Bismillahirrahmanirrahiim
Indonesia kaya akan literatur sufi
termasuk juga berbagai puisi/sajak yang penuh dengan makna tersirat yang
merupakan sarana untuk mengupas 'mutiara' yang tersembunyi.
Banyak pesuluk (orang yang belajar
bertarekat) menjadikan puisi sufi sebagai bahan renungan untuk mengkaji diri
sendiri.
Kendati Guru Mursyid bagi para pesuluk
dalam tarekat hanyalah seorang namun tidaklah tertutup pintu untuk belajar Ilmu
yang bermanfaat karena semua ilmu itu hakikatnya adalah dari Allah Yang Maha
Mengetahui.
Berikut ini kami tulis kembali mengenai
Sajak Saraba Ampat (Serba Empat) yakni sajak Karya Syech Abdul Jalil / Datu
Sanggul pada abad 18 M di Banjar Kalimantan (di-parafrasekan.)
SARABA AMPAT
[1]
Alloh jadikan saraba ampat
Syariat thoriqot hakikat makrifat
Manjadi satu di dalam kholwat
Rasa nyamannya tiada tersurat
Parafrase:
`Alloh menjadikan serba
empat`, diterangkan oleh Syech Abdul Jalil dibaris berikutnya, serba empat yang
pertama adalah `syariat, thoriqot, hakikat, makrifat`.
Urut-urutan ini seolah olah
sesuatu yang baku untuk beberapa dekade. Tidak jelas dalil atau dasarnya
(Qur-an-Hadits-nya), tapi banyak yang memakai urut-urutan tingkatan atau tahap
yang harus ditempuh seperti itu, yaitu syariat dulu (syariat di sini bisa
dipahami sebagai ajaran agama yang mengatur wujud lahir manusia), baru thoriqoh
( thoriqoh sendiri artinya `jalan`, bisa dipahami sebagai masa transisi atau
proses dari syariat menuju hakekat.), baru setelah itu hakekat (hakekat bisa
diartikan esensi atau jiwa atau hal-hal yang menyangkut isi dari agama), baru
kemudian makrifat (ma`rifat di sini bisa dipahami ma`rifatulloh, yaitu mengenal
Alloh dengan sebenar-benarnya kenal).
Sebagai bahan rujukan
disalah satu hadits disebutkan, "awalauddin ma`rifatulloh" ,
"awal di dalam beragama adalah ma`rifatulloh". (Tetapi kenapa
ma`rifatulloh itu ditempatkan pada tahap yang terakhir??)
`Menjadi satu di dalam kholwat`, `kholwat` adalah salah
satu `riyadhoh`, atau salah satu latihan bagi shalik, dimana saat ber-kholwat
itu seluruh perhatian, jiwa, raga, rasa, semata-mata ditujukan pada Alloh, hal
ini berarti, menurut Syech Abdul Jalil, syariat, thoriqot, hakekat, dan
ma`rifat, ke-empat-empatnya itu `dilakukan` saat ber-kholwat.
Keterangan tambahan,
kholwat ini biasanya dipahami oleh sebagian orang yaitu `riyadhoh` yang
dilakukan Nabi Muhammad saat beliau berada di gua Hiro`.
Karena secara jelas, jarang
sekali ada yang membahas tentang apa yang dilakukan Nabi di gua Hiro`, dan
secara syariat atau hukum-hukumnya bagaimana??.
Padahal hal itulah yang
intensif dilakukan Nabi Muhammad sebelum pengangkatan kenabian. Kadang 7
hari, kadang 10 hari, kadang 21 hari kadang 40 hari bahkan diceritakan pernah
hampir 2 tahun Nabi Muhammad berada di Gua Hiro`.
`Rasa nyamannya tiada
tersurat`, Rasa saat ber-kholwat, -dalam ber-syariat, thoriqot, hakekat,
ma`rifat-, digambarkan oleh Syech Abdul Jalil, sebagai rasa yang tidak bisa
dilukiskan (diistilahkan `tiada tersurat`), hanya para pelaku-pelaku kholwat
saja yang merasakannya.
