abu Ja’far al-‘Arabi. Syaikh Ja’far berwasiat kepadanya agar ia dapat meninggalkan berbagai kesibukan dan sebaliknya musti  istiqamah dalam mencari kebenaran. Ibnu ‘Arabi pun  berpegang teguh atas wasiatnya sehingga dibuka baginya rahasia-rahasia. Kata Ibnu ‘Arabi: Jika aku masuk menemui Syaikh Abu Ja’far, ia mengatakan: “Selamat datang anak yang baik. Semua anaku nifak kepadaku dan menginkari kebaikanku kecuali kamu, sebab kamu mengakuiku dan mengakui kebaikanku, semoga Allah tidak melupakanmu”.[31]
Di antara sufi besar yang ia temui adalah Syaikh Abu Ya’qub  Yusuf bin Yakhlif al-Kûmi al-‘Abasi radiya Allah ‘anhu. Ibnu ‘Arabi berkata tentang Abu Ya’qub. “Pada suatu waktu aku bertemu dengan Abu Ya’qub dalam tidurku, dadanya nampak terbelah, di dalamnya ada lampu yang bersinar seolah-olah matahari. Ia berkata ya Muhammad mendekatlah, aku pun  mendekatinya dengan membawa dua wadah putih yang besar. Kemudian beliau memuntahkan susu  ke dalam wadah itu hingga penuh. Kemudian ia berkata kepadaku : Minumlah maka akupun meminumnya. Dengan barkahnya,  rohaniku  berkembang seperti yang aku rasakan”.[32]
Di antara banyak penuturannya (pada usia yang amat muda)  tidak ada yang lebih istimewa  ketimbang hikayatnya  tatkala berjumpa dengan Ibnu Rusyd. Ia menceritakan:  Pada suatu hari aku memasuki kota Cordova  dan bertemu dengan hakimnya, yaitu Abu Walid Ibnu Rusyd. Ia bersuka cita menyambut kedatanganku  karena ia mendengar apa yang telah aku dapatkan  dalam penyendirianku, ia amat ta’jub atas apa yang ia dengar. Ketika aku masuk ke ruangannya   segera ia berdiri karena menghormatiku seraya langsung memelukku dan berkata kepadaku “ya”, aku menjawab: “ya”. Maka ia bertambah ceria  karena aku mengerti apa yang ia maksud. Kemudian aku merasakan sesuatu  yang membuat ia gembira dengan hal itu, aku berkata kepadanya “tidak”, maka ia langsung diam dan berubah warna  mukanya serta ragu-ragu dengan apa yang ia miliki.  Ia bertanya bagaimana aku bisa menemukan perkara tentang penyingkapan Ilahi dan emanasi Tuhan. Apakah Dia memberi kita  penglihatan itu, aku menjawab: “ya tidak”. .. Ia mengetahui apa yang aku isyaratkan kepadanya…[33]
Di antara orang suci yang ditemui Ibnu ‘Arabi adalah  adalah Syaikh Salih al-‘Adawi radiya Allahu ‘anhu. Kata Ibnu ‘Arabi aku bersahabat dengannya beberapa tahun, aku selalu hapal apa-apa yang ia ucapkan karena sedikitnya ia bicara. Ia mempunyai anak laki-laki yang selalu dekat dengannya  dan ia pun sering meramal hal-hal yang akan terjadi di masa mendatang dan aku pun dapat mengambil manfaat dari padanya. Pada suatu waktu ia menceritakan kepadaku perkara-perkara yang terkait dengan hak ku yang akan terjadi di masa mendatang, maka aku merasa ta’jub karena atas semuanya aku dapat melihatnya dan tidak ada satu perkara pun yang tidak tepat.
Di antara sufi besar yang Ibnu ‘Arabi  temui adalah Syaikh Abu al-Hajjaj Yusuf as-Sibli. Ibnu ‘Arabi berkata: Aku melihat dia banyak barkahnya  dan ia termasuk orang yang bisa berjalan di atas air. Tidaklah aku atau  siapapun yang masuk menemuinya kecuali aku mendapatinya sedang membaca al-Qur’an, ia tidak memegang apapun kecuali al-Qur’an.
Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Jumhur radiya Allahu ‘anhu termasuk sufi besar yang Ibnu ‘Arabi temui untuk mengambil barkahnya. Ibnu ‘Arabi berkata tentang pribadinya: “Ia adalah seorang manusia suci yang suka menghindar dari makhluk, menyukai bersmedi dan ‘uzlah, ia seorang yang wara’, zuhud, mengembara kepada Allah dan berada bersama Allah”.[34]
