Sesungguhnya iradah adalah
kepedihan hati karena jeratan cinta kepada الله
الله SWT
berfirman :
ولا تطرد الذين يدعون ربهم بالغداة والعشي يريدون
وجهه
Dan
janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan
petang hari, sedangkan mereka menghendaki keridaan-Nya (Al-An’am 52).
Dari
Anas bin Malik diceritakan bahwa Nabi SAW bersabda, :
اذا اراد الله بعبد خيرا استعمله, قيل له كيف
يستعمله يا رسول الله ؟ قال : يوفقه لعمل صالح قبل الموت
Jika الله menghendaki
kebaikan seorang hamba maka dia dipekerjakan (dengan kebaikan itu). Seorang
sahabat bertanya, “Bagaimana ia dipekerjakan-Nya Yaرسول الله ?” Nabi menajwab, ‘Diberi pemahaman untuk beramal
kebajikan sebelum mati.”
Iradah (kehendak)
adalah awal perjalanan para salik yang sebenarnya merupakan nama bagi tahapan / maqam pertama
pendakian para salik untuk menuju ke hadiratالله.
Sifat ini dinamakan iradah karena iradah merupakan awal
segala urusan. Barang siapa tidak memiliki kehendak terhadap sesuatu maka
tidaklah mungkin ia melakukannya.
Segala
persoalan yang berkenaan dengan langkah awal perjalanan para salik dalam meniti
jalan menuju اللهdinamakan iradah. Kedudukannya
sama denganmukadimah dalam segala urusan yang berkaitan dengan tujuan.
Murid harus memiliki iradah sebagai belahan kesatuan
langkah-langkahnya sebagaimana seorang alim diharuskan memiliki ilmu sebagai
belahan kealimannya.Murid dalam pengertian ahli sufi bukanlah perwujudan
kehendak milik murid sendiri karena orang yang belum bisa memurnikan
dirnya sendiri dari eksistensi kehendak dirinya maka belumlah dinamakan murid.
Banyak
orang yang memberikan arti iradah, masing-masing mengungkapkannya
sebatas apa yang tersirat di dalam hatinya. Sementara para sufi mengatakan
bahwairadah adalah meninggalkan apa yang telah menjadi suatu
kebiasaan. Kebiasaan manusia pada umumnya adalah terpaku kepada hukum penapakan
pada tempat-tempat yang membuat dirinya lupa, percaya pada ajakan syahwatdan
cenderung mengikuti apa yang dibisikkan oleh harapan atau angan-angan. Sedangkan
seorang murid harus terlepas dari identitas ini. Semuanya tidak boleh melekat
pada dirinya. Kemampuan salik keluar dari kenyataan-kenyataan (semu)
iradahnya, menjadi bukti atas kebenaran iradah-Nya. Keadaan semacam
inilah yang dinamakan iradah yaitu keluarnya salik dari
hukum kebiasaan. Dengan demikian keberhasilan meninggalkan kebiasaan merupakan
tanda-tanda iradah, adapun hakikatnya adalah manifestasi kebangkitan
hati dalam pencarian Al-Haq. Karena itu dikatakan, “Sesungguhnyairadah adalah
kepedihan hati karena jeratan cinta kepada الله yang
mampu menghinakan setiap keharuan”.
Diceritakan
dari seorang guru sufi, “Suatu hari saya sendirian berada di sebuah pedusunan
yang sunyi. Tiba-tiba dada saya terasa sempit yang mendorong lidah saya
mengucapkan,’Wahai manusia, bicaralah kepada saya, wahai jin bicaralah kepada
saya’. Tiba-tiba sebuah suara tanpa bentuk menyahut, ‘Apa yang kamu kehendaki
?’ Saya menjawab, ‘الله’ yang saya kehendaki’. Dai kembali bertanya, ‘Kapan kamu
menghendaki الله ?’
