Sambungan dari bagian I~
Muhammad
Al-Kattani mengatakan, "Firasat adalah ketersingkapan keyakinan, kemampuan
melihat ghaib, dan dia merupakan bagian dari derajat iman."
Dikatakan,
Imam Syafi'i dan Muhammad bin Hasan berada di Masjidil Haram. Kemudian seorang
pria memasuki masjid. Muhammad bin Hasan mengatakan, "Menurut firasatku dia
adalah tukang kayu.' Namun Imam Syafi'i mengatakan, "Menurutku dia adalah
seorang tukang besi." Keduanya lantas mendatangi orang tesebut dan
menanyakan statusnya. Lelaki itu menjawab, "Saya sebelum tahun ini memang
tukang besi, tetapi sekarang saya bekerja dalam perkayuan".
Abu
Sa'id Al-Kharraz mengatakan, "Orang yang memiliki sumber adalah orang yang
meneliti hal-hal ghaib selamanya dan hal-hal ghaib tidak tertutup dari
pandangannya. Tidak ada yang tersembunyi darinya. Dialah gambaran orang yang
ditunjukkan Alloh dengan firman-Nya :
لعلمه الدين يستنبطونه منهم
...tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari
mereka (Rasul dan Ulil Amri) (QS An-Nisa 83).
Orang
yang mencari tanda atau firasat adalah orang yang mengetahui tanda. Dia mengetahui sesuatu yang tersimpan dalam kemurungan hati. Kemampuannya didukung
dengan petunjuk-petunjuk dan alamat-alamat. Alloh SWT berfirman :
إنّ في ذلك لآيةٍ للمتوسمين
Sesungguhnya
yang demikian ini benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang yang
memperhatikan tanda-tanda).
(QS Al-Hijr 75).
Artinya
orang-orang yang mengerti apa yang ditampakkan oleh Tuhan dengan berbagai
alamat / tanda-tanda. Mereka terbagi menjadi dua golongan : para wali Alloh dan
para musuh-Nya. Orang yang mempunyai firasat melihat dengan cahaya Alloh.
Demikian itu merupakan pancaran cahaya yang memancar ke dalam hati, sehingga ia
dapat melihat berbagai makna atau niali-nilai yang termanifestasikan dalam alam
semesta. Hal itu merupakan keistimewaan iman. Kebanyakan mereka adalah Rabbany.
Alloh SWT berfirman :
كونوا ربّانيين
Hendaklah
kamu menjadi orang-orang Rabbany
(QS Ali Imran 79).
Rabbany artinya
para ulama ahli hikmah yang berakhlak dengan akhlak Tuhan dan berpikiran dengan
pandangan Tuhan.
Mereka kosong dari pengaruh makhluk, Kecenderungan dari melihat mereka dan
kosong dari kesibukan dengan mereka.
Abul
Qasim Al-Munadi, seorang ulama sufi dari Naisabur terbesar di zamannya
menderita sakit. Banyak ulama yang menjenguknya, diantaranya Abul Hasan
Al-Busanji dan Hasan Al-Hadad. Sebelum tiba ditempat tujuan, keduanya sempat
membeli beberapa buah apel di tengah jalan secara kredit. Keduanya kemudian
membawanya kepada Abul Qasim. Ketika kedua tamu ini masuk dan duduk di sisi
pembaringan. Abul Qasim berkata, " Kenapa suasana menjadi gelap ?"
Kedua
tamu itu terkejut. Seolah-olah ucapan itu ditujukan kepada mereka berdua.
Keduanya gelisah dan kemudian mereka keluar dan bergumam, "Apa yang telah
kita perbuat ?" Keduanya mencoba berfikir.
"Barangkali
kita belum membayar penuh harga apel," Kata mereka. Keduanya lantas pergi
ke tempat penjual apel dan melunasi pembayarannya, kemudian kembali ke rumah
Abul Qasim. Ketika pandangan beliau jatuh kepada mereka berdua, maka beliau
bergumam, "Mungkinkah secepat ini kegelapan yang menyelimuti seseorang
keluar darinya. Kabarkan pada saya ada apa yang terjadi pada kalian ."
Keduanya pun
menuturkan kisah tentang apel, tentang harga dan tentang pemenuhan janjinya.
Ulama itu diam mendengarkan. Beliau menemukan penyebab kegelapan ruang
tidurnya.
"Memang
benar seseorang dari kalian terlalu percaya pada temannya untuk tidak membayar
penuh harga apel. Dia percaya dengan kebaikan penjual apel, sementara penjual
apel itu malu untuk tidak memenuhi tawarannya. Dia sungkan dan takut berperkara
karena sadar bahwa yang dihadapinya adalah ulama. Dia takut menagih. Sedangkan
saya adalah penyebab utama. Engkau datang dengan membawa apel karena saya.
Itulah yang saya lihat pada diri kalian."
Semenjak
saat itu, Abul Qasim AL-Munadi masuk pasar setiap ada pelelangan. Dan ketika
tangannya menjamah sesuatu yang sekiranya mencukupi harga senilai seperenam
hingga setengah dirham, maka dia keluar dan kembali pada pangkal waktunya dan
meniti-niti hatinya.
Husain
bin Manshur berkata, "Al-Haqq" Telah menguasai rahasia (hati), maka
rahasia-rahasia itu akan menguasainya, mengurusi dan memberitahukan kepadanya
rahasia-rahasia itu".
Bersambung ke bagian III
Sumber: manakib.wordpress.com
Posting Komentar
Posting Komentar