[2]
Huruf Allah ampat banyaknya
Alif i`tibar dari pada DzatNya
Lam awal dan akhir sifat dan AsmaNya
Ha isyarat dari af`alNya
Inilah penjelasan yang kedua tentang serba empat.
Yaitu diambil dari huruf Alloh, Alif, Lam, Lam, Ha, yang jumlahnya adalah
empat.
`Alif i`tibar dari pada
DzatNya`, `Lam awal dan akhir sifat dan AsmaNya`, Ha isyarat dari
af`alNya`.
Saya buka di naskah lain,
yaitu naskah dari Syeh Muhyiddin tentang `Martabat tujuh`, tampak ada hubungan
erat antara pengertian `martabat tujuh` dengan yang dijelaskan oleh Syech Abdul
Jalil ini. Yaitu yang diterangkan oleh Syech Abdul melalui sarana huruf-huruf
dalam kata `Alloh` ini, menerangkan 4 martabat yang juga diterangkan dalam `martabat
tujuh`.
Dan ini membuat muncul
kesimpulan awal bahwa Syech Abdul Jalil juga memperoleh pelajaran tentang
`martabat tujuh` ini. Untuk pemahaman Istilah- istilah ini sama dengan tentang
`martabat tujuh` menurut Syeh Abdul Muhyi, Pamijahan.
Bagi para pesuluk langkah
awal untuk mendawamkan dzikirullah juga dimulai dengan belajar untuk
mengerti tentang sifat tujuh (ma’ani dan maknawi) agar dapat menyambungkan
semua yang ada pada dirinya dan alam sekitar kepada Alah SWT. Sehingga nantinya
akan terbitlah rasa selalu diawasi oleh dan merasa dekat dengan Allah SWT.
[3]
Jibril, Mikail Malaikat mulia
Isyarat sifat Jalal dan Jamal
Izrail, Israfil rupa pasanganya
I`tibar sifat Qohar dan Kamal
Serba empat yang ketiga dijelaskan oleh Syeh Abdul
Jalil, dengan menjelaskan Malaikat-malaikat tertentu yaitu Jibril, Mikail,
Izrail dan Israfil. Dimana di jelaskan oleh Syech Abdul Jalil di sini,
malaikat Jibril dan Mikail sebagai malaikat mulia -`Jibril, Mikail
Malaikat mulia`-, Isyarat dari sifat Jalal dan Jamal Nya Alloh. (artinya
Jalal dan Jamal -lihat di buku-buku tentang Asma`ul husna). Sementara
itu pasangannya adalah malaikat Izrail dan Israfi sebagai i`tibar sifat
Alloh yang Maha Qohar dan Maha Kamal.(artinya Qohar dan Kamal baca pula dibuku
tentang asma`ul Husna.
[4]
Jabar Ail asal katanya
Bahasa Suryani asal mulanya
Kebesaran Alloh itu artinya
Jalalulloh bahasa Arabnya
Syech Abdul Jalil di sini menerangkan serba empat yang
ke-empat tetapi dengan bahasa tersirat, karena di sini, dibahas tentang asal
muasal Jalalulloh dari bahasa wahyu menjadi bahasa lahir yaitu bahasa Arab.
Apakah Qur`an itu
diturunkan Alloh dalam bahasa Arab??. Maha Suci Alloh, hanya Alloh yang tahu
bahasa wahyu itu.
`Jabar Ail` ini sebagai
dimaksudkan atau diistilahkan komunikasi awal antara Alloh dengan Jibril
(memakai bahasa `wallohu`alam`). Mengacu dari nama `Jibril` menjadi
`Jabar-Ail`, tahap yang kedua diterangkan oleh Syech Abdul Jalil, `Bahasa
Suryani asal mulanya`, Bahasa suryani di sini sering dipahami sebagai bahasa
malaikat, mirip-mirip bahasa arab,tapi tidak bisa di artikan meskipun ada
maknanya.
Contoh lain bahasa
Suryani," bi ajin ahujin jalajalyu tu jaljalat`, saya `intip` dari
kitab rahasia yang biasanya dibaca dengan ritme tertentu dalam suatu
kelompok mistis tasawuf.
