oleh:
Ikhwanul Kiram Manshuri
Dalam
sebuah diskusi santai di Jakarta beberapa hari lalu sejumlah teman mencibir
ketika saya katakan Indonesia merupakan tempat yang paling baik untuk belajar
tentang Islam. Seorang teman berujar, ''Belajar Islam kok di Indonesia? Belajar
Islam yang paling top marketop ya di pusatnya sana.''
'Di pusatnya sana' yang dimaksud tentu saja negara-negara Arab, wabil khusus
Makkah dan Madinah. Argumentasinya, Alquran dan Hadis berbahasa Arab. Juga
rujukan-rujukan ajaran Islam yang ditulis para ulama salaf. Teman lain
menambahkan, di Arab itu gudangnya para ulama, dari dulu hingga sekarang. Ia
pun menyebut sejumlah ulama top salaf hingga kontemporer. Ulama yang mempunyai
spesialisasi di bidang ilmu tertentu hingga ulama yang mengeluarkan fatwa
mengenai segala macam persoalan.
Diskusi sersan alias serius tapi santai itu untuk merespon dua tulisan saya di
rubrik resonansi ini. Yang pertama, 'Robohnya pusat studi Islam kami di Timur
Tengah' dan yang kedua adalah 'Perlukah belajar Islam ke Timur Tengah?'.
Tulisan pertama berisi peran pusat-pusat studi Islam di Timur Tengah yang telah
berjasa mencetak mahasiswa-mahasiswa Indonesia menjadi ulama dan tokoh-tokoh
Islam di Indonesia. Namun, instabilitas dan konflik yang kini mewarnai sejumlah
negara Arab dikhawatirkan akan membawa dampak buruk pada kualitas pendidikan
dan pengajaran di kampus-kampus Islam tersebut.
Tulisan kedua berkisar soal perebutan kekuasaan dan konflik di negara-negara
Arab telah menyeret sejumlah ulama terpandang untuk 'saling serang' antara yang
membela dan menentang sebuah rezim penguasa. Atau dengan kata lain, agama
dijadikan untuk menjustifikasi tentang pembelaan atau penentangan terhadap
kekuasaan. Fatwa 'saling serang' itu pada gilirannya telah memecah-belah umat.
Tulisan itu menggarisbawahi bahwa saling serang dalam fatwa itu dikhawatirkan
akan berpengaruh ke Indonesia. Tentu kalau hanya perbedaan fatwa adalah lumrah.
Namun, bila fatwa-fatwa itu menyebabkan darah sesama umat mengalir seperti di
Mesir dan Suriah adalah sangat disesalkan.
Karenanya dalam diskusi itu saya mengatakan saat ini Indonesia merupakan tempat
yang paling baik untuk belajar Islam. Saya berargumentasi para tokoh Islam
pendiri negara ini adalah para ulama dan sekaligus negarawan. Untuk menghindari
perpecahan dan menjaga keutuhan NKRI, mereka bisa bersepakat menjadikan
Pancasila sebagai dasar negara. Memang, sebagai konsekuensinya, Indonesia
bukanlah negara Islam. Tapi, Indonesia juga bukan negara sekuler. Indonesia
adalah negara pluralistik (bhinneka tunggal ika).
Semua pemeluk agama bebas menjalankan ajaran agamanya, dengan syarat saling
menghormati antar-pemeluk agama. Negara berperan menjaga dan menjamin semua
pemeluk agama bebas untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Tentu saja
agama yang telah diakui oleh negara. Dalam konteks Islam, di sinilah justeru
tugas ulama, kiai, ustad, dan tokoh-tokoh Islam lainnya untuk fastabiqul
khoirot. Berlomba-lomba memahamkan dan mengajarkan Islam kepada masyarakat
tentang pentingnya menjalankan ajaran agama secara benar dalam kehidupan
sehari-hari. Juga tugas para politisi Muslim untuk memayungi umat dengan
perangkat undang-undang serta aturan yang tidak bertentangan dengan Islam.
