( KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU, beliau dan kakaknya KH Jakfar Aqil Siroj adalah pengikut thoriqat) |
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengurai tingkatan tasawuf tersebut di
gedung PBNU, Jakarta, Senin malam, (28/01/2012). Peserta pengajian tersebut adalah
pengurus lajnah, banom dan lembaga di PBNU.
“Yang pertama adalah taubat atau mohon ampunan kepada Allah. Taubat itu bukan
hanya sekadar mengucap astaghfirullah, tapi perubahan sikap. Astghafirullah
hanya lafadnya,” ungkap kiai kelahiran Cirebon 1953 tersebut.
Kiai yang pernah nyantri di Lirboyo dan Krepyak tersebut menambahkan, taubat
itu sendiri terbagi ke dalam tiga tingkatan. Taubatnya orang awam, yaitu taubat
dari segala dosa. Taubatnya ulama, yaitu taubat dari lupa. Dan taubatnya ahli
tasawuf, taubat dari merasa dirinya ada (eksis).
“Setiap orang yang merasa dirinya “ada”, bisa jatuh ke dalam kemusyrikan,” ujar
kiai yang juga doktor (S3) University of Umm Al-Qura Jurusan Aqidah atau
Filsafat Islam, lulus pada tahun 1994.
Kita ini adalah “maujud” (diadakan). Kita hidup 30, 50, 100 tahun hanyalah
“diadakan”. Sedangkan yang “ada” (wujud) hanyalah Allah. Dialah yang mengadakan
kita. Kita harus merasa sementara dan diadakannya.
Tidak ada “aku” yang sesungguhya, kecuali “Aku”nya Allah, la ilaha ila
ana. Tidak ada “dia” yang sesungguhnya kecuali “Dia” allah, lai ilaha ilah
huwa. Tidak ada kamu yang sesungguhnya, kecuali Kamu Allah, la ilaha ila anta.
Setelah taubat, sambung bapak dari empat anak ini, akan timbul tingkatan
selanjutnya, yaitu waro’i. Orang yang mencapai maqom ini melihat segala sesuatu
dengan hati-hati. Yang tidak betul-betul halal, tidak akan diambilnya. Tidak
akan mengambil kedudukan yang bukan miliknya.
“Kalau waro’i sudah selesai, timbul zuhud,” tambah kiai yang akrabdisapa Kang
Said tersebut.
Zuhud adalah memandang rendah dunia. Misalnya dapat uang 10 juta biasa-biasa
saja. Hilang 10 juta juga biasa-biasa saja. Seperti Gus Dur. Saya melihat,
ketika dia sebelum presiden, dia bersikap biasa saja. Ketika jadi presiden,
bersikap biasa saja. Begitu juga ketika dia tidak jadi presiden.
Kang Said menegaskan, zuhud itu bukan berarti harus melarat, tapi lebih pada
sikap. Orang kaya bisa zuhud, orang melarat bisa serakah. Tapi zuhud lebih pada
sikap dan cara pandang orang terhadap dunia. Ia menyikapi selain Allah itu
kecil.
Tiga tingkatan tersebut berada dalam proses takhalli atau pembersihan diri.
Efek kejiwaan sementara orang dalam tingkatan ini adalah khauf, atau takut
kepada Allah. “Segala amal soleh dan ibadah yang dilakukannya adalah lita’abud,
untuk beribadah.” Para pelaku tasawuf yang telah meniti tiga maqom (tingkatan)
sebelumnya (taubat, wira’i dan zuhud, akan menjalani maqom-maqom selanjutnya,
yaitu tawakal, ridho, dan syukur.
“Tawakal adalah pasrah kepada Allah,” kata kiai kelahiran Cirebon 1953
tersebut.
Orang yang tawakal, jika melakukan sesuatu, tidak mengandalkan upayanya, tapi
hanya kepada Allah. Hujjataul Islam, Imam Ghazali mencontohkan
orang tawakal. Misalnya, ketika api yang membakar kertas, dan terbakar, ia
mengatakan yang membakar kertas itu memang api, tapi atas kehendak Allah.