Tahap ketiga yaitu
`Kebesaran Alloh itu artinya`, dalam tahap ini, berarti bahasa `wahyu` tadi
sudah bisa diterima oleh manusia, dan baru diberi simbol atau bentuk, karena
lewatnya Muhammad Orang Arab, maka menjadilah `Jalalulloh bahasa Arabnya`
[5]
Nur Muhammad barmula nyata
Asal jadi alam semesta
Saumpama api dengan panasnya
Itulah Muhammad dengan Tuhannya
Di sini, tampak
lebih jelas bahwa Syech Abdul Jalil atau Datuk Sanggul ini, lagi-lagi
menjelaskan pelajaran tentang `martabat tujuh`, hal ini dikatakan dalam syair,`
Nur Muhammad barmula Nyata`. Dalam kitab `martabat tujuh` baik yang dikarang
oleh Syeh Abdul Muhyi maupun karya Haji Hasan Mustapa, yang ujung-ujungnya akan
kita temui dalam pendapat Ibnu Arobi, Nur Muhammad diyakini sebagai asal muasal
penciptaan alam semesta.
Dijelaskan oleh
Syeh Abdul Jalil di baris ke dua,` Asal jadi alam semesta`. Di pembahasan
tentang `martabat tujuh` di kitab yang saya sebutkan di atas, `Nur Muhammad`
ini berada pada martabat `wahdah`, atau martabat yang ke dua, tempatnya sifat
Alloh. Lihat perkataan Syeh Abdul jalil sendiri pada bagian [2] Alif i`tibar
dari pada DzatNya, Lam awal adalah sifatNya. Dengan jelas dikatakan di
baris berikutnya,`Saumpama api dengan panasnya`,
`Itulah Muhammad
dengan Tuhannya`. Api adalah perlambang DzatNya, sedang panas perlambang dari
sifat api atau sifat dari DzatNya tadi. Ini juga di sebutkan dalam `martabat
tujuh`, yaitu martabat `ahadiyah` dan `wahdah`.
Ada kesamaan
pemahaman.
[6]
Api dan banyu tanah dan hawa
Itulah dia alam dunia
Manjadi awak barupa-rupa
Tulang sungsum daging dan darah
Serba empat yang berikutnya di sini diterangkan oleh
Syeh Abdul Jalil yaitu api, air , tanah dan udara (hawa), inilah yang menjadi
unsur-unsur terbentuknya jasmani manusia.`Itulah dia alam dunia` kata Syeh
Abdul Jalil,`Menjadi badan yang bermacam-macam`,(`manjadi awak barupa-rupa`).`
tulang sungsum daging dan darah`. Kembali lagi penurunan air menjadi tulang,
api menjadi darah, tanah menjadi daging dan hawa (udara) menjadi sungsum, kita
temui juga dalam bahasan `martabat tujuh`.
[7]
Manusia lahir ke alam insan
Di alam ajsam ampat bakawan
si Tubaniyahdan Tambuniyah
Uriyah lawan si Camariyah
`Manusia lahir ke alam insan`, di alam ajsam empat
unsur itu berkawan (ampat bakawan) atau menjadi satu dengan si Tubaniyah
Tambuniyah, Uriyah dengan si Camariyah. Kembali lagi dapat kita temui pemahaman
yang sama untuk masalah alam ajsam ini di kitab tentang `martabat tujuh`.
Bersatunya unsur-unsur jasmaniah yang kasar, dengan empat unsur dari jasad
halus (jisim latif). Tubaniyah, mewakili (istilah) jisim latif dari unsur air,
Tambuniyah mewakili (istilah) jisim latif unsur tanah, Uriyah, mewakili
(istilah) jisim latif dari unsur api, Camariyah mewakili (istilah) jisim latif
dari unsur udara atau hawa.
Pemahaman empat jisim latif
ini juga ada di budaya jawa (Kejawen), yaitu yang di sebut `papat dulur` atau
`empat saudara`. Hanya sebagian besar kadang memahami jisim latif ini merupakan
keghoiban yang tinggi atau bahkan yang tertinggi. Padahal dalam hal keghoiban
adalah termasuk relatif rendah, karena sebenarnya adanya jisim latif karena
adanya jisim yang kasar ini.