Pamannya sendiri, Syaikh Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin al-‘Arabi at-Ţāi, termasuk sufi besar yang sering ia kunjungi. Ibnu ‘Arabi berkata:  Pada suatu hari  aku masuk ke rumahnya dan duduk bersamanya, ia berkata: “Fajar telah terbit”. Aku bertanya kepadanya “Dari mana paman tahu tentang hal itu” ? Ia menjawab: “Anaku sesungguhnya Allah mengarahkan angin (udara) dari bawah ‘arasy melalui surga dan angin tersebut berhembus setiap kali fajar terbit dan hembusan wanginya dapat dicium oleh setiap orang yang beriman saban hari”.
Di antara sufi besar yang ia temui adalah Syaikh Abu Ahmad as-Salawi radiya Allahu ‘anhu, Ibnu ‘Arabi berkata: Abu Ahmad tiba di Seville dan pada saat itu aku sedang berada di bawah bimbingan guruku Abu Ya’qub. Keadaan Abu Ahmad rahimahu Allah adalah seorang sufi yang kuat keadaannya dan ia dekat dengan Abu Mudin. Seterusnya Ibnu ‘Arabi berkata: Aku tinggal sebulan penuh dengan Syaikh Ahmad as-Salawi di mesjid Ibnu Jarrad. Pada suatu malam aku bangun untuk salat malam lalu aku wudu dan pergi ke   lantai atas mesjid. Aku melihat Syaikh As-Salawi sedang tidur di dekat pintu atap mesjid, sedang cahaya memancar ke langit. Aku tertegun melihatnya dan aku tidak tahu apakah cahaya itu dari langit  yang turun kepadanya  atau justru dari Syaikh As-Salawi yang memancar  tembus ke langit. Aku terus-terus berdiri dan merasa ta’jub tentang keberadaannya hingga ia bangun kemudian  mengambil wudu dan berdiri untuk melakukan salat tahajjud. 
Di antara mereka yang sengaja ditemui Ibnu ‘Arabi, juga  tercatat As-Syaikh Abu Abdillah bin Zain di Sevilla. Tentang Syaikh tersebut, Ibnu ‘Arabi mengutarakan  bahwa dia adalah seorang ahli ijtihad, pekerja keras, sederhana dalam hidupnya, ia membaca al-Qur’an dan mempelajari ilmu nahwu di Masjid Al-‘Adis Sevilla, ia tidak pernah menaruh rasa dendam kepada siapapun. Ia mendalami banyak karya-karya Al-Gazali. Suatu malam ia membaca karangan Abu al-Qasim bin Ahmad yang menentang ajaran Al-Gazali. Kaget tiba-tiba matanya tak dapat melihat, segera ia bersujud kepada Allah, bersikap tadarru’ dan ia bersumpah bahwa ia tidak akan lagi membaca kitab-kitab  yang menentang ajaran Al-Gazali termaksud, seta merta tiba-tiba Allah mengembalikan  penglihatannya seperti semula.
Masih banyak lagi tokoh-tokoh sufi yang Ibnu ‘Arabi temui dan ia berguru kepada mereka  atau paling tidak Ibnu ‘Arabi bertabarruk kepada mereka sebagaimana yang terjadi dalam beberapa kasus, dan kelihatannya tidak mungkin semuanya penulis angkat dalam tulisan ini. Beberapa nama dapat disebut, misalnya, As-Syaikh Abu Muhammad Abdullah bin Ibrahim al-Maliki, Syaikh Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad bin Ţarif al-‘Abasi, Syaikh Abu al-Abbas bin Tājah, Syaikh Abu al-‘Ashi Abu Abdillah al-Bāji, Syaikh Abu Zakaria Yahya bin Hasan al-Husnā, Syaikh Abdussalam al-Aswad dan Syaikh Musa al-Mu’allim  juga Syaikh Abu Abdillah al-Murābiţi, Syaikh Maimun at-Tūnisī.
Ibnu ‘Arabi sangat senang berbicara  tentang komunikasinya dengan para nabi terdahulu dan ajaran-ajaran yang diterimanya dari mereka, ia mengutarakan:
Ketahuilah ketika kebenaran telah nampak padaku, dan diperlihatkan kepadaku para rasul dan para nabi  yang semuanya adalah manusia, dari mulai  Adam hingga Muhammad saw. Dalam sebuah penyaksian  yang pada waktu itu, aku sedang berada di Cordova tahun 586 H (1190 M.). Tidak seorang pun dari para nabi mengajakku berbicara  kecuali Nabi Hud as. Ia memberitahuku tentang perkumpulan mereka,  aku melihat sosok Nabi Hud   sangat bijaksana dalam setiap masalah serta mempunyai pengetahuan luas atas masalah-masalah termaksud. Sebagai bukti atas ke-kasyafan-nya terhadap masalah-masalah tersebut, firman Allah menyatakan: “Tidaklah suatu binatang melata pun kecuali Dia-lah yang memegang ubun-ubunya. Sesungguhnya Tuhanku ada  di atas jalan yang lurus”.  (Hud:  56). Penghargaan apa yang lebih mulia ketimbang ini[35]