Selanjutnya, dalam diskusi itu juga saya katakan Indonesia merupakan negara
berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Indonesia juga merupakan negara terbesar
ketiga yang menerapkan sistem demokrasi, lengkap dengan lembaga-lembaga negara
sebagai perangkat penyelesaian segala persoalan. Karena itu laiklah
negara-negara Islam belajar demokrasi ke Indonesia
Selain itu Indonesia juga merupakan gudangnya lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Terdapat ribuan pesantren dari yang tradisional hingga modern, dari pesanten
anak-anak hingga mahasiswa. Puluhan ormas Islam mengelola sekolahan dari TK
hingga universitas. Ribuan sekolah Islam, baik yang dikelola negara maupun
masyarakat. Juga terdapat puluhan universitas Islam negeri dan swasta. Termasuk
pusat-pusat studi Islam di kampus-kampus umum. Ulamanya pun sangat mumpuni.
Mereka selain berilmu tinggi juga berwawasan kenegarawanan.
Berikutnya saya kutipkan tentang keluhan Ketua Dewan Mufti Rusia, Grand Mufti
Ravil Gainutdin, kepada KH Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum PBNU, saat delegasi
Interfaith Dialugue Indonesia berkunjung ke Rusia empat tahun lalu. Menurut
Gainutdin, anak-anak muda Islam Rusia yang dikirimkan belajar ke negara-negara
Arab, terutama ke Negara Teluk, ketika lulus dan pulang ke negaranya pada
umumnya sangat eksklusif. Tertutup. Mereka, lanjutnya Gainutdin, sepertinya
ingin 'memindahkan' kehidupan masyarakat Arab ke masyarakat Rusia.
Menanggapi keluhan Grand Mufti Rusia itu, KH Hasyim Muzadi pun mengatakan untuk
masyarakat yang pluralistik seperti Rusia belajar Islam yang paling baik adalah
ke Indonesia. ''Rusia adalah negara plural seperti Indonesia. Bedanya,
mayoritas penduduk Indonesia Muslim, sedangkan mayoritas penduduk Rusia Kristen
Ortodoks. Dengan begitu para mahasiswa Rusia yang belajar Islam di Indonesia
tidak akan canggung lagi ketika pulang ke negaranya,'' ujar KH Hasyim Muzadi.
Bila mahasiswa Rusia belajar ke negara Arab, apalagi yang mono agama, Kiai
Hasyim khawatir setelah belajar sekian tahun dan kemudian pulang ke negaranya
mereka akan memakai 'kaca mata kuda'. Mereka akan melihat permasalahan di
masyarakat hanya hitam putih, halal haram, boleh atau tidak boleh, dan
seterusnya. Padahal dalam berdakwah kita harus lebih bijaksana. Tidak bisa
melihat segalanya dengan hitam putih.
Kabarnya kini ada ratusan mahasiswa Islam Rusia yang belajar di Indonesia. Juga
mahasiswa-mahasiswi dari Eropa Timur, terutama dari bekas pecahan negara
komunis Uni Sovyet. Mereka belajar di UIN dan juga sekolah-sekolah dan
pesantren yang dikelola oleh NU dan Muhammadiyah.
Kalaupun ada kekurangan mengenai belajar Islam di Indoensia, kata saya dalam
diskusi tersebut, adalah belum banyak lembaga-lembaga pendidikan kita yang
menggunakan bahasa pengantar Arab maupun Inggris. Juga belum banyak buku yang
ditulis ulama Indonesia dalam dua bahasa tersebut, sehingga pemikiran dan
fatwa-fatwa mereka kurang dikenal oleh masyarakat dunia.
Pada akhirnya saya menyampaikan belajar Islam itu bisa di mana saja. Namun yang
perlu digarisbawahi ilmu yang dipelajari harus bermanfat buat umat dan
masyarakat pada umumnya. Wallahu a'lam bisshawab.
Judul asli : Belajar Islam Kok di Indonesia?
Posting Komentar
Posting Komentar