Sistematika
Sumber Hukum Islam dan Sistem Istinbath Imam Syafi’i
Biografi Imam Syafi’i
a. Awal Kehidupan
Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin
Syafi’i, nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah SAW pada kakeknya Abdul
Manaf.Imam Syafi’i lahir pada bulan Rajab pada tahun 150 H. di Gaza, tidak lama
kelahiran beliau, ayah beliau wafat. Ibu beliau bernama Fatimal al-Azdiyah,
salah satu kabilah di Yaman. Imam Syafi’i kecil memiliki kecerdasan yang
mengagumkan serta kecepatan hapalan yang luar biasa. Beliau pernah berkata:
“Saat aku di kuttab, aku mendengar guruku mengajar ayat-ayat Alquran, maka aku
langsung menghapalkan, apabila dia mendiktekan sesuatu. Belum selesai guruku
membacakannya kepada kami, aku telah menghafal seluruh apa yang didiktekannya.
Maka dia berkata kepadaku suatu hari: Demi allah, aku tidak pantas mengambil
bayaran dari kamu sesen pun”. Imam Syafi’i amat gemar mengembara, khususnya bertujuan
menuntut ilmu. Beliau pindah ke Madinah untuk belajar fikih kepada Imam Malik,
pada usia dua puluh tahun sampai Imam Malik meninggal pada tahun 179 H. pada
tahun 184 H, Khalifah Harun Al-Rasyid memerintahkan Imam Syafi’i didatangkan ke
Baghdad bersama sembilan orang lainnya atas tuduhan menggulingkan pemerintahan.
Namun beliau dapat lepas dari tuduhan itu atas bantuan Muhammad Ibn al-Hasan
Al-Syaibani, murid dan teman Imam Hanafi, yang kemudian hari menjadi guru
beliau. Tak lama berada di Baghdad, Imam Syafi’i kembali ke Mekkah
al-Mukarramah, dengan membawa ilmu ahl ra’yu, yang dia peroleh dari Muhammad
bin al-Hasan al-Syaibani, yang bersinergi dengan ilmu ahl Hijaz, yang diperoleh
dari Imam Malik. Pada tahun 195 H, beliau kembali ke Baghdad yang bertujuan
untuk berdiskusi tentang fikih. Tidak lama di Baghdad, beliau melanjutkan
perjalanan ke Mesir dan tiba di Mesir pada bulan Syawal tahun 199 H. tak lama
setelah tinggal di Mesir, tepatnya tahun 2004 204 H, beliau menghembuskan nafas
terakhirnya. Konon beliau sebelum wafat menderita penyakit wasir yang parah,
hingga terkadang jika naik kuda, darahnya mengalir mengenai celananya bahkan
mengenai pelana dan kaos kakinya. Beliau rela menanggung sakit demi ijtihadnya
yang baru di Mesir. Selain itu, beliau terus mengajar, meneliti, dialog serta
mengkaji baik siang maupun malam.
b. Guru-Guru Imam Syafi’i
Imam Syafi’i merupakan ulama sintesis yang beraliran antara ahl ra’yu dan ahl
hadis (Kufah dan Madinah), di Kufah Imam Syafi’i menimba ilmu kepada Muhammad
Ibn al-Hasan al Syaibani yang merupakan murid sekaligus sahabat dari Imam
Hanafi. Sedangkan di Madinah, beliau belajar kepada Imam Malik, beliau (Imam
Malik) dikenal dengan sebutan ahl Hadis. Selain itu, beliau juga berguru kepada
ulama-ulama di Yaman, Mekah dan Madinah. Adapun ulama Yaman yang menjadi guru
Imam Syafi’i yaitu :
1) Mutharaf Ibn Mazim
2) Hisyam Ibn Yusuf
3) ‘Umar Ibn Abi Salamah
4) Yahya Ibn Hasan
Adapun selama tinggal di Mekkah, Imam Syafi’i belajar kepada beberapa ulama
antara lain:
1) Sufyan Ibn ‘Uyainah
2) Muslim Ibn Khalid al-Zauji
3) Sa’id Ibn Salim al-Kaddah
4) Daud Ibn ‘Abdurrahman al-’Aththar
5) ‘Abdul Hamid ‘Abdul aziz Ibn Muhammad ad-Dahrawardi
6) Ibrahim Ibn Abi Sa’id Ibn Abi Fudaik
7) ‘Abdullah Ibn Nafi’.
