A'uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillaahir rahmaanir rahiim Wash-shalaatu
was-salaamu 'alaa asyrafil anbiyaai wal mursaliin,
Sayyidinaa Muhammadiw wa 'alaa aalihi wa Shahbihi ajma'iin
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali (w. 505 H.)
Hujjatul Islam, Abu Hamid al-Tusi al-Ghazali adalah orang yang membangkitkan kembali pemikiran Islam pada abad ke-5 H., seorang ahli ushul fikih, dan penulis kitab tasawuf paling terkenal yaitu Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama). Dalam otobiografinya, al-Munqizh min al-Dhalâl (Pembangkit dari Kesesatan), ia mengatakan, Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah…
Imam Alghazali , gambar: republika.co.id |
Aku simpulkan bahwa kaum sufi adalah para pencari di
Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka
adalah jalan yang terbaik, dan pola
hidup mereka adalah pola hidup yang paling tersucikan. Mereka telah
membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya
sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari
Allah.
Seperti disebutkan oleh Ibn Ajibah dalam kitabnya, Îqâzh al-Himam, al-Ghazali
menyatakan secara terbuka bahwa tasawuf merupakan fardu ain atas setiap muslim dan
muslimah yang telah mukalaf, “karena, selain para nabi, tak ada seorang pun
yang sama sekali terbebas dari kerusakan dan penyakit rohani.”
Berikut ini adalah terjemahan dari beberapa bagian kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn,
yang meliputi:
1. Ulasan terhadap beberapa definisi di awal Kitâb Syarh ‘Ajâ’ib al-Qalb (Kitab
Penjelasan tentang Keajaiban Hati)
2. Bab berjudul, “Tentara-Tentara Hati”
3. Bab berjudul, “Penguasaan Setan atas Hati melalui Bisikan (al-waswas)”
4. Bab berjudul, “Bukti-bukti …” dari Kitâb Riyâdhâh al-Nafs wa Tahdzîb
al-Akhlâq wa Mu‘âlajât Amrâdh al-Qalb (Kitab tentang Melatih Ego, Disiplin
Akhlak, dan Pengobatan Penyakit Hati).
Ada dua arti nafs: pertama, kata ini bermakna kekuatan amarah dan hasrat
seksual manusia… dan arti inilah yang sering dipergunakan di kalangan sufi,
yang mempergunakan kata nafs untuk menyebut berbagai sifat buruk seseorang.
Karena itulah mereka berkata, “Orang harus memerangi ego dan menghancurkannya,
sesuai dengan hadis Nabi saw., a‘dâ ‘aduwwika nafsaka al-latî bayna janibayk—“Musuhmu yang paling buruk adalah egomu yang terletak di antara
kedua sisi tubuhmu.” Hadis ini dapat ditemukan dalam Kitâb al-Zuhd (Kitab
tentang Zuhud) karya al-Baihaqi.
Kedua, kata nafs berarti jiwa, atau hakikat manusia, dirinya dan pribadinya.
Meski demikian, nafs dapat dikategorikan ke dalam beberapa kategori yang
berbeda sesuai dengan keadaannya. Jika ia tenang di bawah perintah dan telah
bersih dari segala gejolak nafsu maka ia disebut al-nafs al-muthma’innah (jiwa
yang tenang). Dalam pengertian yang pertama (amarah dan hasrat seksual), nafs
tidak mempertimbangkan akan kembali kepada Allah karena ia jauh dari-Nya; nafs sejenis ini termasuk dalam golongan setan.
Nafs yang tidak mencapai ketenangan, namun berusaha melawan kecintaan pada hawa
nafsu dan mencelanya, ia disebut al-nafs al-lawwâmah (jiwa yang mencela-diri). Ia
mencela pemilik nafs yang lalai beribadah kepada tuannya… Apabila ia
menghentikan celaan dan perlawanannya, kemudian sepenuhnya menaati panggilan hawa
nafsu dan setan, ia disebut al-nafs al-ammârah bi al-sû’i (jiwa yang menyuruh
kepada keburukan)… Jiwa semacam ini dapat dikategorikan ke dalam pengertian yang pertama Allah memiliki pasukan bersenjata yang Dia tempatkan dalam hati
dan jiwa dan di tempat-tempat lainnya di dunia-Nya. Tak seorang pun yang
mengetahui sifat sejati dan jumlah tepatnya mereka kecuali Dia … [Al-Ghazali
kemudian menerangkan bahwa anggota tubuh, panca indra, kehendak, insting, serta kekuatan emosi dan intelek termasuk
pasukan-Nya ini.]
Ketahuilah bahwa dua dari pasukan itu, yakni amarah dan hasrat seksual, dapat
dibimbing sepenuhnya oleh hati… atau
sebaliknya, sepenuhnya melawan dan memberontak, bahkan memperbudak hati. Pada
saat itulah terjadi kematian hati dan akhir perjalanan menuju kebahagiaan abadi. Hati punya tentara-tentara lain, termasuk pengetahuan
(‘ilm), kebijakan (hikmah), dan perenungan atau refleksi (tafakkur) yang
bantuannya sangat diharapkan oleh hati, karena mereka itu termasuk Golongan
Allah yang melawan kedua tentara golongan setan.
