Kala itu Ibnu Ummi
Maktum datang menemui Rasulullah SAW dan meminta agar beliau membacakan
ayat-ayat Al-Qur’an kepadanya. Namun kali itu Rasulullah SAW sedang sibuk
melayani beberapa tokoh Quraisy, di antaranya Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal, dan
Al-Abbas bin Abdul Muththalib, dengan harapan, kalau mereka masuk Islam, akan
meringankan tugasnya dan akan memudahkan perkembangan agama itu, karena
merekalah yang selalu merintangi perkembangan Islam, dengan harta, kedudukan,
dan wibawanya. Mereka berusaha keras menghalang-halangi orang menuju Islam
dan menyempitkan ruang gerak dakwah dengan berbagai cara sehingga
hampir-hampir tidak berkembang di Makkah. Orang-orang di luar kota Makkah
sudah tentu sulit menerima agama baru yang ditentang keras oleh orang-orang
yang paling dekat dengan penganjurnya itu.
Rasulullah SAW
menyibukkan diri dengan orang-orang itu bukan demi kepentingan pribadinya,
tapi demi kepentingan pengembangan Islam dan kepentingan kaum muslimin juga.
Kalau mereka masuk Islam, diharapkan semua rintangan yang membentang di
hadapan para dai dan dakwah Islam bisa disingkirkan.
Ibnu Ummi Maktum
mengulang-ulang harapannya itu sehingga Rasulullah SAW merasa terganggu dengan
sikapnya yang memotong pembicaraan beliau dengan tokoh-tokoh Quraisy waktu itu.
Karenanya Nabi SAW pun memalingkan pandangan dari Ibnu Ummi Maktum.
Di sinilah Allah SAW
menegur Nabi SAW bahwa sikap semacam itu tidak pantas bagi seorang yang
memiliki akhlaq yang luhur lagi tinggi.
Allah SWT berfirman,
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta
kepadanya. Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
atau ia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat
kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, kamu melayaninya.
Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau ia tidak membersihkan diri (beriman).
Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan
pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), kamu mengabaikannya.” (QS
Abasa: 1-10).
Sejak itulah,
sebagaimana dinukilkan dalam kitab at-Tafsir al-Munir, karya Syaikh Nawawi
Al-Jawi, Sayyid ‘Ulama Al-Hijaz, Rasulullah SAW sangat memuliakan Ibnu
Ummi Maktum. Bila bertemu dengannya, beliau selalu berkata, “Selamat datang,
wahai sahabat, yang aku ditegur oleh Tuhanku karenannya. Apa engkau memerlukan
sesuatu?”
Dalam riwayat yang
lain, apabila Rasulullah SAW bertemu dengannya, beliau suka berucap, “Selamat
datang, wahai orang yang dititipkan Tuhanku untuk diperlakukan dengan baik.”
Keistimewaan yang ada
pada diri Ibnu Ummi Maktum menjadikannya sebagai salah seorang sahabat utama
kepercayaan Rasulullah SAW.
Apabila Bilal RA
tidak ada, Rasulullah SAW menjadikannya sebagai pengganti Bilal untuk
mengumandangkan adzan shalat lima waktu, karena suaranya merdu dan lembut.
Tetapi bila Bilal ada, Bilal-lah yang adzan dan Ibnu Ummi Maktum yang iqamat.
Pada bulan Ramadhan,
Bilal RA adzan untuk mengingatkan orang terhadap waktu sahur. Dan bila
terdengar adzan Ibnu Ummi Maktum, makan-minum harus dihentikan, karena itu
tanda waktu imsak sudah tiba.
Mengenai hal ini
Rasulullah SAW pernah bersabda, “Apabila Bilal adzan pada malam hari, kalian
boleh makan dan minum hingga mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum.”
Bukan hanya itu,
Rasulullah SAW sering mengangkatnya sebagai wakil apabila beliau keluar
meninggalkan Madinah dalam peperangan, di antaranya pergi menyerang Kabilah
Banu Sulaim dan Kabilah Ghathafan. Ia menjadi wali kota Madinah selama
kepergian Rasulullah SAW. Ia juga yang menjadi imam jama’ah dan khatib shalat
Jum’at menggantikan Nabi SAW.
Syahid dalam Perang
Qadisiyah
Setelah Perang Badar,
Allah menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah mengangkat
derajat kaum muslimin yang pergi berperang fi sabilillah. Allah melebihkan
derajat mereka yang pergi berperang atas orang-orang yang tidak pergi
berperang, dan mencela orang yang tidak pergi untuk berjihad di jalan-Nya.
Ayat-ayat tersebut
sangat berkesan di hati Abdullah Ibnu Ummi Maktum. Tetapi baginya sukar
mendapatkan kemuliaan tersebut karena ia buta. Lalu ia berkata kepada
Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, seandainya saya tidak buta, tentu saya
pergi berperang.”