Selain dua fikih di atas (aliran ra’yu dan hadis), Imam Syafi’i juga belajar
fikih aliran al-Auza’i dari ‘Umar Ibn Abi Salamah dan fikih al-Laits dari Yahya
Ibn Hasan.
c. Murid-Murid Imam Syafi’i
Imam Syafi’i mempunyai banyak murid alam meneruskan kajian fikih dalam
alirannya. Yang paling berperan dalam pengembangan aliran fikih Imam Syafi’i
ini antara lain :
1. Al-Muzani
Nama asli beliau Abu Ibrahim Ismail Ibn Yahya al-Muzani al-Misri yang lahir
pada tahun 185 H serta menjadi besar dalam menuntut ilmu dan periwayatan hadis.
Saat Imam Syafi’i datang ke Mesir pada tahun 1994, al-Muzani menemuinya dan
belajar fikih kepadanya. Al-Muzani dianggap orang yang paling pandai, serdas
serta yang paling banyak menyusun kitab untuk mazhabnya. Beliau meninggal pada
tahun 264 H. adapun kitab karangan beliau antara lain al-Jami’ al-Kabīr,
al-Jami’ aş-Şagir, serta yang terkenal al-Mukhtaşar aş-Şagir.
2. Al-Buwaiti
Nama beliau adalah Abu Ya’qub Yusuf Ibn Yahya al-Buwaiti, yang berasal dari
Bani Buwait kampung di Tanah Tinggi Mesir. Beliau adalah murid sekaligus
sahabat Imam Syafi’i yang tertua bekebangsaan Mesir dan pengganti atau penerus
Imam Syafi’i, sepeninggalnya.beliau belajar fikih dari Imam Syafi’i dan
mengambil hadis darinya pula serta dari Abdullah bin Wahab dan dari yang
lainnya. Imam Syafi’i merupakan sandarannya dalam berfatwa serta pengaduannya
apabila diberikan satu masalah padanya. Beliau selalu menghidupkan malam dengan
membaca Alquran dan shalat serta selalu menggerakkan kedua bibirnya dengan
berdzikir kepada Allah. Beliau wafat pada tahun 231 H. di dalam penjara
Baghdad, karena tidak menyetujui paham Mu’tajilah yang merupakan paham resmi
negara saat itu, tentang kemakhlukan Alquran. Beliau menghimpun kitab al-fiqh,
al-Mukhtaşar al-Kabīr, al-Mukhtaşar aş-Şagir dan al-Fara’id dalam aliran Imam
Syafi’i menjadi satu.
Selain mereka berdua, murid-murid Imam Syafi’i yang lain, yaitu ar-Rabi’ Ibn
Sulaiman al-Marawi, ‘Abdullah Ibn Zubair al-Hamidi. Abu Ibrahim, Yunus Ibn
Abdul a’la as-Sadafi, Ahmad Ibn Sibti, Yahyah Obn Wazir al-Misri, Harmalah Ibn Yahya
Abdullah at-Tujaidi, Ahmad Ibn Hanbal, Hasan Ibn ‘Ali al-Karabisi, Abu Saur
Ibrahim Ibn Khalid Yamani al-Kalbi serta Hasan Ibn Ibrahim Ibn Muhammad
as-Sahab az-Za’farani.