 Berdasarkan perjalanan spiritual Ibnu ‘Arabi sebagaimana digambarkan dalam uraian di atas, nampaknya dapat dipormulasikan bahwa Ibnu ‘Arabi kecuali
lahir dari kalangan orang suci, hidup di tengah-tengah  keluarga suci, dan juga bersahabat dan mencintai orang-orang suci, juga sejak usia mudanya ia sudah mulai menampakkan kecenderungan terhadap spiritualitas Islam.  Dalam perjalanan mistiknya ia menempuh jalan yang sama sebagaimana yang dijalani sufi-sufi besar lainnya yakni menempuh  cara yang tidak keluar dari koridor syari’at yang dibangun di atas landasan ketaqwaan, memperbanyak melakukan sunat-sunat, meninggalkan rukhsah-rukhsah sebisa mungkin, mengendalikan nafsu yang ada dalam diri (mujāhadāt an-nafs), membersihkan  hati sehingga terpatri di dalamnya ilmu-ilmu dan ma'rifah ladunniyyah yang berkaitan dengan kehidupan dan proses kembali kepada Tuhan.
Ilmu yang paling mulia yang beliau ambil dari para sufi yang beliau temui dalam perjalanan spiritualnya adalah ilmu  yang berkaitan dengan Tuhan, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya sehingga dengan ilmu ini taklid dalam iman dibersihkan dan hasilah keyakinan  yang sempurna dalam ma’rifat kepada Tuhan.
Bagi Ibnu ‘Arabi,  kebahagiaan, berkaitan erat dengan iman dan ilmu yang sahih. Ilmu yang benar (sahih)  adalah ilmu yang tetap bersama  iman. Ilmu menyangkut hak makhluk meskipun baginya ada kemuliaan yang sempurna yang tidak diketahui kedudukannya, tetap dipandang tidak memberi kemuliaan dan taqarrub Ilahi kecuali jika dilandasi iman. Cahaya iman di dalam diri makhluk lebih mulia dari pada cahaya ilmu yang tidak ada imannya. Apabila iman dapat menghasilkan  ilmu maka cahaya ilmu yang dihasilkan dari cahaya iman lebih tinggi  dan dengannya seseorang akan memiliki kelebihan. Allah mengangkat derajat orang-orang yang diberi ilmu dari kalangan orang-orang beriman beberapa darajat atas orang-orang yang beriman yang tidak diberi ilmu. Dan yang dimaksud adalah ilmu yang berkaitan dengan ilmu tentang Tuhan Allah  (ma’rifatullah).

