SEBUAH
RENUNGAN : JANGANLAH MENUNDA KEBAIKAN ...
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Matanya ke sana ke mari, entah mencari apa.
Dari wajah dan pakaianya yang lusuh tampaknya ibu ini barusan berpergian yang
jauh. Apalagi ia membawa tas pakaian yang reslitingnya sudah rusak, sehingga
pakaian yang ia bawa tampak dari luar. Aku kuatir ia akan ditipu oleh para calo
yang ada di terminal Joyoboyo ini, karena biasanya wajah yang binggung seperti
ibu ini akan mudah sekali menjadi korban calo terminal. "Ibu mau
kemana?" tanyaku. "Saya mau ke Kupang", jawabnya lirih. Jarak
Kupang (sebuah daerah di Surabaya) dari terminal Joyoboyo tidaklah terlalu jauh
kurang lebih 5 kilometer. "Ibu tahu lyn (angkutan kota) ke Kupang?"
tanyaku lagi. "Tahu, Mas", jawabnya dengan tatapan sayu.
"Baiklah Ibu, saya duluan", aku berpamitan meninggalkan ibu tersebut.
Kebetulan kali ini aku lagi bersama dua teman tengah berjalan kaki dari Gedung
Jatim Expo menuju ke kantor di jalan Bogowonto, dan jalur yang aku tempuh ini
searah dengan jalur menuju Kupang. Ketika tanpa sengaja aku menoleh ke belakang,
ternyata ibu tersebut juga berjalan kaki kurang lebih lima puluh meter di
belakangku, padahal katanya tadi akan naik angkutan ke Kupang. Beberapa kali
aku menoleh, dan ternyata ia masih di belakangku. Pasti ada masalah ibu ini
pikirku.
Ketika tepat di depan patung Suro dan Boyo di depan Kebun Binatang Surabaya aku
menghentikan langkah sambil menjelaskan kepada teman yang berasal dari Makassar
arti historis dari patung tersebut yang menjadi awal mula dari nama kota
Surabaya. Sebenarnya aku berhenti ini sambil memperhatikan ibu ini, ternyata ia
melewatiku begitu saja, berarti dia tidak ada maksud apapun kepadaku, maka aku
segera kembali berjalan di belakangnya.
"Ibu katanya mau naik lyn ke Kupang, tapi kok jalan", tanyaku.
"Ya ...", jawabnya lirih mungkin karena kecapaian dalam perjalanan.
"Tapi mengapa Ibu masih jalan kaki?" tanyaku. "Saya tidak punya
uang", jawabnya dengan lebih lirih mungkin karena malu mengatakannya.
"Rumah Ibu dimana?" tanyaku untuk mempertegas apakah ibu ini
berbohong atau tidak. "Di Banyu Urip", jawabnya. "Banyu Urip
mana?" tanyaku lagi. "Banyu Urip gang Bok Abang", jawabnya lagi.
Berarti ia akan naik angkutan 2 kali dari sini. Segera aku sodorkan uang lima
ribu rupiah, "Ini Ibu untuk naik lyn", ucapku. Seketika itu wajahnya
berubah sangat luar biasa menjadi cerah dan bibirnya tersenyum, "Terima
kasih, Mas", ucapnya spontan sambil menerima uang. Segera ia melambaikan
tangan untuk menghentikan angkutan, dan segera ia naik angkutan yang menuju
Kupang.
Kejadian tersebut sangat cepat tiba-tiba ia sudah naik angkutan, dan angkutan
sudah berjalan meninggalkan aku yang masih terdiam. Mungkin ia sudah sangat
ingin bertemu keluarganya, tapi dalam hatiku ada rasa sesal yang dalam.
Maksudku menyodorkan uang lima ribu rupiah tadi untuk mengetahui apakah ia
berbohong atau tidak, sebab biasanya jika berbohong responnya akan masih
seperti kekurangan atau minta tambah. Tapi ternyata Ibu tadi tidak berbohong,
sehingga uang lima ribu yang aku berikan sudah sangat berharga dan berarti
baginya.
Astaghfirullah, seandainya saya tadi bisa menambah lebih banyak lagi, tentunya
tidak hanya untuk biaya naik angkutan saja yang bisa ia bayar, mungkin ia bisa
membelikan roti sisir yang harga hanya dua ribu lima ratus rupiah saja untuk
anak-anaknya yang menunggunya di rumah. Jika lima ribu rupiah yang pertama bisa
membuat ia bahagia karena dapat naik angkutan untuk pulang, dan dengan tambahan
yang lebih akan membuat anak-anaknya bergembira menyambutnya, berarti akan
semakin banyak wajah yang kembali tersenyum. Tapi mengapa tadi aku ragu
memberikan tambahan lima ribu lagi ?
Sahabat, penyesalan seperti ini pernah terjadi di masa Rasulullah SAW, seperti
kisah dibawah ini :
Seperti biasa ketika hari Jum'at tiba para kaum lelaki berbondong-bondong
menunaikan ibadah Sholat Jum'at ke Masjid, ketika itu ada seorang Sahabat
sedang bergegas menuju ke Masjid di tengah jalan berjumpa dengan orang buta
yang bertujuan sama. Si buta itu tersaruk-saruk karena tidak ada yang
menuntunnya, lalu sahabat ini dengan sabar dan penuh kasih membimbingnya hingga
tiba di masjid.