Kisah
ini mengandung pelajaran tentang makna iradah. Orang tersebut mengatakan,
‘Bicaralah kepada saya’. Menunjukkan sebagai orang yang berkehendak (murid)
pada الله. Orang yang berkehendak (murid) selalu tidak tenang dan lemas
sepanjang malam dan siang. Dia dalamlahiriyahnya dihiasi dengan berbagai mujahadah dan
di dalam bathiniyahnya disifati dengan penahanan berbagai bentuk beban
kesulitan. Dia senantiasa menjauhkan diri dari tempat tidur, selalu siaga, siap
memikul berbagai kesulitan dan menanggung berbagai kepayahan, mengobati akhlak,
membiasakan diri dengan hal-hal yang berat, merangkul obyek-obyek yang
menakutkan dan memisahkan diri dengan berbagai bentuk eksistensi atau
simbol-simbol keperanan. Sebagaimana tersebut di dalam sebuah syair :
Kemudian
malam saya putus
Dalam
berbagai kenikmatannya
Tidak
ada singa yang saya takuti
Tidak
pun serigala
Rinduku
mengalahkan saya
Lalu
saya melipat rahasia saya
Dan
orang yang punya kerinduan
Memang
selalu dikalahkan
Ustadz
Abu Ali Ad-Daqaq pernah mengatakan, bahwa yang dimaksud iradah adalah
pedihnya kerinduan di dalam hati, sengatan yang menimpa hati, cinta yang
menyala-nyala dan membakar nurani, kecemasan yang menggedor dinding-dinding
bathin, api cahaya yang membakar kubah hati. Beliau juga mengatakan, “Saya di
dalam permulaan kerinduan, dalam keadaan terbakar di tungku perapianiradah.
Kemudian saya membisikkan ke dalam hati saya, “Duhai perasaan hati, alangkah
pedihnya ! Apa arti iradahitu ?”
Yusuf
bin Husin mengatakan, “Antara Abu Sulaiman Ad-Daraani dan Ahmad bin Abi
Al-Hiwari terikat tali perjanjian. Ahmad tidak bisa membantah setiap perintah
yang diberikan Abu Sulaiman. Suatu hari ia mendatangi Abu Sulaiman yang sedang
memberi fatwa di majlisnya, kemudian melapor, “Sesungguhnya bunga api telah
berpijar, menyala dan membakar, maka apa yang engkau perintahkan ?”
Abu
Sulaiman diam dan tidak menjawab. Ahmad mengulanginya hingga dua kali atau tiga
kali dan akhirnya mengatakan, ‘Abu Sulaiman pergi lalu duduk di dalamnya’.
(seakan-akannya sempit dan Abu Sulaiman lupa tentang Ahmad, kemudian ingat lagi
dan mengatakan, “Lihatlah Ahmad, sesungguhnya dia berada di dalam jilatan
cahaya. Dia mampu menguasai dirinya dengan tidak hendak menentang perintah
saya’. Kemudian mereka melihatnya, dan tiba-tiba Ahmad dalam pembakaran cahaya
yang tidak selembar rambutpun terbakar.
Dikatakan
bahwa diantara sifat-sifat murid adalah cinta amalan-amalan sunah,
ikhlas dalam memberikan nasihat asih, sopan, dan senang dengan kesenidrian,
sabar di dalam memikul segala kekerasan hukum, mengutamakan perintah, malu
terhadap suatu pandangan, pelimpahan tenaga dan anugerah pada apa yang
diperjuangkannya dengan penuh kecintaan, menyongsong segala sebab yang bisa
mengantarkannya kepada-Nya, puas terhadap segala bentuk kelemahan, dan
ketiadaan pengakuan hati akan ketersampaian diri kepada Tuhan.
Abu
Bakar Muhammad Al-Waraq berkata, “Penyakit muridada tiga macam, kawin,
catatan wicara, dan lembaran-lembaran”.
“bagaimana
mungkin tuan meninggalkan catatan wicara”. Tanya seseorang.
Ia
menjawaab, “sebab akan menjadi penghalangku dari perolehan iradah.
Hatim
Al-Asham mengatakan, “”Jika saya melihat seorang murid yang menghendaki selain
yang dia (Hatim) kehendaki, maka ketahuilah bahwa ia telah menampakkan
kerendahan”.
