Membaca sajak-sajak KH Musthofa Bisri (Gus Mus) adalah seperti menyelam dalam kejernihan batin. Sajak-sajak Gus Mus merefleksikan kedalaman jiwa, olah rasa dan refleksi atas kondisi sosial yang jadi sengkarut hidup umat manusia. Sajak Gus Mus sering dianggap "balsem", dapat menyengat untuk menawarkan panas di tubuh dan telinga, sekaligus mencipta ketenangan. Sajak-sajak balsem karya Gus Mus ringan ditelinga dan sedap dibaca, meski menusuk dalam kelembutan batin. Itulah, sajak-sajak yang ia tulis dengan cinta.Sepanjang karirnya sebagai penyair, Gus Mus sangat peduli dengan tema-tema religiusitas dan cinta. Sajak-sajaknya menjadi cermin bening bagi umat manusia yang ingin mencari bahkan apa yang selama ini menjadi perjalanan panjang untuk menemukan cinta, menemu kebahagiaan. Gus Mus mengusap kata, menulis, dan merenungkan hakikat dengan ketenangan batin dan kejernihan hati.
Bagi Gus Mus Sang Kiai,
sastrawan, pelukis, budayawan, dan seabgreg sebutan lain mendedikasikan
sajaknya untuk semua, tanpa sekat agama, etnis, kebudayaan bahkan watak
manusia. Sajak Gus Mus menyelam dalam, menelusup pada ruang yang sering menjadi
wadah kedengkian, sajak yang ditulis dengan hati.
Gus Mus, salah satu sastrawan
penting yang lahir dari pesantren. Ia lahir di Rembang, pada 10 Agustus 1944,
dari keluarga penulis dan pengasuh pesantren. Ziarah keilmuan dari pesantren ke
pesantren, serta renungan terhadap kemanusiaan menjadikan sajaknya mengalunkan
ritme tentang kisah-kisah manusia. Selama 1991-2002, Gus Mus telah menulis
beberapa buku: Ohoi (1991), Tadarus (1993), Pahlawan dan Tikus (1995), Rubayat
Angin dan Rumput (1995), Wekwekwek: Sajak-sajak Bumilangit (1996), Negeri
Daging (2002), dan Gandrung (2005). Tentu saja, esai-esainya yang bernas juga
selalu ditunggu pembaca.
Bagi Gus Mus, cinta akan
menjadi sesuatu yang sederhana, namun mewakili perasaan: kepercayaan dan bahasa
hati. Cinta tidak diwakili oleh bujuk rayuan, hadiah mewah ataupun citra
artifisial yang lain. Cinta mewujud dalam sikap dan keteguhan batin untuk
saling mengisi perasaan. Sajak Gus Mus berjudul "Hanin",
merefleksikan cinta yang sederhana: mestinya malam ini/ bisa sangat istimewa/
seperti dalam mimpi-mimpiku/ selama ini. kekasih, jemputlah aku/ kekasih,
sambutlah aku/ aku akan menceritakan kerinduanku/ dengan kata-kata biasa/ dan
kau cukup tersenyum memahami deritakulalu kuletakkan kepalaku yang penat/ di
haribaanmu yang hangat/ kekasih, tetaplah di sisiku/ kekasih, tataplah mataku.
tapi seperti biasa/ sekian banyak yang ingin kukatakan tak terkatakan/ sekian
banyak yang ingin kuadukan/ diambilalih oleh airmataku/ kekasih, dengarlah
dadaku/ kekasih, bacalah airmataku/ malam ini belum juga/ seperti
mimpi-mimpiku/ selama ini.
Rindu, sesuatu yang berkawan
akrab dengan cinta, hadir mewakili malam. Ia tergopoh-gopoh untuk menyapa
malam, namun sengaja menjauh dari siang. Sebab malam, yang selalu sunyi dan
menyendiri, menjadi ruang kontemplasi batin paling efektif untuk mencari jejak
sebenarnya tentang makna cinta: malam ini/ lagi-lagi kau biarkan
sepi mewakilimu. Cinta dan malam, kadang kala hanya menghadirkan sepi.
Sajak "Hanin" Gus
Mus, menjelma sebagai puisi cinta yang hangat sekaligus ramah. Puisi ini tak
hanya mencipta rasa tenang, namun juga menjadi pertautan hati antar hati untuk
senantiasa saling mengisi.