Pada hari yang lain ketika waktu menjelang Shubuh dengan cuaca yang amat
dingin, Sahabat tersebut hendak menunaikan Jama'ah Sholat Shubuh ke Masjid,
tiba-tiba ditengah jalan ia melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk
menggigil, hampir mati kedinginan, kebetulan Sahabat tadi membawa dua buah
mantel, maka ia mencopot mantelnya yang lama untuk diberikan kepada lelaki tua
tersebut dan mantelnya yang baru ia pakai
Pernah juga pada suatu ketika Sahabat tersebut pulang ke rumah dalam keadaan
sangat lapar, kemudian sang istri menghidangkan sepotong roti yang telah
dicampur dengan daging, namun tiba-tiba ketika hendak memakan roti yang sudah
siap santap untuk dimakan tadi datanglah seorang musafir yang sedang kelaparan mengetuk
pintu meminta makan, akhirnya roti yang hendak beliau makan tersebut dipotong
menjadi dua, yang sepotong diberikan kepada musafir dan yang sepotong lagi
beliau memakannya.
Maka ketika Sahabat tersebut wafat, Rosulullah Muhammad SAW datang, seperti
yang telah biasa dilakukan beliau ketika salah satu sahabatnya meninggal dunia
Rosulullah mengantar jenazahnya sampai ke kuburan. Dan pada saat pulangnya
disempatkannya singgah untuk menghibur dan menenangkan keluarga almarhum supaya
tetap bersabar dan tawakal menerima musibah itu.
Kemudian Rosulullah berkata," Tidakkah almarhum mengucapkan wasiat sebelum
wafatnya?"
Istrinya menjawab, saya mendengar dia mengatakan sesuatu diantara dengkur
nafasnya yang tersengal-sengal menjelang ajal" "Apa yang di katakannya?"
"saya tidak tahu, ya Rosulullah, apakah ucapannya itu sekedar rintihan
sebelum wafat, ataukah pekikan pedih karena dasyatnya sakaratul maut. Cuma,
ucapannya memang sulit dipahami lantaran merupakan kalimat yang
terpotong-potong."
"Bagaimana bunyinya?" desak Rosulullah.
Istri yang setia itu menjawab, "suami saya mengatakan "Andaikata
lebih panjang lagi......andaikata yang masih baru...... andaikata
semuanya......."
hanya itulah yang tertangkap sehingga kami bingung dibuatnya. Apakah
perkataan-perkataan itu igauan dalam keadaan tidak sadar,ataukah pesan-pesan
yang tidak selesai?"
Rosulullah tersenyum."sungguh yang diucapkan suamimu itu tidak
keliru,"ujarnya.
Jadi begini. pada suatu hari ia sedang bergegas akan ke masjid untuk
melaksanakan shalat jum'at. Ditengah jalan ia berjumpa dengan orang buta yang
bertujuan sama. Si buta itu tersaruk-saruk karena tidak ada yang menuntun.
Maka suamimu yang membimbingnya hingga tiba di masjid. Tatkala hendak
menghembuskan nafas penghabisan, ia menyaksikan betapa luar biasanya pahala
amal sholehnya itu, lalu iapun berkata "andaikan lebih panjang lagi".
Maksud suamimu, andaikata jalan ke masjid itu lebih panjang lagi, pasti
pahalanya lebih besar lagi.
Ucapan lainnya ya Rosulullah?" tanya sang istri mulai tertarik.
Nabi SAW. menjawab,"adapun ucapannya yang kedua dikatakannya tatkala, ia
melihat hasil perbuatannya yang lain. Sebab pada hari berikutnya, waktu ia
pergi ke masjid pagi-pagi, sedangkan cuaca dingin sekali, di tepi jalan ia
melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil, hampir mati kedinginan.
Kebetulan suamimu membawa sebuah mantel baru, selain yang dipakainya. Maka ia
mencopot mantelnya yang lama, diberikannya kepada lelaki tersebut. Dan
mantelnya yang baru lalu dikenakannya.
Menjelang saat-saat terakhirnya, suamimu melihat balasan amal kebajikannya itu
sehingga ia pun menyesal dan berkata, "Coba andaikan yang masih baru yang
kuberikan kepadanya dan bukan mantelku yang lama, pasti pahalaku jauh lebih
besar lagi".Itulah yang dikatakan suamimu selengkapnya.Kemudian, ucapannya yang ketiga, apa maksudnya, ya Rosulullah?" tanya sang istri makin ingin tahu.
Dengan sabar Nabi SAW. menjelaskan,"ingatkah kamu pada suatu ketika
suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan meminta disediakan makanan?
Engkau menghidangkan sepotong roti yang telah dicampur dengan daging. Namun,
tatkala hendak dimakannya, tiba- tiba seorang musyafir mengetuk pintu dan
meminta makanan.
Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong, yang sebelah diberikan
kepada musyafir itu. Dengan demikian, pada waktu suamimu akan nazak, ia
menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalannya itu. Karenanya, ia pun
menyesal dan berkata ‘ kalau aku tahu begini hasilnya, musyafir itu tidak hanya
kuberi separoh. Sebab ANDAIKATA SEMUANYA KUBERIKAN KEPADANYA, sudah pasti
ganjaranku akan berlipat ganda
Subhanallah , Allahu Akbar ..
Wallahu a'lam bishshawab, ..
Salam Terkasih ..
Dari Sahabat Untuk Sahabat .
Sumber tulisan: dari status di Grup Facebook Pemuda TQN Suryalaya
Posting Komentar
Posting Komentar