[8]
Rasa dan akal, daya dan nafsu
Di dalam raga nyata basatu
Aku meliputi segala liku
Matan hujung rambut ka hujung kuku
Serba
empat yang berikutnya yaitu,`Rasa dan akal, daya dan nafsu`,`Di dalam raga
(jasmani) nyata bersatu`. Di sini, Syech Abdul jalil /Datuk Sanggul tampaknya
ingin mengingatkan kita bahwa dalam jasmani atau dalam raga kita itu ada rasa
ada akal, ada daya dan ada nafsu. Datuk Sanggul juga memilah Rasa dan akal. Ini
sebagaimana pemahaman bahwa Rasa dan akal sebagai karunia Tuhan, berhubungan
erat dengan Qolb (Qolb ini diterangkan
oleh
Datuk Sanggul di bait berikutnya [9]). Atau bisa dipahami sebagai Cahaya rasa
dan Cahaya akal. Hal ini diterangkan di baris berikutnya,`Aku meliputi segala
liku`.
Di
dalam AlQur`an S.Nur (35),"Allohunurrussamawati wamaa fil
ardli......."
"Cahaya
Alloh itu meliputi langit dan bumi........."
Ayat
ini yang kadang dianggap sebagai pintu gerbang bagi para pengikut tasawuf,
untuk menuju ke tingkat `martabat` yang lebih tinggi. Merupakan satu ayat yang
pokok di dalam menjelaskan masalah lapisan-lapisan cahaya dari cahaya hamba
sampai cahaya ketuhanan. Cahaya rasa dan akal mewakili cahaya ruh idhofi cahaya
malaikat, cahaya daya (daya) mewakili ruh Robani ("tidak ada daya dan kekuatan
melainkan daya Alloh", "La haula wala quwata
ila
billah"), sedangkan nafsu (cahaya nafsu), mewakili cahaya jasmani (raga).
Sedangkan Cahaya Alloh meliputi segala sesuatunya. Memakai pemahaman `martabat
tujuh`, maka Cahaya rasa dan akal berada pada martabat `alam arwah` dan `alam
mitsal`, sedangkan cahaya daya (ketuhanan) berada pada martabat alam
`ahadiyah`, `wahdah`,wahidiyah`. Sedangkan cahaya nafsu berada pada martabat
`alam ajsam` dan `insan kamil`.
Sedangkan
Alloh meliputi segala sesuatu,` Matan hujung rambut ka hujung kuku`,`Mulai
ujung rambut sampai ujung kuku. Mulai martabat `Ahadiyah` sampai martabat
`insan kamil`
[9]
Tubuh dan hati nyawa rahasia
Satu yang dzohir amat nyatanya
Tiga yang batin pasti adanya
Alam soghir itu sabutnya
Serba empat berikutnya dijelaskan oleh Datu Sanggul
yaitu `tubuh` dan `hati nyawa rahasia`. Bisa diartikan `hati itu nyawa yang
rahasia`. Bisa juga hal ini dikupas dari tiap kata yang mewakili satu
pengertian. Yaitu `hati` mewakili satu pengertian, `nyawa` mewakili satu
pengertian dan `rahasia` mewakili satu pengertian.
Padanan pemahamannya
adalah, `tubuh` ini yang dimaksudkan adalah jasmani, `hati` di sini yang
dimaksudkan adalah qolbu/ `hati sanubari` (maqomnya `yakin`), `nyawa` di sini
yang dimaksudkan adalah `hati maknawi` (maqomnya `ainul yakin`), dan yang
dimaksudkan `rahasia` di sini adalah `hati sirri` (maqomnya `haqul
yakin`).
Gambaran keyakinan ini
contohnya sebagai berikut:
Kalau manusia melihat ada
asap, sebagian sudah yakin, bahwa ada asap pasti ada api (yakin), sebagian
meningkatkan keyakinan mereka dengan cara melihat tempat asal asap tersebut.
Dan terlihat lah memang ada api-nya (`ainul yakin), sebagian lagi masih
meningkatkan keyakinannya, dipeganglah api tadi, dan terasa panasnya, (haqqul yakin).