Secara sederhana, dalil-dalil hukum yang digunakan Imam Syafi’i dalam Istinbāţ hukum,
antara lain :
1. Alquran dan sunnah ; 2. Ijmak ; 3. Menggunakan al-Qiyas dan at-Takhyir bila menghadapi ikhtilaf.
Sedangkan manhaj atau langkah-langkah ijtihad Imam Syafi’i, seperti yang
dikutip DR. Jaih Mubarok dari Ahmad Amin dalam kitabnya Duha al-Islam, yaitu
sebagai berikut : rujukan pokok adalah Alquran dan sunnah. Apabila suatu
persoalan tidak diatur dalam Alquran dan sunnah, hukumnya ditentukan dengan
qiyas. Sunnah digunakan apabila sanadnya sahih. Ijmak diutamakan atas khabar
mufrad. Makna yang diambil dari hadis adalah makna zahir. Apabila suatu lafaz
ihtimal (mengandung makna lain), maka makna zahir lebih diutamakan.hadis
munqati’ ditolak kecuali jalur Ibn Al-Musayyab. As-Asltidak boleh diqiyaskan
kepada al-asl. Kata “mengapa” dan “bagaimana” tidak boleh dipertanyakan kepada
Alquran dan sunnah, keduanya dipertanyakan hanya kepada al-Furu’
Menurut Rasyad Hasan Khalil, dalam istinbath hukum Imam Syafi’i menggunakan
lima sumber, yaitu:
1. Nash-nash
baik Alquran dan sunnah yang merupakan sumber utama bagi fikih Islam, dan
selain keduanya adalah pengikut saja. Para sahabat terkadang sepakat atau
berbeda pendapat, tetapi tidak pernah bertentangan dengan Alquran atau sunnah.
2. Ijmak
merupakan salah satu dasar yang dijadikan hujjah oleh imam Syafi’i menempati
urutan setelah Alquran dan sunnah. Beliau mendefinisikannya sebagai kesepakatan
ulama suatu zaman tertentu terhadap satu masalah hukum syar’i dengan bersandar
kepada dalil. Adapun ijmak pertama yang digunakan oleh imam Syafi’i adalah
ijmaknya para sahabat, beliau menetapkan bahwa ijmak diakhirkan dalam berdalil
setelah Alquran dan sunnah. Apabila mmasalah yang sudah disepakati bertentangan
dengan Alquran dan sunnah maka tidak adahujjah padanya.
3. Pendapat para sahabat.
Imam Syafi’i membagi pendapat sahabat kepada tiga bagian. Pertama, sesuatu yang
sudah disepakati, seperti ijmak mereka untuk membiarkan lahan pertanian hasil
rampasan perang tetap dikelola oleh pemiliknya. Ijmak seperti ini adalah hujjah
dan termasuk dalam keumumannya serta tidak dapat dikritik. Kedua, pendapat
seorang sahabat saja dan tidak ada yang lain dalam suatu masalah, baik setuju
atau menolak, maka imam Syafi’i tetap mengambilnya. Ketiga, masalah yang mereka
berselisih pendapat, maka dalam hal ini imam Syafi’i akan memilih salah satunya
yang paling dekat dengan Alquran, sunnah atau ijmak, atau mrnguatkannya dengan
qiyas yang lebih kuat dan beliau tidak akan membuat pendapat baru yang
bertentangan dengan pendapat yang sudah ada.
4. Qiyas.
Imam Syafi’i menetapkan qiyas sebagai salah satu sumber hukum bagi syariat
Islam untuk mengetahui tafsiran hukum Alquran dan sunnah yang tidak ada nash
pasti. Beliau tidak menilai qiyas yang dilakukan untuk menetapkan sebuah hukum
dari seorang mujtahid lebih dari sekedar menjelaskan hukum syariat dalam
masalah yang sedang digali oleh seorang mujtahid.
