Bagi
banyak orang, ibadah haji bukan sekedar masalah kewajiban. Haji sudah menjadi
cita-cita umat Islam pada umumnya. Maka, akhirnya banyak yang ingin menjalankan
ibadah haji meski dengan segala risiko dan dengan menempuh cara apapun. Soalnya
ibadah yang dilakukan di tanah suci sangat utama dibanding di tempat-tempat
lainnya. Kerinduann untuk datang ke sana tidak tergantikan oleh apapun. Ya,
karena ibadah haji mempunyai nilai spiritual dan kemanusiaan yang luar biasa.
Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan sistem arisan. Sekelompok orang, misalnya, mengumpulkan sejumlah uang tertentu secara rutin setiap bulannya. Lalu, pada setiap tanhunnya, uang yang telah dikumpulkan diberikan kepada salah seorang dari kelompok itu untuk berhaji, kemudian pada tahun berikutnya giliran yang lainnya. Bagaimana kedudukan haji seperti ini? Lalu bagaimana jika Ongkos naik haji (ONH) berubah-ubah dan masing-masing orang diberangkatkan haji dengan biaya yang berbeda pula?
Masalah
pertama yang diangkat disini adalah soal persyaratan adanya “istitho’ah” atau
kemampuan dalam menjalankan ibadah haji. Bahwa orang Islam yang diwajibkan
untuk menjalankan ibadah haji atau “syarat wajib haji” adalah hanya ketika
seseorang telah berkemampuan. Lalu bagaimana dengan haji yang dilakukan oleh
mereka yang tidak berkemampuan?
Bahtsul masail diniyah waqiiyyah pada Muktamarke-28 Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta pada 26-29 Rabiul Akhir 1410 H / 25 – 28 November 1989 M lalu menyatakan bahwa haji yang dilakukan oleh orang yang belum memenuhi syarat istithoah tetap sah hukumnya.
فَمَنْ لَمْ يَكُنْ مُسْتَطِيْعاً لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ الْحَجُّ لَكِنْ اِذَا فَعَلَهُ أَجْزَأَهُ
Barangsiapa
yang belum memenuhi syarat istitoah maka tidak wajib baginya berhaji, namun
jika dia melakukannya maka itu tetap diperbolehkan, sebagaimana dalam kitab Asy
Syarqowi I, hal. 460.
Orang
yang fakir sekalipun tetap sah melakukan ibadah haji, apabila dia termasuk
mukallaf. Hal ini bisa dikiaskan dengan kebolehan orang yang sakit untuk tetap
melakukan shalat Jum’at, padahal sebenarnya ia tidak wajib melaksanakannya.
فَيُجْزِئُ حَجُّ الْفَقِيْرِ وَكُلُُّ عَاجِزٍ حَيْثُ اجْتَمَعَ فِيْهِ الْحُرِّيَّةُ وَالتَّكْلِيْفُ كَمَا لَوْ تَكَلَّفَ الْمَرِيْضُ حُضُوْرَ الْجُمْعَةِ
Sah
haji orang fakir dan semua orang yang tidak mampu selama ia termasuk orang
merdeka dan mukallaf (muslim, berakal dan baligh) sebagaimana sah orang yang
sakit memaksakan diri untuk melakukan shalat Jumat. Demikian seperti dikutip
dari kitab Nihayatul Muhtaj III, hal. 233.
Soal
haji arisan, musyawirin dalam muktamar itu sempat menyorot praktik yang sama
seperti digambarkan dalam kitab Al Quyubi II hal. 208. Ada kelompok wanita di
Irak yang masing-masing mengeluarkan sejumlah uang tertentu dan memberikannya
kepada salah seorang dari mereka secara bergantian sampai giliran yang
terakhir. Maka, maka yang demikian itu diperbolehkan oleh penguasa Irak waktu
itu.
Lalu,
bagaimana dengan persoalan ongkos haji yang selalu berubah-ubah dan cenderung
naik, bagaimana setorannya?
Musyawirin
memperhitungkan ongkos naik haji (ONH) yang dipergunakan oleh anggota arisan
sebagai pinjaman barang (al-iqradl). Akda pinjam-meminjam secara syar’i adalah
memberikan hak milik sesuatu dengan menggembalikan penggantinya yang persis
sama dengan yang dipinjamnya.
Maka
jika suatu saat ONH mengalami kenaikan, bisa jadi setoran arisan dinaikkan
sesuai kesepakatan anggota. Atau bisa jadi setoran haji tetap seperti semula
namun pemberangkatan salah seorang anggota menunggu sampai uang arisan haji
yang terkumpul sudah mencukupi.
Dengan
begitu uang yang dikeluarkan untuk memberangkatkan masing-masing anggota bisa
berbeda satu sama lain. Lalu, jika ONH dihitung sebagai pinjaman dan jika salah
seorang dari anggota (yang telah berhaji) meninggal dunia, maka setoran haji
menjadi tanggungan ahli warisnya, sampai semua kelompok arisan bisa
diberangkatkan haji. (A Khoirul Anam)
SUMBER : nu.or.id
26/112007
Posting Komentar
Posting Komentar