Saya sementara membatasi
pengertian-pengertian di masalah hati ini, karena sangat lekat dengan rahasia
mistis yang ada. Dan terlebih lagi bahwa semuanya yang bersifat teoritis tidak
ada artinya dipahami bagaimanapun tingginya pemahaman itu, bila tidak dibarengi
dengan `perjalanan` sesungguhnya. (maaf)
`satu yang Dzohir amat nyatanya`. Tidak ada maksud
lain kecuali menegaskan masalah kenyataan jasmani. `Tiga yang batin pasti
adanya`, mengacu pada tiga hal yang sudah disebutkan di atas. `Alam soghir itu
sabutnya`,`Alam kecil itu namanya`
Dalam pemahaman tasawuf,
manusia ini juga disebut sebagai `alam soghir` atau `alam kecil` karena semua
yang ada di alam ini juga ada di manusia. Dalam kitab "Hakekat
Makrifat", bahkan disebutkan, setiap unsur yang ada di alam besar atau
alam kabir, juga ada di alam kecil, manusia ini. Baik H,Li, Na, K, Rb,Cs,Fr,
dst....dst......maupun yang lainnya, semua ada di manusia.
Ada 3 analog besar di sini yaitu Alam Kabir atau jagad
raya ini, analog dengan manusia (alam soghir), analog dengan Al Qur`an.
Di alam besar atau jagad
ini secara keseluruhan, di analog-kan dengan manusia secara keseluruhan pula
dan analog lain adalah adanya Al Qur`an.
Di alam ini ada `bulan`
yang menerima cahaya dari matahari, di manusia ada `akal`, dan di Qur`an ada
`Do`a-doa` ( "Ad do`au mukhul ibadah", `do`a itu otaknya ibadah`) .
Di alam ada `matahari` (jantungnya alam), di analog-kan di manusia ada `hati`
atau `qolb` atau `jantung`. Di Al Qur`an ada jantungnya yaitu Surat Yasin
(Qolbun Qur`an). Inti dari surat Yasin yaitu,"Salamun qaulan
mirrobirrohim". Di sinilah muncul satu perlambang bahwa hatinya
orang-orang yang beriman haruslah di arahkan pada hati yang `salamun` atau
selamat atau `Qolbun salim`. Yaitu hati yang terkena goncangan bagaimanapun
beratnya, yang terkena ujian bagaimanapun beratnya tetap hati yang ingat dan
syukur pada Tuhannya. Hati yang terkena kesenangan bagaimanapun, tetap ingat
dan syukur pada Tuhannya. Dalam keadaan apa saja, dalam situasi apa saja,
dimana saja, kapan saja, selalu ingat dan syukur pada Tuhannya. Inilah hati
yang selamat, `Qolbun Salim`. Tidak berkeluh kesah, tidak kecewa, tidak sedih,
tidak menggerutu, dll.
[10]
Mani manikam madi dan madzi
Titis manitis jadi manjadi
Si Anak Adam balaksa kati
Hanya yang tahu Allahu Rabbi
`Mani manikam`, umumnya diperuntukkan untuk mewakili
perhiasan yang indah, bagus, elok, sedangkan di sini, mani manikam menjelaskan
soal `madi dan madzi`. Arti `madi dan madzi secara harfiah, untuk bahasa Banjar
tidak saya temukan arti, untuk bahasa arab, saya tidak begitu tahu, juga untuk
bahasa melayu, kok rasanya tidak.
Tapi sepertinya di sini
Datuk Sanggul menerangkan `indahnya `perhiasan`, `sel sperma` dan `sel telur`,
dalam hubungannya dengan proses persatuan keduanya yang menghasilkan anak adam.
Dibaris berikutnya diterangkan,`titis manitis jadi menjadi`, seperti ungkapan,`
Abrakadabra`, `Si anak adam balaksa kati`, `Si anak adam beribu beratnya
(balaksa kati)`. Datuk sanggul memakai istilah berat di sini sepertinya untuk
menggantikan istilah `banyak`. Bisa di artikan,` Si Anak adam menjadi banyak
sekali`. `Hanya yang tahu Allahu Rabbi`. Nah ini agak sulit memahaminya, apa
yang dituju dengan Datuk Sanggul. Apakah yang dituju itu masalah jumlah anak
adam itu sampai seberapa banyak, ini yang tahu hanya Alloh?
atau, rahasia persatuan
`madi dan madzi` tadi hanya Alloh yang tahu?
atau rahasia di dalam diri
anak adam itu hanya Alloh yang tahu?