Allah berfirman, “Apakah kamu tidak melihat orang yang memilih hawa nafsunya
sendiri sebagai tuhannya?” (Q.S. al-Furqân [25]: 43), dan “Ia mengikuti hawa
nafsunya sendiri. Karena itu, perumpamaan mereka adalah seperti anjing; apabila
kamu mengusirnya, ia akan menjulurkan lidahnya dan apabila kamu biarkan, ia pun akan menjulurkan lidahnya” (Q.S.
al-A‘râf [7]: 176) dan mengenai orang yang mengendalikan dorongan nafsunya, Allah berfirman, “Dan
adapun orang yang takut berdiri di hadapan Tuhannya dan mencegah jiwanya dari
hawa nafsunya, sesungguhnya surga akan menjadi tempat tinggalnya” (Q.S.
al-Nâzi’ât [79]: 40–41).
Ketahuilah, tubuh itu seperti sebuah kerajaan, dan akal adalah rajanya. Semua
kekuatan, lahir maupun batin, adalah tentara dan pembantunya. Ego yang bergabung
dengan kejahatan (nafs ammârah), yaitu nafsudan amarah, adalah ibarat
pemberontak yang membuat kerusakan di kerajaan dan berusaha membantai penduduknya.
Karena itu, tubuh menjadi seperti pos garnizun atau pos pasukan terdepan, dan
jiwa seperti petugas penjaga yang ditempatkan di sana. Apabila ia berperang
melawan musuh-musuhnya, mengalahkan dan memaksa mereka mengikuti perintahnya,
ia akan mendapat pujian tatkala kembali ke Hadirat Allah, sebagaimana firman-Nya,
“Allah telah menganugerahkan derajat
lebih tinggi kepada orang-orang yang berjuang dengan harta dan jiwanya di atas
orang-orang yang duduk berdiam” (Q.S. al-Nisâ’ [4]: 95)
Ada dua jenis pikiran yang menggerakkan keinginan seseorang, yaitu pikiran yang
terpuji, yang disebut ilhâm, dan pikiran yang tercela, yang disebut waswas (bisikan).
Hati menjadi ajang perebutan antara kekuatan setan dan kekuatan malaikat…
Malaikat merupakan makhluk yang telah diciptakan Allah untuk menyebarkan
kebaikan, memberikan ilmu, menyingkap kebenaran, menjanjikan pahala, dan menyuruh
kepada kebaikan… Sedangkan setan adalah makhluk yang pekerjaannya melawan semua
ini … Waswâs melawan ilhâm, kekuatan setan melawan kekuatan malaikat, dan
taufîq (keberhasilan) melawan khidzlân (kekecewaan).
Nabi saw. bersabda, “Ada dua dorongan dalam jiwa, yaitu dorongan dari malaikat
yang mengajak kepada kebaikan dan mengokohkan kebenaran. Siapa saja yang mendapatkannya,
hendaklah ia mengetahui bahwa itu berasal dari Allah dan hendaklah ia memuji
kepada-Nya.
Dorongan lain berasal dari musuh yang menggiring kepada keraguan, mengingkari
kebenaran, dan melarang kebaikan; siapa saja yang mendapatkannya, hendaklah ia meminta
perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” Kemudian al-Ghazali
membaca ayat, “Setan membangkitkan rasa takut akan kemiskinan dan mengajakmu
bergabung dalam kejahatan” (Q.S. al-Baqarah [2]: 268).
Nabi saw. bersabda, “Tidak ada seorang pun di antara kalian yang bersih dari
dorongan setan.” Mereka berkata, “Bahkan engkau juga, wahai Rasulullah saw?” Beliau
berkata, “Bahkan diriku juga, tetapi Allah membantuku untuk menguasainya dan ia
telah tunduk patuh kepadaku sehingga ia tidak menyuruhku selain kepada
kebaikan” Perseteruan antara tentara malaikat dan setan berjalan terus-menerus
untuk menguasai hati hingga hati ditundukkan oleh salah satu dari keduanya, yang kemudian menguasai
penduduknya dan bercokol di sana… Sayangnya, kebanyakan hati dikepung oleh
tentara setan, yang mencekokkan berbagai bisikan yang mengajak manusia untuk
mencintai dunia yang fana ini dan mengabaikan hari akhirat.
Nabi saw. bersabda, “Pejuang sejati adalah orang yang berjuang melawan egonya
untuk menaati Allah” (al-mujâhidu man jâhada nafsahû fî thâ’atillâh.)…. Sufyan
al-Tsauri berkata, “Aku tidak pernah melawan sesuatu yang lebih kuat daripada
egoku sendiri; kadang ia bersamaku, dan kadang melawanku….” Yahya ibn Muadz al-Razi
berkata, “Perangilah egomu dengan empat bilah pedang: sedikit makan, sedikit
tidur, sedikit bicara, dan sabar ketika seseorang menjahatimu...
Dengan begitu, egomu akan menapaki jalan ketaatan,
seperti seorang penunggang kuda yang melaju di medan perang.”
(InsyaAllah bersambung ke bagian II)
sumber:petikan
artikel mengenai Imam Ghazali dari buku Encyclopaedia of Islamic Doctrine Vol 5: Self-Purification and the
State of Excellence karya Syekh Muhammad Hisyam Kabbani ar-Rabbani .
Posting Komentar
Posting Komentar