(sambungan dari bagian Ke-44) | AJARAN KEEMPATPULUH LIMA | SAYYIDI SYEIKH ABDUL QODIR AL-JAELANI
QS. BERKATA :
Ketahuilah bahwa ada dua macam manusia. Yang pertama ialah manusia yang
dikaruniai kebaikan-kebaikan duniawi. Yang kedua ialah manusia yang diuji
dengan ketentuan-Nya. Manusia yang mendapatkan kebaikan duniawi, tidak bebas
dari noda dosa dan kegelapan dalam menikmati yang mereka dapatkan itu.
Manusia semacam itu bermewah-mewah dengan karunia duniawi ini. Bila ketentuan
Allah datang, yang menggelapi sekitarnya melalui aneka musibah yang berupa
penyakit, penderitaan, kesulitan hidup, sehingga ia hidup sengsara, dan tampak
seolah-olah ia tidak pernah menikmati sesuatu pun. Ia lupa akan kesenangan dan
kelezatannya. Dan jika kecerahan menimpanya, maka seolah-olah ia tidak pernah
mengalami musibah. Sedang jika ia mengalami musibah, maka seolah-olah tiada
kebahagiaan. Semua ini disebabkan oleh pengabdian terhadap Tuhannya.
Nah, jika ia telah tau bahwa Tuhannya sepenuhnya bebas bertindak sekehendak-Nya,
mengubah, memaniskan, memahitkan, memuliakan, menghinakan, menghidupkan,
mematikan, memajukan dan memundurkan - jika ia telah tau semua ini, maka ia
tidak merasa bahagia di tengah-tengah kebahagiaan duniawi dan tidak
merasa bangga karenanya, juga tidak berputus asa akan kebahagiaan di kala duka.
Perilaku salahnya ini disebabkan juga oleh ketaktahuannya akan dunia ini, yang
sebenarnya tempat ujian, kepahitan, kejahilan, kepedihan dan kegelapan. Jadi
kehidupan duniawi itu bak pohon gaharu, yang rasa pertamanya pahit, sedang rasa
akhirnya manis seperti madu, dan tiada seorang pun dapat merasakan manisnya,
sebelum ia merasakan pahitnya. Tidak seorang pun dapat mengecap madunya,
sebelum ia tabah atas kepahitannya. Maka, barangsiapa tabah atas cobaan-cobaan
duniawi, maka ia berhak mengecap rahmat-Nya.
Tentu, seorang pekerja mesti diberi upah setelah keningnya berkeringat, tubuh
dan jiwanya letih. Maka, bila orang telah merasa semua kepahitan ini, maka
datang kepadanya makanan dan minuman lezat, pakaian yang bagus dan kesenangan
meski sedikit. Jadi, dunia adalah sesuatu, yang bagian pertamanya ialah
kepahitan, bagai pucuk madu di sebuah bejana yang berbaur dengan kepahitan,
sehingga si pemakan tidak mungkin mencapai dasar bejana, dan yang dimakannya hanyalah
madu murninya sampai ia mengecap pucuknya.
Nah, bila hamba Allah telah berupaya keras menunaikan perintah Allah, Yang Maha
kuasa lagi Maha agung, menjauh dari larangan-Nya, dan pasrah kepada-Nya, maka
bila ia telah merasa kepahitannya, menahan bebannya, berupaya melawan
kehendaknya sendiri dan mencampakkan maksud-maksud pribadinya, maka Allah
mengurniainya, sebagai hasil dari ini, kehidupan yang baik, kesenangan,
kasih-sayang dan kemuliaan. Maka menjadilah Ia walinya dan menyuapinya persis
seperti seorang bayi yang disuapi, yang tidak berdaya, yang tidak berupaya
keras di dunia dan di akhirat, yang juga seperti pemakan pucuk pahit madu yang
mengecap dengan lahapnya bagian bawah isi bejana. Nah, patutlah bagi sang hamba
yang telah dikaruniai oleh Allah, untuk tidak merasa aman dari cobaan-Nya,
untuk tidak merasa yakin akan kekekalannya, agar tidak lupa bersyukur atasnya.
Nabi Suci saw. berkata:
"Kebahagiaan duniawi merupakan sesuatu yang ganas; maka jinakkanlah ia
dengan kesyukuran."
