Apabila Bilal RA tidak ada, Rasulullah
SAW menjadikannya sebagai pengganti Bilal untuk mengumandangkan adzan shalat lima
waktu, karena suaranya merdu dan lembut. Tetapi bila Bilal ada, Bilal-lah yang
adzan dan Ibnu Ummi Maktum yang iqamat.
Suatu hari, Abdullah Ibnu Ummi Maktum mengikuti
pengajian Rasulullah SAW. Dalam kesempatan itu, Rasul SAW sedang menyampaikan
anjuran terhadap setiap muslim yang mendengar adzan untuk segera menunaikan
shalat. Karena kondisi fisiknya, yakni matanya yang buta, ia memberanikan diri
bertanya kepada Rasulullah SAW.
“Wahai Rasulullah SAW, apakah saya juga diharuskan
kendati saya tidak bisa melihat?” tanya Ibnu Ummi Maktum.
Rasulullah SAW menjawab, “Apakah kamu mendengar
seruan adzan?”
“Ya, saya mendengarnya.”
Rasul pun kemudian memerintahkannya agar ia
tetap pergi ke masjid.
Maka, dengan penuh keimanan, setiap adzan
berkumandang dan waktu shalat tiba, Ibnu Ummi Maktum pun segera pergi ke
masjid dan berjama’ah dengan Rasulullah SAW.
Suatu ketika di waktu subuh, saat adzan
dikumandangkan, Ibnu Ummi Maktum pun bergegas ke masjid. Di tengah jalan,
kakinya tersandung batu hingga akhirnya mengeluarkan darah. Namun, tekadnya
sudah bulat untuk tetap berjama’ah ke masjid.
Waktu subuh berikutnya, ia bertemu seorang
pemuda. Pemuda tersebut bermaksud menolongnya dan menuntunnya ke masjid. Sejak
saat itu, selama berhari-hari, sang pemuda ini selalu mengantarnya ke masjid.
Ibnu Ummi Maktum pun kemudian bermaksud ingin
membalas kebaikan sang pemuda, yang selama itu menuntunnya ke masjid.
“Wahai saudaraku, siapakah gerangan namamu?
Izinkan aku mengetahuimu agar aku bisa mendoakanmu kepada Allah,” ujarnya.
“Apa untungnya bagimu mengetahui namaku? Dan aku
tak mau engkau doakan,” jawab pemuda itu.
“Jika demikian, cukuplah sampai di sini engkau
membantuku. Aku tak mau engkau menolongku lagi, sebab engkau tidak mau
didoakan,” tutur Ibnu Ummi Maktum kepada pemuda itu.
Akhirnya, sang pemuda pun mengenalkan siapa
dirinya yang sesungguhnya.
“Wahai Ibnu Ummi Maktum, ketahuilah sesungguhnya
aku adalah Iblis,” ujarnya.
“Lalu mengapa engkau menolongku dan selalu
mengantarkanku ke masjid? Bukankah engkau semestinya mencegahku untuk datang
ke masjid?” tanya Ibnu Ummi Maktum lagi.
Sang pemuda yang sebenarnya Iblis itu kemudian
membuka rahasia atas pertolongannya selama itu.
“Wahai Ibnu Ummi Maktum, masih ingatkah engkau
beberapa hari yang lalu tatkala engkau hendak ke masjid dan engkau terjatuh?
Aku tidak ingin hal itu terulang lagi. Sebab, karena engkau terjatuh, Allah
telah mengampunimu atas dosamu yang separuh. Aku takut kalau engkau jatuh lagi
Allah akan menghapuskan dosamu yang separuhnya lagi sehingga terhapuslah
dosamu seluruhnya. Maka, sia-sialah kami menggodamu selama ini,” kata Iblis.
Kisah ini hanyalah satu dari ribuan kisah
keteladanan Ibnu Ummi Maktum, muadzin Rasulullah SAW, dalam kesungguhan dan
ketinggian bukti keimanannya dan rasa mahabbahnya yang tulus dalam meneladani
dan mengikuti anjuran sang kekasihnya, Rasulullah SAW, Muhammad SAW, di
samping keterbatasan yang disandang seumur hidupnya sebagai seorang tunanetra.
Abdullah Ibnu Ummi Maktum RA bukanlah salah
seorang dari tokoh yang namanya dikenal oleh masyarakat Makkah, bahkan namanya
pun belum pernah dikenal orang sebelum Islam. Apalagi orang mengindahkan
suaranya. Ia hanya seorang awam di kota Makkah, hidup untuk diri dan bersama
dirinya. Suaranya tidak pernah didengar orang dan rupanya tidak pernah dikenal
orang.
Matanya buta sejak kecil. Meskipun ia seorang
tunanetra, semangatnya bergelora untuk belajar dan mengetahui segala yang
didengarnya. Ia menggunakan pendengarannya sebagai pengganti matanya, apa yang
didengarnya tidak dilupakan lagi sehingga ia mampu mengutarakan kembali apa
yang pernah didengarnya dengan baik sekali.
Ketika Islam datang, ia mendengar bahwa
orang-orang budak-budak di kota Makkah bersembunyi-sembunyi pergi ke Darul
Arqam untuk mendengarkan berita-berita dari langit yang dibawakan oleh Nabi
Muhammad Al-Amin. Ia merasa, di Makkah terjadi pergolakan yang lain dari
biasanya.
Ia mendengar, Muhammad Al-Amin menganjurkan persamaan
dan persaudaraan antar-sesama umat manusia. Kaum lemah dan para budak tertarik
pada semua seruan itu, sedangkan tokoh-tokoh Quraisy berusaha keras mempertahankan
sistem kehidupan Jahiliyyah.
Rasa ingin tahunya sudah tak lagi terbendung.
Dadanya dipenuhi keinginan untuk mengetahui ajaran yang disampaikan oleh
Muhammad. Maka Ibnu Ummi Maktum pun memutuskan untuk pergi sendiri ke Darul
Arqam untuk mendengarkan berita yang sedang ramai diperbincangkan orang
itu. Ia mengambil tongkatnya dan mengayunkan langkahnya menuju ke sana.
Ternyata apa yang didengarnya lebih hebat dari apa
yang diberitakan orang. Suara yang didengarnya telah membuka pintu hatinya dan
menimbulkan ketenangan serta kedamaian dalam qalbunya.
Ia tidak takut dan gentar terhadap seluruh
kekuatan bumi sesudah ia mendengarkan Kalamullah yang diwahyukan kepada
Muhammad Al-Amin dengan perantaraan Malaikat Jibril, untuk mengukuhkan tauhid
kepada Allah, untuk mempersamakan antar-umat manusia, untuk menegakkan
keadilan antar-berbagai lapisan masyarakat, dan untuk mengumandangkan rasa
persaudaraan serta kedamaian ke seluruh pelosok dunia, yang sedang dilanda
kezhaliman dan kesesatan.
Kesucian dan ketulusan hatinya merindukan
kebenaran bahkan mendapat pengakuan langsung dari Sang Maha Pemilik kebenaran
dan diabadikan di dalam Al-Qur’an.
sumber: majalah-alkisah.com
(InsyaAllah Bersambung ke bagian II)
Posting Komentar
Posting Komentar