Menu

TQN PP.Suryalaya

 

Apabila Bilal RA tidak ada, Rasulullah SAW menjadikannya sebagai pengganti Bilal untuk mengumandangkan adzan shalat lima waktu, karena suaranya merdu dan lembut. Tetapi bila Bilal ada, Bilal-lah yang adzan dan Ibnu Ummi Maktum yang iqamat.

Suatu hari, Abdullah Ibnu Ummi Mak­tum mengikuti pengajian Rasulullah SAW. Dalam kesempatan itu, Rasul SAW sedang menyampaikan anjuran terhadap setiap muslim yang mendengar adzan untuk segera menunaikan shalat. Karena kondisi fisiknya, yakni matanya yang buta, ia memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah SAW.
“Wahai Rasulullah SAW, apakah saya juga diharuskan kendati saya tidak bisa melihat?” tanya Ibnu Ummi Maktum.
Rasulullah SAW menjawab, “Apakah kamu mendengar seruan adzan?”
“Ya, saya mendengarnya.”
Rasul pun kemudian memerintah­kan­nya agar ia tetap pergi ke masjid.
Maka, dengan penuh keimanan, se­tiap adzan berkumandang dan waktu sha­lat tiba, Ibnu Ummi Maktum pun se­gera pergi ke masjid dan berjama’ah de­ngan Rasulullah SAW.
Suatu ketika di waktu subuh, saat adzan dikumandangkan, Ibnu Ummi Mak­tum pun bergegas ke masjid. Di te­ngah jalan, kakinya tersandung batu hing­ga akhirnya mengeluarkan darah. Na­mun, tekadnya sudah bulat untuk tetap berjama’ah ke masjid.
Waktu subuh berikutnya, ia bertemu se­orang pemuda. Pemuda tersebut ber­maksud menolongnya dan menuntunnya ke masjid. Sejak saat itu, selama berhari-hari, sang pemuda ini selalu mengantar­nya ke masjid.
Ibnu Ummi Maktum pun kemudian ber­maksud ingin membalas kebaikan sang pemuda, yang selama itu menun­tunnya ke masjid.
“Wahai saudaraku, siapakah gerang­an namamu? Izinkan aku mengetahuimu agar aku bisa mendoakanmu kepada Allah,” ujarnya.
“Apa untungnya bagimu mengetahui namaku? Dan aku tak mau engkau doa­kan,” jawab pemuda itu.
“Jika demikian, cukuplah sampai di sini engkau membantuku. Aku tak mau engkau menolongku lagi, sebab engkau tidak mau didoakan,” tutur Ibnu Ummi Maktum kepada pemuda itu.
Akhirnya, sang pemuda pun menge­nalkan siapa dirinya yang sesungguhnya.
“Wahai Ibnu Ummi Maktum, ke­tahui­lah sesungguhnya aku adalah Iblis,” ujarnya.
“Lalu mengapa engkau menolongku dan selalu mengantarkanku ke masjid? Bukankah engkau semestinya mence­gah­ku untuk datang ke masjid?” tanya Ibnu Ummi Maktum lagi.
Sang pemuda yang sebenarnya Iblis itu kemudian membuka rahasia atas per­tolongannya selama itu.
“Wahai Ibnu Ummi Maktum, masih ingatkah engkau beberapa hari yang lalu tatkala engkau hendak ke masjid dan eng­kau terjatuh? Aku tidak ingin hal itu ter­ulang lagi. Sebab, karena engkau ter­jatuh, Allah telah mengampunimu atas dosamu yang separuh. Aku takut kalau engkau jatuh lagi Allah akan menghapus­kan dosamu yang separuhnya lagi se­hingga terhapuslah dosamu seluruhnya. Maka, sia-sialah kami menggodamu selama ini,” kata Iblis.
Kisah ini hanyalah satu dari ribuan kisah keteladanan Ibnu Ummi Maktum, muadzin Rasulullah SAW, dalam kesung­guhan dan ketinggian bukti keimanannya dan rasa mahabbahnya yang tulus dalam meneladani dan mengikuti anjuran sang kekasihnya, Rasulullah SAW, Muham­mad SAW, di samping keterbatasan yang disandang seumur hidupnya sebagai se­orang tunanetra.
Abdullah Ibnu Ummi Maktum RA bu­kanlah salah seorang dari tokoh yang namanya dikenal oleh masyarakat Mak­kah, bahkan namanya pun belum pernah dikenal orang sebelum Islam. Apalagi orang mengindahkan suaranya. Ia hanya seorang awam di kota Makkah, hidup untuk diri dan bersama dirinya. Suaranya tidak pernah didengar orang dan rupanya tidak pernah dikenal orang.
Matanya buta sejak kecil. Meskipun ia seorang tunanetra, semangatnya ber­gelora untuk belajar dan mengetahui se­gala yang didengarnya. Ia menggunakan pendengarannya sebagai pengganti mata­nya, apa yang didengarnya tidak di­lupakan lagi sehingga ia mampu meng­utarakan kembali apa yang pernah di­dengarnya dengan baik sekali.
Ketika Islam datang, ia mendengar bahwa orang-orang budak-budak di kota Makkah bersembunyi-sembunyi pergi ke Darul Arqam untuk mendengarkan berita-berita dari langit yang dibawakan oleh Nabi Muhammad Al-Amin. Ia merasa, di Makkah terjadi pergolakan yang lain dari biasanya.
Ia mendengar, Muhammad Al-Amin menganjurkan persamaan dan persau­daraan antar-sesama umat manusia. Kaum lemah dan para budak tertarik pada semua seruan itu, sedangkan tokoh-to­koh Quraisy berusaha keras mem­per­tahankan sistem kehidupan Jahiliyyah.
Rasa ingin tahunya sudah tak lagi terbendung. Dadanya dipenuhi keinginan untuk mengetahui ajaran yang disampai­kan oleh Muhammad. Maka Ibnu Ummi Maktum pun memutuskan untuk pergi sen­diri ke Darul Arqam untuk mende­ngar­kan berita yang sedang ramai diperbin­cangkan orang itu. Ia mengambil tong­katnya dan mengayunkan langkahnya menuju ke sana.
Ternyata apa yang didengarnya lebih hebat dari apa yang diberitakan orang. Suara yang didengarnya telah membuka pintu hatinya dan menimbulkan kete­nang­an serta kedamaian dalam qalbu­nya.
Ia tidak takut dan gentar terhadap seluruh kekuatan bumi sesudah ia men­dengarkan Kalamullah yang diwahyukan kepada Muhammad Al-Amin dengan pe­rantaraan Malaikat Jibril, untuk mengu­kuhkan tauhid kepada Allah, untuk mem­persamakan antar-umat manusia, untuk me­negakkan keadilan antar-berbagai la­pisan masyarakat, dan untuk menguman­dangkan rasa persaudaraan serta ke­damaian ke seluruh pelosok dunia, yang sedang dilanda kezhaliman dan ke­sesatan.
Kesucian dan ketulusan hatinya me­rindukan kebenaran bahkan mendapat pengakuan langsung dari Sang Maha Pemilik kebenaran dan diabadikan di dalam Al-Qur’an.

sumber: majalah-alkisah.com

(InsyaAllah Bersambung ke bagian II) 

Posting Komentar

 
Top