Mengacu pada baris sebelumnya, (dianggap yang diberi
keterangan adalah baris sebelumnya), maka yang dimaksud hanya Alloh yang tahu
adalah jumlah dari si anak Adam, sampai kapankah berakhirnya proses reproduksi,
atau proses tambahnya anak adam ini. Dan ini sesuai dengan Hadits Nabi waktu di
tanya oleh malaikat Jibril,"Ya Nabi, kapankah datangnya kiamat itu?(
kiamat bisa dipahami sebagai akhir masa reproduksi anak adam, atau akhir masa
manusia yang di waktu itu sudah tidak ada kelahiran lagi.) Nabi menjawab,"Yang
ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya". Karena waktu datangnya
kiamat hanya Alloh yang mengetahuinya.
[11]
Kaampat-ampatnya kada tapisah
Datang dan bulik kapada Allah
Asalnya awak dari pada tanah
Asalpun tanah sudah disyarah
`Keempat-empatnya tidak terpisah`, kata Datu Sanggul.
Kempat-empatnya di sini, dimaksudkan masalah serba empat yang sudah dijelaskan
di atas.
`Datang dan pergi kepada
Alloh`, mengacu pada ayat "Inna lillahi wa ina ilaihi roji`un",`siapa
yang berasal dari Alloh akan kembali kepada Alloh.
Dalam bahasa jawa umumnya
di sebut,"Sangkan paraning Dumadi".
`Asalnya awak dari pada
tanah`,`Asalnya jasmani dari tanah`, `asalpun
tanah sudah disyarah`,
`asalnya tanah-pun sudah ditentukan`.
Nah, di sini Datuk Sanggul
ingin menunjukkan pada kita, bahwa yang kembali pada Alloh itu bukan manusia
dari unsur jasmani karena asal jasmani adalah tanah dan dari tanah kembali ke
tanah lagi, melainkan unsur rohani-lah yang datang dan perginya dari Alloh.
Di sini muncul dua
pemahaman.
"Sangkan paraning
Dumadining Jasmani", yaitu `dari tanah kembali ke tanah`
dan, "Sangkan paraning
Dumadining Ruhani", inilah yang `dari Alloh dan akan kembali ke Alloh`
Dua hal ini, bagi yang kurang paham kadangkala di
samakan. Kadang dianggap kita kembali pada Alloh dengan jasmani dan rupa kita
dan dengan jenis kelamin yang kita miliki. Padahal rupa kita, jenis kelamin
kita, itu adalah bawaan jasmani. Bukankah tidak pernah kita temui adanya dalil,
baik Qur-an maupun hadits yang menerangkan bahwa ruhani itu ada yang laki atau
ada yang wanita???
Kadang ada yang berlogika bahwa saat kita mati, saat
itulah yang tetap di akherat. Artinya bila kita mati muda, maka dengan wajah
muda kita itu kita menghadap Alloh, sedang bila kita mati tua, maka wajah tua
kita itu yang menghadap Alloh.
Nah, kalau anggapan ini
diteruskan, muncul persoalan yang tak terjawab. Kalau kita mati dengan usia
yang lebih tua dari kakek kita waktu mati, maka bukankah `lucu` ,karena
logikanya menjadi, kita menghadap Alloh lebih muda kita dari pada kakek kita.
Naudzubillah, pikiran yang sesat.
Ingatlah satu
hadits,"Alloh tidak melihat rupamu, tidak melihat pakaianmu, tidak melihat
jasmanimu, melainkan yang dilihat Alloh adalah hatimu" Sekali lagi, `asal
dari Alloh`, `kembali ke Alloh`, `asal tanah kembali ke tanah`. Ini yang ada
dalilnya di Qur`an. Dan ini pula yang diterangkan oleh Datuk Sanggul.