Keterangan: 

[23]  Yang dimaksud adalah bahwa Ibnu ‘Arabi mendapat ilmu ladunni . Ilmu ladunni ini, beliau peroleh setelah beliau melakukan riyādoh. Makanya ia berkata,   riyadohlah sebelum khalwat.
[24]    Muhammad Salim, Ta’yîd as-Sūfiyyah fi al-Majmū’āt al-Hātimiyyah, hal 32. 

[25] Tidak ada keterangan siapa Syaikh  Mursyid yang Ibnu ‘Arabi maksudkan. Kemungkinan adalah salah seorang mursyid dalam tarekat Qādiriyah, karena memang ada keterangan yang menyatakan bahwa tarekat yang menjadi pegangan keluarga Ibnu ‘Arabi adalah Qadiriyyah.
[26]    Ibrahim M Salim, Ta’yīd as-Sūfiyyah,   hal. 33.
[27]    Ibrahim M Salim, Ta’yīd as-Sūfiyyah,   hal. 33.
[28]    Ibrahim M Salim,  Ta’yîd as-Sûfiyyah,  hal. 34. 
[29]   Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt, juz. IV.  bab 558, hal. 197.
[30]    Kata “hāl, yang jama’nya “ahwāl”, menurut Ibnu Arabi adalah sesuatu yang datang ke dalam hati tanpa usaha dan kasb.  Dikatakan: Hāl dapat merubah sifat-sifat orang yang bersangkutan. Dan memang ahwāl, jama dari lafaz  hāl merupakan perolehan bukan hasil dari usaha. Sedangkan “maqām” adalah sesuatu yang diperoleh karena usaha. Maqamat secara terminologis adalah terpenuhinya hak-hak yang riel secara syara' dengan sempurna. Jika seorang salik melakukan mu'amalat, mujahadat, riyādoh sesuai dengan aturan syara’  secara sempurna dan optimal maka pada suatu waktu pelakunya akan sampai pada maqam tertentu dan disebutlah ia sebagai pemilik maqam. Adapun yang dimaksud tajalli, menurut Ibnu Arabi, adalah  sesuatu yang terbuka bagi hati-hati orang-orang tertentu berupa cahaya kegaiban. Keterbukaan dimaksud berbeda-beda; Di antaranya ada yang berkaitan dengan cahaya makna yang terbebas dari materi makrifat dan asrâr (rahasia). Di antaranya ada yang berkaitan dengan cahaya di atas cahaya. Di antaranya ada yang berkaitan dengan cahaya  ruh-ruh yaitu malaikat. Di antaranya ada yang berkaitan dengan cahaya angin, cahaya tabi’at, cahaya nama-nama  dan yang lainnya. Masing-masing cahaya termaksud jika terbit dari ufuk dan sesuai dengan mata hati yang selamat dari kebutaan, dan penyakit-penyakit hati yang lainnya maka dibukalah dengan semua cahaya itu apa yang terbuka kepadanya. Lalu karenannya ia dapat menentukan substansi setiap makna, ia dapat menentukan kaitan  makna-makna tadi dengan gambaran lapaz-lapaz dan kalimat-kalimat yang menunjukan atasnya. Yang dimaksud manzil dan munazzalah adalah dua eksistensi yang terbuka bagi keduanya susunan yang khas mengenai turunnya rahasia-rahasia  dan tempat-tempat turunnya bagi orang ‘arif. (Lihat: al-Futūhāt,  juz II, hal. 576  ). Lihat pula Mun’im al-Haqqāni,  kitab al-Mu’jam as-Sûfi, (Cairo: Dār ar-Rasyād, tahun 1997), hal. 413.
[31]    Muhammad Ibrahim, Ta’yîd as-Sûfiyyah,  hal. 44.
[32]    Muhammad Ibrahim, Ta’yid as-Sūfiyyah,  hal. 44.  
[33]   Ibnu ‘Arabi,  Fusūs al-Hikam, hal. 225.
[34]    Muhammad Ibrahim, Ta’yīd as-Sūfiyyah, hal.  47.
[35] Goldziher, Mazāhib at-Tafsīr, hal. 264.

(Dokumen Pemuda TQN Suryalaya News, sumber:  fsyariahiailm.blogspot.com/)

(BERSAMBUNG KE BAGIAN III)

Posting Komentar

 
Top