Buktinya, sambung kiai yang pernah nyantri di Pesantren Kempek, Lirboyo, dan
Krapyak tersebut, adalah Nabi Ibrahim ketika dibakar Namrud. Api tak kuasa
membakarnya sebab Allah tidak mengizikannya.
“Setelah tawakal akan muncul ridho.”
Ridho itu, lanjut kiai yang menggondol doktor dari University of Umm Al-Qura
Jurusan Aqidah/Filsafat Islam, lulus pada tahun 1994, apapun yang terjadi,
apapun yang didapat, diterima dengan suka cita, tidak sedikit pun gelisah dan
mengeluh.
“Jadi guru SD, jadi dosen; jadi Ketua PBNU atau Ketua Ranting, diterima,” jelas
kiai yang akrab disapa Kang Said.
Setelah ridho, akan muncul syukur. Syukur adalah selalu mensyukuri apa yang
diterima dari Allah. Apapun wujudnya tetap bersyukur. “Ketika diredaksikan,
syukur itu mengucap Alhamdulillah. Tapi bukan berarti ucapan saja, melainkan
sikap.
Tiga maqom ini adalah berada dalam proses tahalli, menghias diri.
Biasanya timbul efek spiritual temporal roja’, optimis kepada
Allah.
Sementara ibadah dalam maqom ini adalah li-taqorub (mendekatkan
diri) kepada Allah. Bukan ingin sorga atau benci dengan neraka, tapi ingin
dekat dengan Allah.
Para pelaku tasawuf yang telah meniti tigamaqom (tingkatan)
sebelumnya, yaitutawakal, ridlo, dan syukur akan menjalani
maqom-maqom selanjutnya, yaitu mahabbah, tuma’ninah, dan ma’rifat.
Mahabbah adalah maqom cinta kepada Allah. Kalau
sudah cinta kepada-Nya, kepada apapun cinta, mencintai segalanya. Orang yang
menapaki maqom tersebut, yang cantik, yang jelek, yang pintar,
yang bodoh, yang kaya, yang miskin; semua dicintainya.
“Karena semuanya yang ada itu adalah tanda-tanda keagungan Allah,” ungkap kiai
kelahiran Cirebon 1953 tersebut.
Kalau sudah mahabbah, akan tumbuhtuma’ninah, atau full happy, enjoy.
Hati orang yang menempuh jalan tuma’ninah adalah tenang.
“Tuma’ninah bukan di rumah, mobil, uang, tapi dalam hati,”
tambahnya.
Setelah maqom tuma’ninah, muncul maqom terakhir, ma’rifat.
Kiai yang akrab disapa Kang Said ini menjelaskan, maqom ini dengan pengalaman
Imam Ghazali sepulang menyepi di masjid Damaskus. Setelah keluar dari masjid
tersebut, ia tak bisa mengatakan pengalamannya.
“Ilmu ma’rifah tak bisa dituliskan. Tak bisa diceritakan.
Tidak bisa diajarkan dengan kata-kata,” ujar kiai yang pernah nyantri di
Pesantren Kempek, Lirboyo dan Krapyak tersebut.
Orang yang sedang mengalami maqom ma’rifat, tahu betul bahwa segala
sesuatu dari Allah, untuk Allah, karena Allah, bersama Allah. Tanpa itu sedetik
saja, dunia hancur.
Kiai yang juga doktor jebolan University of Umm Al-Qura Jurusan Aqidah/Filsafat
Islam menegaskan, ketiga maqom tersebut dinamakan tajalli (manifestasi).
Allah sudah menjelma dalam segala keadannya.
Dampak spirutual temporalnya adalah al-uns, harmonis. Amal salehnya, bukan
karena lita’abud (ibadah), bukan litaqorub (ingin dekat dengan Allah), melainkan
litahaquq (mencari hakikat).
Maqom-maqom tersebut adalah versi ringkasnya. Para ahli tasawuf berbeda rincian
maqomnya. Misalnya, menurut Syekh Abdul Qodir Jilani, terdapat 40 maqom
tasawuf. Sementara Imam Ghazali berpendapat ada 14 tingkatan. ”
Sumber: nu.or.id
Posting Komentar
Posting Komentar