[12]
Dadalang Simpur barmain wayang
Wayang asalnya sikulit kijang
Agung dan sarun babun dikacang
Kaler di pasang di atas gadang
`Dadalang simpur bamain wayang`, bisa di artikan
` Dalang bekerja bermain wayang`.
`Simpur`, sepertinya
di ambil dari bahasa Jawa,`Sampur` yang berarti
`selendang`, tapi
apabila dikatakan `ketiban sampur`, atau `ketiban
selendang`, sama
artinya terkena suatu beban kerja`. Jadi `Dalang bekerja bermain wayang.`
Suatu turunan dari kebudayaan Hindu di India,
yang dibawa masuk ke Indonesia, khususnya Jawa adalah `Pagelaran Wayang`. Dan
setelah masuknya agama Islam, melalui para wali-wali (terutama wali sembilan),
maka cerita-cerita dalam wayang di modifikasi sehingga semuanya membawa nafas
ajaran agama Islam. Seperti cerita,`Dewa Ruci` yang katanya karya Sunan Bonang.
Dan yang senang memakai wayang untuk memberikan pelajaran tentang agama Islam,
terutama sekali memang Sunan Kalijogo dan Sunan Bonang (konon).
Perlambang didalam
wayang inilah, yang dipakai oleh Datuk Sanggul untuk menerangkan maksudnya.
`Dalang kerja bermain wayang`, `Wayang asalnya si kulit kijang`.
`Agung dan Sarun
Babun di kacang`.
Untuk satu bait ini,
lama saya merenung, mempertanyakan apa yang dimaksud oleh Datuk Sanggul dalam
memakai Istilah ini, karena istilah `sarun babun dikacang`, tidak saya temukan
dalam istilah bahasa Banjar (yang sekarang), tidak pula saya temukan di istilah
bahasa Arab maupun Melayu. Atau mungkin saja saya yang memang tidak tahu bahwa
istilah itu sebenarnya ada dalam salah satu bahasa tadi.
Bahkan saya juga sempat
berpikir, jangan-jangan Datuk Sanggul memakai bahasa `Suryani`.Tapi, kalau
melihat di baris berikutnya,` Kaler dipasang di atas gadang`, tampak serapan
bahasa jawa ke dalam bahasa Banjar.
(Karena sudah saya
tanyakan pada orang-orang Banjar sendiri, bahwa tidak ada istilah itu)., yang
kata itu berasal dari bahasa Jawa yaitu,` Kelir dipasang di atas gedang`.
Artinya,` Kelir` itu layar putih yang ada sebagai `background wayang`.
`dipasang di atas gedang`. `gedang di sini dimaksudkan adalah `pisang` atau
`pohon pisang`. Kalau istilah Jawanya `dhebog` (bacanya seperti `the book`).
Alhamdulillah ada salah
seorang sahabat memberitahukan bahwa di kitab karya KH.Haderanie tentang "
Ma`rifat Musyahadah Mukasyafah Mahabah", maksud dari
`Agung dan sarun
babun dikancang` itu :
Agung = gong;Sarun =
Saron;babun = genderang; dikancang = dikencangkan talinya
Dengan memakai
pemahaman `Martabat tujuh`, baris ke tiga dan keempat bisa dipahami sebagai
berikut,:
`Agung dan sarun
babun di kacang`.`Kaler dipasang di atas gadang`.
`Agung` mewakili Dzat
Alloh dalam martabat `Ahadiyah`, `sarun babun
dikacang` mewakili dan
menceritakan `kemuliaan` dari martabat yang kedua dan ketiga. Karena
lanjutannya adalah `Kelir` yang dalam filsafat Islam di jawa ini dipahami
sebagai `Jagad` alam semesta ini. Yang berada pada martabat ke enam dan
ketujuh, yaitu `alam ajsam` dan `alam insan kamil`. Sedangkan `pohon pisang`
atau `gadang` yang dipakai menancapkan `Kelir` tersebut adalah mewakili
perlambang `alam arwah` dan `alam mitsal`.
