(Gambar di atas: Peta Daerah Di Dunia Yang Menggunakan 4 Madzhab) |
Sistematika
Sumber Hukum Islam dan Sistem Istinbath Imam Malik
Biografi Imam Malik
a. Awal kehidupan
Nama lengkap beliau adalah Imam Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir
al-asybahi al-‘araby al-Yamaniyah, lahir di Madinah pada tahun 93 H (712 M).
Ayahnya berasal dari kabilah Dzi Ashbah yang ada di Yaman, dan ibunya bernama
‘Aliyah binti syuraik dari kabilah Azdi. Kakek imam Malik datang berhijrah ke
negeri Madinah setelah Rasulullah wafat, beliau merupakan seorang pembesar
tabi’in, banyak meriwayatkan hadis dari sahabat, seperti Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan, Thalhah bin ‘Ubaidillah, dan ‘Aisyah. Imam malik tidak pernah
meninggalkan kota Madinah, kecuali untuk menunaikan ibadah haji sampai beliau
wafat pada tanggal 14 Rabi’ul Awal tahun 179 H dalam usia 87 tahun.
b. Guru-guru Imam Malik
Imam malik mendapatkan ilmu fiqh dan sunnah dari para gurunya, diantaranya
Abdurrahman bin Hurzum, Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-zuhry, Abu Az-zanad,
Abdullah bin Dzakwan, Yahya bin Sa’id, dan Rabi’ah bin Abdirrahman.
c. Murid-murid Imam Malik
Banyak murid Imam Malik yang menjadi ulama terkenal pada masa sesudahnya.
Berikut ini adalah murid-muridnya yang menjadi fuqaha dan ahli hadits:
Yang berasal dari Mesir antara lain: Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim
Al-Quraisyi, Abu Abdillah bin Qosim Al-A’taqi, Asyhab bin Abdul Aziz Al-Qoisy
Al-A’miry Al-ja’dy, Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam bin A’yun bin
Al-Laits, Ashbah bin Alfaraj Al-Amawi, Muhammad bin Abdul Hakam, Muhammad bin
Ibrahim bin Ziyad Al-Iskandari Al-Ma’ruf bin ibni Mawaz.
Yang berasal dari afrika dan Andalusia (spanyol) antara lain: Abu Abdillah
Ziyad bin Abdurrahman Al-Qurthubi Al-Ma’ruf bisyabtun, I’sa bin Dinar
Al-Andalusi, Yahya bin Yahya bin Katsir Al-Laitsi, Abdul Malik bin Habib bin
Sulaiman As-Salami.
Adapun sumber
hukum Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam adalah berpegang pada:
a. Al-Qur’an
Dalam memegang Al-Qur’an ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas zahir
nash Al-Qur’an atau keumumannya, meliputi mafhum al-Mukhalafah dan mafhum
al-Aula dengan memperhatikan ‘illatnya.
b. Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara
yang dilakukannya dalam berpegang kepada Al-Qur’an. Apabila dalil syar’iy menghendaki
adanya penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil tersebut.
Apabila terdapat pertentangan antara makna zahir Al-Qur’an dengan makna yang
terkandung dalam sunnah, maka yang dipegang adalah makna zahir Al-Qur’an.
Tetapi apabila makna yang dikandung oleh sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’
ahl Al-Madinah, maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah
dari pada zahir Al-Qur’an (sunnah yang dimaksud disini adalah sunnah mutawatir
atau masyhurah).
c. Ijma’ Ahl al-Madinah
Ijma’ ahl al-Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma’ ahl al-Madinah yang asalnya
dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil ijtihad ahl
al-Madinah. Ijma’ semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.
Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Huzaemah T. Yanggo, yang
dimaksud dengan ijma’ ahl al-Madinah tersebut ialah ijma’ ahl al-Madinah pada
masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi SAW.
Sedangkan kesepakatan ahl al-Madinah yang hidup kemudian, sama sekali bukan
merupakan hujjah. Ijma’ ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql, sudah
merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin sebagai hujjah.
Dikalangan mazhab Maliki, ijma’ ahl al-Madinah lebih diutamakan dari pada
khabar ahad, sebab ijma’ ahl al-Madinah merupakan pemberitaan oleh jama’ah,
sedang khabar ahad hanya merupakan pemberitaan perseorangan.
d. Fatwa Sahabat
Yang dimaksud dengan Sahabat disini adalah sahabat besar, yang pengetahuan
mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al-Naql. Ini berarti bahwa
yang dimaksud dengan fatwa sahabat itu adalah berwujud hadits-hadits yang wajib
diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat besar itu tidak akan memberi fatwa,
kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah SAW. Namun demikian, beliau
mensyaratkan bahwa fatwa sahabat tersebut tidak boleh bertentangan dengan
hadits marfu’ yang dapat diamalkan dan fatwa sahabat yang demikian ini lebih
didahulukan dari pada Qiyas.