5. Istidlal. Imam Syafi’i memakai jalan istidlal dalam menetapkan hukum,
apabila tidak menemukan hukum dari kaidah-kaidah sebelumnya di atas. Dua
sumberistidlal yang diakui oleh imam Syafi’i adalah adat istiadat (‘urf) dan
undang-undang agama yang diwahyukan sebelum Islam (istishab). Namun begitu,
kedua sumber ini tidak termasuk metode yang digunakan oleh imam Syafi’i sebagai
dasar istinbath hukum yang digunakan oleh imam Syafi’i.[12]
6. Kaul Qadim dan Kaul Jadid.
Ulama membagi pendapat imam Syafi’i menjadi dua, yaitu Kaul Qadim dan Kaul
Jadid. Kaul Qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di
Irak. Sedangkan Kaul Jadid adalah pendapat imam Syafi’i yang dikemukakan dan
ditulis di Mesir. Di Irak, beliau belajar kepada ulama Irak dan banyak
mengambil pendapat ulama Irak yang termasuk ahl al-ra’y. Di antara ulama Irak
yang banyak mengambil pendapat imam Syafi’i dan berhasil dipengaruhinya adalah
Ahmad bin Hanbal, al-Karabisi, al-Za’farani, dan Abu Tsaur. Setelah tinggal di
Irak, imam Syafi’i melakukan perjalanan ke Mesir kemudian tinggal di sana. Di
Mesir, dia bertemu dengan (dan berguru kepada) ulama Mesir yang pada umumnya
sahabat imam Malik. Imam Malik adalah penerus fikih Madinah yang dikenal
sebagai ahl al-hadits. Karena perjalanan intelektualnya itu, imam Syafi’i
mengubah beberapa pendapatnya yang kemudian disebut Kaul Jadid. Dengan
demikian, Kaul Qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang bercorak ra’yu,
sedangkan Kaul Jadid adalah pendapatnya yang bercorak sunnah.
Beberapa contoh pendapat Kaul Qadim dan Kaul Jadid antara lain:
a. Air yang terkena najis.
Kaul Qadim: air yang sedikit dan kurang dari dua kullah, atau kurang dari
ukuran yang telah ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajjis selama air itu
tidak berubah.
Kaul Jadid: air yang sedikit dan kurang dari dua kullah, atau kurang dari
ukuran yang telah ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajjis apakah air itu
berubah atau tidak.
b. Zakat buah-buahan.
Kaul Qadim: wajib mengeluarkan zakat buah-buahan, walaupun yang tidak tahan
lama.
Kaul Jadid: tidak wajib mengeluarkan zakat buah-buahan yang tidak tahan lama.
c. Membaca talbiyah dalam thawaf.
Kaul Qadim: sunat hukumnya membaca talbiyah dalam melakukan thawaf. Kaul Jadid:
tidak sunat membaca talbiyah dalam melakukan thawaf.
InsyaAllah bersambung ke bagian V
InsyaAllah bersambung ke bagian V
Sumber :
DAFTAR PUSTAKA
Yanggo, Huzaemah Tahido, Dr. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Prof. Dr. 1980. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hanafi, Ahmad, MA. 1995. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Haswir, MAg. dan Muhammad Nurwahid, MAg. 2006. Perbandingan Mazhab, Realitas Pergulatan Pemikiran Ulama Fiqih. Pekanbaru: Alaf Riau.
M. Zein, Satria Effendi, Prof. Dr. H. MA. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana.
Mubarok, Jaih, Dr. 2002. Modifikasi Hukum Islam: Studi Tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Prof. Dr. 1980. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hanafi, Ahmad, MA. 1995. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Haswir, MAg. dan Muhammad Nurwahid, MAg. 2006. Perbandingan Mazhab, Realitas Pergulatan Pemikiran Ulama Fiqih. Pekanbaru: Alaf Riau.
M. Zein, Satria Effendi, Prof. Dr. H. MA. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana.
Mubarok, Jaih, Dr. 2002. Modifikasi Hukum Islam: Studi Tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Posting Komentar
Posting Komentar