Jadi, mensyukuri rahmat berarti mengakui sang Pemberinya, Yang Maha pemurah,
yaitu Allah, senantiasa mengingatnya, tidak mengklaim atas-Nya, tidak
mengabaikan perintah-Nya, dan diiringi dengan penunaian kewajiban terhadap-Nya,
yakni mengeluarkan zakat, membersihkan diri, bersedekah, berkorban sebagai
nazar, meringankan beban penderitaan kaum lemah dan membantu mereka yang
memerlukan , yang mengalami kesulitan dan yang keadaannya berubah dari baik
menjadi buruk, yaitu, yang masa-masa bahagia dan harapannya telah berubah menjadi
kedukaan. Bersyukurnya anasir tubuh atas rahmat berupa digunakannya anasir
tubuh itu untuk menunaikan perintah-perintah Allah dan mencegah diri dari
hal-hal yang haram, dari kekejian dan dosa.
Inilah cara melestarikan rahmat, mengairi tanamannya dan memacu tumbuhnya dahan
dan dedaunannya; mempercantik buahnya, memaniskan rasanya, memudahkan
penelanannya, mengenakkan pemetikannya dan membuat rahmatnya mewujud di seluruh
organ tubuh lewat berbagai tindak kepatuhan kepada-Nya, seperti lebih
mendekatkan diri kepada-Nya dan senantiasa mengingat-Nya, yang kemudian
memasukkan sang hamba, di akhirat, ke dalam kasih-sayang-Nya, Yang Maha kuasa
lagi Maha agung, dan menganugerahinya kehidupan abadi di taman-taman syurga
bersama dengan para Nabi Suci, shiddiq, syahid dan shalih - inilah suatu
kebersamaan yang indah.
Namun, jika tak berlaku begini, mencintai keindahan lahiriah kehidupan semacam
itu, asyik menikmatinya dan puas dengan gemerlapnya fatamorgananya, yang
kesemuanya bagai hembusan sepoi angin dingin di pagi musim panas, dan bagai
lembutnya kulit naga dan kalajengking; dan menjadi lupa akan bisa mautnya dan
tipuannya - kesemuanya ini akan menghancurkannya - orang seperti itu mesti
diberi berita gembira tentang penolakan, kehancuran yang segera, kehinaan di dunia
ini dan siksaan kelak dalam api neraka nan abadi.
Cobaan atas manusia - kadang berupa hukuman atas pelanggaran terhadap hukum dan
atas dosa yang telah diperbuatnya. Kadang berupa pembersihan noda, dan kadang
pula berupa pemuliaan maqam rohani manusia, yang baginya rahmat Tuhan semesta
terkaruniakan sebelumnya, yang melalukannya dari bencana dengan kelembutan,
sebab cobaan semacam itu tidak dimaksudkan untuk menghancurkan dan
mencampakkannya ke dasar neraka, tapi, dengan begini, Allah mengujinya untuk dipilih
dan mewujudkan darinya hakikat iman, mensucikannya dan bersih dari kesyirikan,
kebanggaan diri, kemunafikan, dan membuat karunia, sebagai pahala baginya, dari
berbagai pengetahuan, rahasia dan nur.
Nah, bila orang ini menjadi bersih rohani dan jasmani, dan hatinya menjadi
suci, berarti Ia telah memilihnya di dunia ini dan di akhirat - di dunia ini
yakni melalui hatinya, sedang di akhirat yakni melalui jasmaninya. Maka segala
bencana menjadi pencuci noda kesyirikan dan pemutus hubungan dengan manusia, sarana
duniawi dan dambaan-dambaan, dan menjadi pelebur kesombongan, ketamakan dan
harapan akan imbalan syurga atas penunaian perintah-perintah.
Cobaan yang berupa hukuman menunjukkan adanya kekurang sabaran atas
cobaan-cobaan ini, dengan mengaduh dan mengeluh kepada orang. Cobaan yang
berupa penyucian dan penyirnaan kelemahan menunjukkan maujudnya kesabaran,
ketak-mengeluhan kepada sahabat dan tetangga, penunaian perintah-perintah,
ketak engganan dan kepatuhan. Cobaan yang berupa pemuliaan maqam menunjukkan
adanya keridhaan, kedamaian dengan kehendak Allah, Tuhan bumi dan langit, dan
penafian diri sepenuhnya dalam cobaan ini, hingga saat berlalunya.
INSYA
ALLAH BERSAMBUNG KE BAGIAN KE-46
Posting Komentar
Posting Komentar