e. Khabar Ahad dan Qiyas
Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari
Rasulullah, jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal
oleh masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil istinbath, kecuali khabar
ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang qath’iy. Dalam menggunakan khabar
ahad ini, Imam Malik tidak selalu konsisten. Kadang-kadang ia mendahulukan
qiyas dari pada khabar ahad. Kalau khabar ahad itu tidak dikenal atau tidak
populer di kalangan masyarakat Madinah, maka hal ini dianggap sebagai petunjuk,
bahwa khabar ahad tersebut tidak benar berasal dari Rasulullah SAW. Dengan
demikian, maka khabar ahad tersebut tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi
ia menggunakan qiyas dan mashlahah.
f. Al-Istihsan
Menurut mazhab Maliki, al-Istihsan adalah: “Menurut hukum dengan mengambil
maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh)
dengan maksud mengutamakan al-istidlal al-Mursal dari pada qiyas, sebab
menggunakan istihsan itu,tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan
perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat
syara’ secara keseluruhan”. Dari ta’rif tersebut, jelas bahwa istihsan lebih
mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan
dalil kully atau dalil yang umum atau dalam ungkapan yang lain sering dikatakan
bahwa istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang dianggap lebih
kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan. Artinya jika terdapat satu
masalah yang menurut qiyas semestinya diterapkan hukum tertentu, tetapi dengan
hukum tertentu itu ternyata akan menghilangkan suatu mashlahah atau membawa
madharat tertentu, maka ketentuan qiyas yang demikian itu harus dialihkan ke
qiyas lain yang tidak akan membawa kepada akibat negatif. Tegasnya, istihsan
selalu melihat dampak suatu ketentuan hukum. Jangan sampai suatu ketentuan
hukum membawa dampak merugikan. Dampak suatu ketentuan hukum harus mendatangkan
mashlahat atau menghindarkan madharat.
g. Al-Mashlahah Al-Mursalah
Maslahah Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara
tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nash. Dengan demikian, maka
maslahah mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan syari’at diturunkan.
Tujuan syari’at diturunkan dapat diketahui melalui Al-Qur’an, sunnah atau
ijma’.
Para ulama yang berpegang kepada maslahah mursalah sebagai dasar hukum,
menetapkan beberapa syarat untuk dipenuhi sebagai berikut:
• Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah menurut penelitian yang
seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja.
• Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum, bukan
sekedar maslahah yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu.
• Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum dan
tidak bertentangan dengan ketentuan nash atau ijma’.
h. Sadd Al-Zara’i
Imam Malik menggunakan sadd al-Zara’i sebagai landasan dalam menetapkan hukum.
Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau
terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang
menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya.
i. Istishhab
Imam Malik menjadikan istishhab sebagai landasan dalam menetapkan hukum.
Istishhab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang
akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau.
Jadi sesuatu yang telah dinyatakan adanya, kemudian datang keraguan atas
hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya tersebut, hukumnya tetap seperti
hukum pertama, yaitu tetap ada. Begitu pula sebaliknya.
j. Syar’u Man Qablana
Menurut Qadhy Abd. Wahab al-Maliky, bahwa Imam Malik menggunakan kaedah syar’u
man qablana syar’un lana, sebagai dasar hukum. Tetapi menurut Sayyid Muhammad
Musa, tidak kita temukan secara jelas pernyataan Imam Malik yang menyatakan
demikian. Menurut Abd. Wahab Khallaf, bahwa apabila Al-Qur’an dan sunnah
shahihah mengisahkan suatu hukum yang pernah diberlakukan buat umat sebelum
kita melalui para Rasul yang diutus Allah untuk mereka dan hukum-hukum tersebut
dinyatakan pula di dalam Al-Qur’an dan sunnah shahihah, maka hukum-hukum
tersebut berlaku pula buat kita.
InsyaAllah bersambung ke bagian keempat
Sumber :
DAFTAR PUSTAKA
Yanggo, Huzaemah Tahido, Dr. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Prof. Dr. 1980. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hanafi, Ahmad, MA. 1995. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Haswir, MAg. dan Muhammad Nurwahid, MAg. 2006. Perbandingan Mazhab, Realitas Pergulatan Pemikiran Ulama Fiqih. Pekanbaru: Alaf Riau.
M. Zein, Satria Effendi, Prof. Dr. H. MA. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana.
Mubarok, Jaih, Dr. 2002. Modifikasi Hukum Islam: Studi Tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Prof. Dr. 1980. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hanafi, Ahmad, MA. 1995. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Haswir, MAg. dan Muhammad Nurwahid, MAg. 2006. Perbandingan Mazhab, Realitas Pergulatan Pemikiran Ulama Fiqih. Pekanbaru: Alaf Riau.
M. Zein, Satria Effendi, Prof. Dr. H. MA. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana.
Mubarok, Jaih, Dr. 2002. Modifikasi Hukum Islam: Studi Tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Posting Komentar
Posting Komentar