Menu

TQN PP.Suryalaya

 


Kala itu Ibnu Ummi Maktum datang menemui Rasulullah SAW dan meminta agar beliau membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepadanya. Namun kali itu Ra­sulullah SAW sedang sibuk melayani beberapa tokoh Quraisy, di antaranya Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal, dan Al-Abbas bin Abdul Muththalib, dengan harapan, kalau mereka masuk Islam, akan meringankan tugasnya dan akan memudahkan perkembangan agama itu, karena merekalah yang selalu merintangi perkembangan Islam, dengan harta, ke­dudukan, dan wibawanya. Mereka ber­usaha keras menghalang-halangi orang menuju Islam dan menyempitkan ruang gerak dakwah dengan berbagai cara se­hingga hampir-hampir tidak berkembang di Makkah. Orang-orang di luar kota Mak­kah sudah tentu sulit menerima agama baru yang ditentang keras oleh orang-orang yang paling dekat dengan pengan­jurnya itu.
Rasulullah SAW menyibukkan diri de­ngan orang-orang itu bukan demi kepen­tingan pribadinya, tapi demi kepentingan pengembangan Islam dan kepentingan kaum muslimin juga. Kalau mereka ma­suk Islam, diharapkan semua rintangan yang membentang di hadapan para dai dan dakwah Islam bisa disingkirkan.
Ibnu Ummi Maktum mengulang-ulang harapannya itu sehingga Rasulullah SAW merasa terganggu dengan sikapnya yang memotong pembicaraan beliau dengan tokoh-tokoh Quraisy waktu itu. Karenanya Nabi SAW pun memalingkan pandangan dari Ibnu Ummi Maktum.
Di sinilah Allah SAW menegur Nabi SAW bahwa sikap semacam itu tidak pantas bagi seorang yang memiliki akhlaq yang luhur lagi tinggi.
Allah SWT berfirman, “Dia (Muham­mad) bermuka masam dan berpaling, ka­rena telah datang seorang buta ke­padanya. Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau ia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau ia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), kamu mengabaikannya.” (QS Abasa: 1-10).
Sejak itulah, sebagaimana dinukilkan dalam kitab at-Tafsir al-Munir, karya Syaikh Nawawi Al-Jawi, Sayyid ‘Ulama Al-Hijaz, Rasulullah SAW sangat memu­liakan Ibnu Ummi Maktum. Bila bertemu dengannya, beliau selalu berkata, “Se­lamat datang, wahai sahabat, yang aku ditegur oleh Tuhanku karenannya. Apa engkau memerlukan sesuatu?”

Dalam riwayat yang lain, apabila Ra­sulullah SAW bertemu dengannya, beliau suka berucap, “Selamat datang, wahai orang yang dititipkan Tuhanku untuk diperlakukan dengan baik.”
Keistimewaan yang ada pada diri Ibnu Ummi Maktum menjadikannya sebagai salah seorang sahabat utama kepercaya­an Rasulullah SAW.
Apabila Bilal RA tidak ada, Rasulullah SAW menjadikannya sebagai pengganti Bilal untuk mengumandangkan adzan shalat lima waktu, karena suaranya merdu dan lembut. Tetapi bila Bilal ada, Bilal-lah yang adzan dan Ibnu Ummi Maktum yang iqamat.

Pada bulan Ramadhan, Bilal RA adzan untuk mengingatkan orang terha­dap waktu sahur. Dan bila terdengar adzan Ibnu Ummi Maktum, makan-mi­num harus dihentikan, karena itu tanda waktu imsak sudah tiba.
Mengenai hal ini Rasulullah SAW pernah bersabda, “Apabila Bilal adzan pada malam hari, kalian boleh makan dan minum hingga mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum.”
Bukan hanya itu, Rasulullah SAW sering mengangkatnya sebagai wakil apa­bila beliau keluar meninggalkan Ma­dinah dalam peperangan, di antaranya pergi menyerang Kabilah Banu Sulaim dan Kabilah Ghathafan. Ia menjadi wali kota Madinah selama kepergian Rasul­ullah SAW. Ia juga yang menjadi imam jama’ah dan khatib shalat Jum’at meng­gantikan Nabi SAW.