Kemudian ia bermohon
kepada Allah dengan hati penuh tunduk, semoga Allah menurunkan pula ayat-ayat
mengenai orang-orang yang keadaannnya cacat (udzur) seperti dia tetapi hati
mereka ingin sekali hendak turut berperang. Ia senantiasa berdoa dengan segala
kerendehan hati, “Ya Allah, turunkanlah wahyu mengenai orang-orang yang
memiliki udzur sepertiku.”
Tidak berapa lama kemudian
Allah memperkenankan doanya.
Zaid bin Tsabit, juru
tulis Rasulullah SAW yang bertugas menuliskan wahyu, menceritakan, “Aku duduk
di samping Rasulullah SAW. Tiba-tiba beliau diam, sedangkan paha beliau
terletak di atas pahaku. Aku belum pernah merasakan beban yang paling berat
melebihi berat paha Rasulullah SAW ketika itu.
Sesudah beban berat
yang menekan pahaku hilang, beliau bersabda, ‘Tulislah, hai Zaid!’
Lalu aku menuliskan,
‘Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang) dengan
pejuang-pejuang yang berjihad fi sabilillah…’ — QS An-Nisa: 95.
Ibnu Ummi berdiri
seraya berkata, ‘Ya Rasulullah, bagaimana dengan orang-orang yang tidak sanggup
pergi berjihad (berperang karena cacat)?’
Selesai pertanyaan
Abdullah, Rasulullah SAW berdiam dan paha beliau menekan pahaku, dan aku
merasa menanggung beban berat seperti tadi.
Setelah beban berat
itu hilang, Rasulullah SAW berkata, ‘Coba baca kembali yang telah engkau
tulis!’
Aku membaca, ‘Tidak
sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang).’
Lalu kata beliau,
‘Tulis: Kecuali mereka bagi orang-orang yang lemah, baik laki-laki maupun
perempuan, ataupun anak-anak, yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak
mengetahui jalan’.” — QS An-Nisa: 98.
Maka turunlah
pengecualian yang diharap-harapkan Ibnu Ummi Maktum.
Meskipun Allah telah
memaafkan Ibnu Ummi Maktum dan orang-orang yang mempunyai udzur seperti dia
untuk tidak berjihad, kerinduannya untuk mendapatkan derajat orang-orang yang
syahid di jalan Allah semakin tak terbendung. Ia tetap membulatkan tekat untuk
turut berperang fi sabilillah. Tekad itu timbul dalam dirinya, karena jiwa
yang besar tidak dapat dikatakan besar kecuali bila orang itu memikul pula
pekerjaan besar. Karena itu ia sangat gandrung untuk turut berperang dan
menetapkan sendiri tugasnya di medan perang.
Ia berkata,
“Tempatkan saya antara dua barisan sebagai pembawa bendera. Saya akan memeganya
erat-erat untuk kalian. Saya buta, karena itu saya pasti tidak akan lari.”
Tahun ke-14
Hijriyyah, Khalifah Umar bin Khaththab memutuskan akan memasuki Persia dengan
perang yang menentukan, untuk menggulingkan pemerintahan yang zhalim, dan
menggantinya dengan pemerintahan Islam, yang demokratis dan bertauhid.
Khalifah Umar memerintahkan segenap gubernur dan pembesar dalam
pemerintahannya, “Jangan ada seorang jua pun yang ketinggalan dari orang
orang bersenjata, orang yang mempunyai kuda, atau yang berani, atau yang
berpikiran tajam, melainkan hadapkan semuanya kepada saya sesegera mungkin!”
Maka berkumpulah di
Madinah kaum muslimin dari segala penjuru, memenuhi panggilan Khalifah Umar.
Di antara mereka itu terdapat seorang prajurit buta, Abdullah Ibnu Ummi
Maktum.
Khalifah Umar
mengangkat Sa’ad bin Abi Waqash menjadi panglima pasukan yang besar itu.
Kemudian Khalifah memberikan intruksi-intruksi dan pengarahan kepada Sa’ad.
Setelah pasukan besar
itu sampai di Qadisiyah, Abdullah bin Ummi Maktum memakai baju besi dan
perlengkapan yang sempurna. Ia tampil sebagai pembawa bendera kaum muslimin
dan berjanji akan senantiasa mengibarkannya, atau mati di samping bendera itu.
Pada hari ketiga
Perang Qadisiyah, perang berkecamuk dengan hebat, yang belum pernah disaksikan
sebelumnya. Kaum muslimin berhasil memenangkan perang tersebut dengan
kemenangan paling besar yang belum pernah mereka perloeh. Maka pindahlah
kekuasaan Kerajaan Persia yang besar ke tangan kaum muslimin. Runtuhlah takhta
yang megah, dan berkibarlah bendera tauhid di bumi penyembah berhala itu.
Kemenangan yang meyakinkan
itu dibayar dengan darah dan jiwa ratusan syuhada. Di antara mereka yang syahid
itu terdapat Abdullah Ibnu Ummi Maktum. Ia ditemukan tak bernyawa di medan tempur
dengan berlumuran darah syahidnya, memeluk bendera kaum muslimin.
majalah-alkisah.com
Posting Komentar
Posting Komentar