Diantara
hukum bagi murid ada tia hal : tidurnya karena bersangatan mengantuk, makannya
karena sangat butuh, dan ucapannya karena sangat terpaksa. Demikian nasihat
Muhammad Al-Kattani.
Jika الله menghendaki
murid kebaikan, maka Dia akan memposisikannya dalam sikap sufi dan
mencegahnya dari pergaulan para qari. Demikian fatwa Al-Junaid.
Pada
suatu hari Abu Ali Ad-Daqaq memberikan wejangan kepada para santri dan
mengatakan “Akhir iradah akan mengarahkan isyarat pada الله sehingga
menjumpai-Nya bersama isyarat”.
“Apa
yang dimuat dalam iradah ?”
Beliau
menjawab, “Engkau menjumpai الله dengan
tanpa isyarat”.
Pada
kesempatan lain Syaikh Abu Ali mengatakan, “Seorang murid tidak akan menjadi
murid hingga orang disebelah kirinya (malaikat pencatat kejahatan) tidak
menulisnya selama 20 tahun.”
Karena
itu Abu Utsman Al-Hirri menasihatkan, bahwa jika seorang murid mendengarkan
sesuatu dari ilmu-ilmu suatu kelompok masyarakat (ahli hikmah/syaikh), lalu
mengamalkannya, maka yang demikian itu dalam hatinya akan menjadi suatu hikmah
sampai akhir usianya, dan selama itu dia bisa mengambil manfaatnya. Seandainya
ia berbicara dengan ilmu tersebut maka orang yang medengarkannya pasti juga
akan memperoleh manfaat. Dan barang siapa mendengarkan ilmu dari mereka lalu
tidak mengamalkanya, maka hikayat yang diperoleh dan dijaganya akan masih tetap
terjaga tetapi kemudian hilang terlupakan. Barang siapa iradahnya tidak
sehat, maka perjalanan hari tidak akan menambahnya selain kemunduran.
Awal maqam murid
adalah munculnya iradah Al-Haqdengan menggugurkan iradahnya sendiri.
Demikian kata AL-Wasithi.
“Hal
yang memperberatkan murid adalah mempergauli musuh dengan baik”. Kata Yahya bin
Mu’adz.
“Jika
saya melihat murid sibuk dengan hal-hal yang ringan, dispensasi dan usaha
mencari nafkah, maka tidak ada sesuatu yang mendatanginya”. Demikain kata Yusuf
bin Husain.
Dalam
suatu kesempatan Imam Al-Junaid ditanya tentang masalah iradah dan murid. “Apa
yang dapat dimiliki para murid dengan perjalaan hikayat / manakib (orang –
orang saleh) ?”
Beliau
menjawab, “hikayat / manakib adalah tentara-tentara الله yang
dengannya dapat memperkuat hati seorang mukmin”.
“Apa
dalam hal ini Tuhan punya saksi ?”
“Ya,
yaitu firman الله yang berbunyi :
وكلا نقص عليك من أنباء الرسل ما نثبت به فؤادك
Dan
semua kisah dari Rasul-Rasul Kami ceritakan kepadamu yaitu kisah-kisah yang
dengannya Kami teguhkan hatimu (Hud 120)
Lebih
jauh Al-Junaid mengatakan, Murid yang benar adalah yang tidak butuh ilmu para
ulama. Seorang murid pada hakikatnya adalah orang yang dikehendaki الله karena
jika tidak dikehendaki الله (sehingga ia memiliki iradah), maka
ia bukan menjadi seorang murid / salik. Sedangkanmurad adalah murid karena
jika الله menghendaki seseorang untuk menjadi murid dengan
kekhususan, maka Dia akan memberi pemahaman akan makna iradah. Akan tetapi
para sufi membedakan antara murid dan murad.Murid bagi mereka
adalah seorang pemula sedangkanmurad adalah pamungkas. Murid ditegakkan
dengan mata kepayahan dan dilemparkan dalam kawah kesulitan-kesulitan sedangkan murad dicukupkan
dengan perintah yang tidak memiliki kesulitan. Murid adalah orang yang
aktif dan muncul sebagai subyek sedangkan murad adalah orang yang
diisi oleh الله, diberi faedah, dan dengannya dia disenangkan. sunatuLlah akan
bersama para perambah jalan menuju الله memiliki
bentuk yang berbeda-beda. Masing-masing memiiiki tingkatan hukum yang tidak
sama. Kebanyakan mereka memiliki anugerah dengan disertai syarat mujahadah,
kemudian mencapai maqamkedekatan dengan الله setelah
mengalami berbagai kesulitan dari tahun ke tahun dalam kurun waktu yang tidak
pendek. Sedangkan sebagian yang lain disingkapkan (terbuka) bathinnya sejak
permulaan usia dengan keagungan makna-Nya kemudian mencapai maqamkewalian
yang tidak dapat dicapai oleh kelompok ahli riyadhah atau mujahadah. Golongan
ahli riyadhah pada umumnya dalam pencapaian maqam kewalian akan
dilemparkan oleh الله kedalam penggemblengan mujahadah. Penggemblengan ini
terjadi setelah mereka memperoleh kesadaran hakikat. Tujuannya supaya mereka
memperoleh apa-apa yang terkandung dalam hukum riyadhah.