Syahid dalam Perang Qadisiyah
Setelah Perang Badar, Allah me­nurun­kan ayat-ayat Al-Qur’an yang me­negaskan bahwa Allah mengangkat de­rajat kaum muslimin yang pergi berpe­rang fi sabilillah. Allah melebihkan derajat mereka yang pergi berperang atas orang-orang yang tidak pergi berperang, dan mencela orang yang tidak pergi untuk berjihad di jalan-Nya.
Ayat-ayat tersebut sangat berkesan di hati Abdullah Ibnu Ummi Maktum. Te­tapi baginya sukar mendapatkan kemulia­an tersebut karena ia buta. Lalu ia berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasul­ullah, seandainya saya tidak buta, tentu saya pergi berperang.”
Kemudian ia bermohon kepada Allah dengan hati penuh tunduk, semoga Allah menurunkan pula ayat-ayat mengenai orang-orang yang keadaannnya cacat (udzur) seperti dia tetapi hati mereka ingin sekali hendak turut berperang. Ia senan­tiasa berdoa dengan segala kerendehan hati, “Ya Allah, turunkanlah wahyu me­ngenai orang-orang yang memiliki udzur sepertiku.”
Tidak berapa lama kemudian Allah memperkenankan doanya.
Zaid bin Tsabit, juru tulis Rasulullah SAW yang bertugas menuliskan wahyu, men­ceritakan, “Aku duduk di samping Ra­sulullah SAW. Tiba-tiba beliau diam, se­dangkan paha beliau terletak di atas pa­haku. Aku belum pernah merasakan be­ban yang paling berat melebihi berat paha Rasulullah SAW ketika itu.
Sesudah beban berat yang menekan pahaku hilang, beliau bersabda, ‘Tulislah, hai Zaid!’
Lalu aku menuliskan, ‘Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang) dengan pejuang-pe­juang yang berjihad fi sabilillah…’ — QS An-Nisa: 95.
Ibnu Ummi berdiri seraya berkata, ‘Ya Rasulullah, bagaimana dengan orang-orang yang tidak sanggup pergi berjihad (berperang karena cacat)?’
Selesai pertanyaan Abdullah, Rasul­ullah SAW berdiam dan paha beliau me­nekan pahaku, dan aku merasa menang­gung beban berat seperti tadi.
Setelah beban berat itu hilang, Rasul­ullah SAW berkata, ‘Coba baca kembali yang telah engkau tulis!’
Aku membaca, ‘Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut ber­perang).’
Lalu kata beliau, ‘Tulis: Kecuali me­reka bagi orang-orang yang lemah, baik laki-laki maupun perempuan, ataupun anak-anak, yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan’.” — QS An-Nisa: 98.
Maka turunlah pengecualian yang diharap-harapkan Ibnu Ummi Maktum.
Meskipun Allah telah memaafkan Ibnu Ummi Maktum dan orang-orang yang mempunyai udzur seperti dia untuk tidak berjihad, kerinduannya untuk men­dapatkan derajat orang-orang yang sya­hid di jalan Allah semakin tak terbendung. Ia tetap membulatkan tekat untuk turut berperang fi sabilillah. Tekad itu timbul da­lam dirinya, karena jiwa yang besar ti­dak dapat dikatakan besar kecuali bila orang itu memikul pula pekerjaan besar. Karena itu ia sangat gandrung untuk turut ber­perang dan menetapkan sendiri tu­gasnya di medan perang.
Ia berkata, “Tempatkan saya antara dua barisan sebagai pembawa bendera. Saya akan memeganya erat-erat untuk kalian. Saya buta, karena itu saya pasti tidak akan lari.”

Tahun ke-14 Hijriyyah, Khalifah Umar bin Khaththab memutuskan akan mema­suki Persia dengan perang yang me­nen­tu­kan, untuk menggulingkan pemerin­tahan yang zhalim, dan menggantinya de­ngan pemerintahan Islam, yang de­mokratis dan bertauhid. Khalifah Umar memerintahkan segenap gubernur dan pembesar dalam pemerintahannya, “Ja­ngan ada seorang jua pun yang keting­galan dari orang orang bersenjata, orang yang mempunyai kuda, atau yang berani, atau yang berpikiran tajam, melainkan ha­dapkan semuanya kepada saya se­se­gera mungkin!”
Maka berkumpulah di Madinah kaum muslimin dari segala penjuru, memenuhi pang­gilan Khalifah Umar. Di antara me­reka itu terdapat seorang prajurit buta, Abdullah Ibnu Ummi Maktum.
Khalifah Umar mengangkat Sa’ad bin Abi Waqash menjadi panglima pasukan yang besar itu. Kemudian Khalifah mem­berikan intruksi-intruksi dan pengarahan kepada Sa’ad.
Setelah pasukan besar itu sampai di Qadisiyah, Abdullah bin Ummi Maktum memakai baju besi dan perlengkapan yang sempurna. Ia tampil sebagai pem­bawa bendera kaum muslimin dan ber­janji akan senantiasa mengibarkannya, atau mati di samping bendera itu.
Pada hari ketiga Perang Qadisiyah, perang berkecamuk dengan hebat, yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Kaum muslimin berhasil memenangkan pe­rang tersebut dengan kemenangan paling besar yang belum pernah mereka perloeh. Maka pindahlah kekuasaan Kerajaan Persia yang besar ke tangan kaum muslimin. Runtuhlah takhta yang megah, dan berkibarlah bendera tauhid di bumi penyembah berhala itu.
Kemenangan yang meyakinkan itu dibayar dengan darah dan jiwa ratusan syuhada. Di antara mereka yang syahid itu terdapat Abdullah Ibnu Ummi Maktum. Ia ditemukan tak bernyawa di medan tem­pur dengan berlumuran darah syahidnya, memeluk bendera kaum muslimin.


majalah-alkisah.com

Posting Komentar

 
Top