[13]
Wayang artinya si bayang-bayang
Antara kadap si lawan tarang
Semua majaz harus dipandang
Simpur balakun hanya saorang
`Wayang artinya si bayang-bayang`, Dipahami
dalam filsafat Islam yang di Jawa, bahwa makna `wayang` memang berasal dari
kata `bayang`. Menandakan bahwa `wayang itu si bayang-bayang`. Demikian juga
manusia ini, yang dilambangkan sebagai wayang, adalah merupakan bayang-bayang
dari Alloh ta`ala.
Hal itu juga yang
menjadi alasan, kenapa wayang yang indah warna-warnai, tapi yang ditunjukkan
pada penonton justru bayang-bayangnya. Tetapi bila penontonnya atau si wayang
sendiri bisa memahami hakekat diri, maka tampaklah keindahan atau kemuliaan
dirinya. Dan kalau diteruskan kesadarannya, maka sadarlah, bahwa yang
menggerakkan wayang adalah si dalang."Man arofa nafsahu faqod arofa
robahu", barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal
Tuhannya".
Cerita di wayang,
sama, atau analog dengan cerita di dunia ini yaitu
`Antara kadap lawan
si tarang.`Antara gelap lawan terang`.
Kalau kita lihat, ada
kesamaan filsafat wayang ini dengan filsafat aji
saka yaitu:
"ha na ca ra ka,
da ta sa wa la, pa da ja ya nya, ma ga ba ta nga" "ada cerita, dua
utusan, sama kuatnya, sama matinya"
Dua utusan ini adalah
`kadap lawan tarang`, antara `gelap musuh terang`,
antara `kebenaran
musuh kebatilan`. Yang memang sudah nash Qur`an juga sampai kiamat nanti, akan
terus bertarung antara kebenaran musuh kebatilan ini. Dan barulah saatnya nanti
(qiamat), kedua-duanya akan hancur lebur atau mati.
Analog juga dengan
filsafat cina,:
yang dilambangkan
dengan bulatan, yang separo terang dan yang separo gelap. Atau unsur yin dan
yang. Hanya saja kalau di filsafat cina ini, dipahami bahwa seputih-putihnya,
ada gelap sedikit. Dan segelap-gelapnya ada terang sedikit. Kenisbian gelap dan
terang ini yang ditonjolkan.
Artinya tidak ada
yang benar mutlak dan tidak ada yang salah mutlak.
Tapi Datuk sanggul
mengingatkan,`semua majaz harus dipandang`. `Semua wujud atau semua bentuk
tetap harus dipandang`, tetapi,` simpur balakun hanya saorang`. Hakekatnya,
semua pekerjaan itu berasal dari si Dalang (hanya seorang).
"La haula wala
quwata ila billah". "Tidak ada daya dan kekuatan melainkan hanya dari
Alloh semata". (Tauhid)
[14]
Samar, Bagung si Nalagaring
Si Jambulita suara nyaring
Ampat isyarat amatlah panting
Siapa hendak mencari hening
Serba empat yang terakhir yang diceritakan Datuk
Sanggul adalah 4 punakawan (4 hamba) dalam wayang yaitu,`Semar,
Bagong, dan Nologareng(Gareng),` serta` Si Jambulita suara nyaring`
yaitu `Petruk` yang rambutnya njambul itu. Mungkin ini bisa dipahami
satu tahapan akhir dalam proses manusia yang mencari kebenaran yaitu proses
`penghambaan diri` pada Alloh. atau `Hamba Alloh` atau "Abdulloh".
Serba empat menurut
Datuk Sanggul sangat-lah penting,` Ampat isyarat amatlah panting` bagi `Siapa
yang hendak mencari hening` atau `bagi siapa saja yang hendak mencari
kebenaran`.
kututup dengan ucapan
syukurku "Alhamdulillah" pada Alloh, pada Nabi Muhammad dan dan
semua guru-guru sufi yang telah memberikanku petunjuk, pengertian dan
pemahaman.
Ada kesalahannya, semata-mata
adalah karena kedholiman diriku ini., yang tidak mampu memberikan keterangan.
ditulis ulang oleh: dokume pemuda tqn suryalaya news
sumber: sunaranom.blogspot.com
Posting Komentar
Posting Komentar