Syaikh
Abu Ali Ad-Daqaq juga berkata, murid adalah orang yang menanggung
sedang murad adalah orang yang ditanggung.” Beliau juga pernah
mejelaskan bahwa nabi Musa AS adalah seorang nabi yang menduduki jabatan
seorang murid. Karena itu di dalam doanya dia mengatakan, “رب اشرح لي صدري
Wahai
Tuhanku, lapangkanlah dadaku (Thaha 25)
Sedangkan
nabi kita Muhammad SAW adalah seorangmurad sehingga firman yang diwahyukan الله berbunyi
demikian :
الم نشرح لك صدرك, ووضعنا عنك وزرك, الذي أنقض
ظهرك,
ورفعنا لك ذكرك
Tidakkah
telah Kami lapangkan dadamu, dan Kami hilangkan bebanmu yang memberatkan
punggungmu, dan Kami tinggikan penyebutanmu (Alam Nasyrah 1-4)
Demikian
pula ketika Musa mengatakan,
رب أرنى أنظر اليك قال : لن ترانى
Tuhan
, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku sehingga aku dapat melihat-Mu. Tuhan
menjawab, “Kamu sekali-kali tidak dapat melihat-Ku”
Juga
ketika الله SWT berfirman kepada Nabi Muhammad SAW,
الم ترى الى ربك كيف مد الظل
Tidakkah
kamu melihat Tuhanmu bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang (Al-Furqan
45)
Kedua
konteks di atas menunjukkan bahwa Nabi Musa AS berada pada maqam murid sedang
nabi kita Muhammad SAW di maqam murad. Menurut syaikh Abu Ali Ad-Daqaq
maksud ayat “Apakah kamu tidak melihat Tuhanmu dan potongan
berikutnya Bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang adalah
merupakan penutupan kisah dan pembagusan keadaan.
Imam
Al-Junaid pernah ditanya tentang makna murid lalu dijawab, “murid
adalah orang yang dikuasai oleh siasat ilmu, sedangkan murad adalah yang
dikuasai oleh pemeliharaan dari Al-Haq secara langsung. Murid
berjalan sedangkan murad terbang. Maka kapan para pejalan dapat
menyusul mereka yang terbang.”
Dikisahkan
bahwa Dzunun pernah mengirimkan seorang utusan untuk menjumpai Abu Yazid Al
Bustami. Dia berpesan, “Katakan kepadanya, sampai kapan tidur dan istirahat ,
sementara kafilah telah berlalu”.
Setelah
utusan tersebut sampai dan telah mengatakan pesan dari Dzunun, maka Syaikh Abu
Yazid berkata, “Katakan kepada saudaraku Dzunun, orang alaki-laki adalah orang
yang tidur sepanjang malam dan memasuki waktu subuh telah sampai di tempat
sebelum kafilah sampai.”
“Betapa
Indahnya, ini adalah ucapan yang keadaan kami belum bisa mencapainya”. Sambut
Dzunun.
Sumber: hidangan-ilahi.blogspot.com
Posting Komentar
Posting Komentar