Pertautan makna antar hati yang
dinarasikan dalam sajak-sajak cinta Gus Mus, tentu saja menjadi hikmah berharga
bagi siapa saja yang berusaha menyesapnya untuk mengais makna dari apa yang
paling dicari oleh manusia: kebahagiaan. Dan, cinta serta cita, yang menuntun
manusia untuk menjemput hasratnya dengan dua jalan lempang: kebaikan dan
kedhaifan meski hasratku tak tertahankan/ meski semua pintu kau bukakan/ meski
semua isyaratmu menjanjikan/ -mengingat kedaifan diri dan lika-liku jalan-/
akankah sampai padamu (Labirin, dalam Gandrung, 2005: 42).
Hasrat, adalah bahasa hati. Ia
bagian komunikasi yang dibagun dengan rasa. Lalu, kemudian mencari makna untuk
mencipta terang-gelap dalam nuansa cinta.
Sajak-sajak cinta Gus Mus tak
berumah pada kekosongan. Ia menjadi jalan menuju pada apa yang menjadi hakikat
makhluk: menuju Tuhan. Gus Mus menulis sajak-sajak cinta tidak dibarengi dengan
egoisme dan nafsu. Akan tetapi menjadi doa, memantik ingat dan menjelma rasa
untuk menjemput hakikat kemanusiaan.
Hakikat kemanusiaan inilah yang
didengungkan Gus Mus di pelbagai forum: pengajian, khotbah, diskusi ilmiah,
sampai silaturahim antar santri. Gus Mus selalu mengingatkan, agar manusia
mencintai sesama, berdasarkan fitrah kemanusiaan. Lalu, cinta membutuhkan
renungan, kejernihan batin dan manajemen perasaan agar dapat mencari jalan
benar menuju hakikatnya.
Sajak "Kalau Kau Sibuk
Kapan Kau Sempat" merefleksikan hal ini:
Kalau kau sibuk bermain cinta
saja/ Kapan kau sempat merenungi arti cinta?/ Kalau kau sibuk merenung arti
cinta saja/ Kapan kau bercinta?
Ternyata, cinta tak hanya patut
direnungi, tetapi dilakukan, dialami. Dengan begitu manusia akan mengerti
hakikat sebenarnya dari perasaan dirinya. Apakah menuju jalan yang benar menuju
Sang Pencipta, atau hanya dilandasi nafsu membahana. Maka, di sela puisinya,
Gus Mus mentransformasikan rasa menuju langit, menuju pintu kesejatian mencari
Cahaya Illahi:Kalau kau sibuk berdzikir saja/ Kapan kau sempat menyadari
keagungan yang kau dzikiri?/ Kalau kau sibuk dengan keagungan yang kau dzikiri
saja/ Kapan kau kan mengenalnya?
Dzikir, sebagaimana cinta,
adalah ritual yang dibangun dari perasaan dan kerendahan hati. Sebuah tarekat,
atau lorong panjang bagi seorang salik, untuk menemu hakikat sebenarnya dari
manusia dan kemanusiaan. Dan, yang sebenarnya, cinta, dzikir ataupun ritual
transendental lainnya, tidak dibahasakan dalam egoisme, dalam ungkapan untuk
mencari simpati atau pencitraan diri. Sajak "Aku Tak Kan Memperindah
Kata-kata", seolah menempeleng mereka yang cari simpati dengan memainkan
citra diri.aku tak kan memperindah kata-katakarena aku hanya ingin
menyatakancinta dan kebenaranadakah yang lebih indah daricinta dan kebenaran
maka memerlukan kata-kata indah?
Sajak-sajak cinta Gus Mus,
serupa cahaya yang mencipta terang hati yang gelap, jiwa-jiwa yang penat. Ia
menjadi tadarus bagi malam-malam sunyi. Dengan sajak cintanya, Gus Mus
membuktikan bahwa cinta tidak hanya menjadi alasan untuk nafsu, akan tetapi lorong
menuju menuju kemuliaan. ***
* Munawir Aziz, penulis buku
"Dinamika Identitas Orang Pesisiran" (2013).
Alumnus Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS),
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta.
Sumber: suarakarya-online.com
Posting Komentar
Posting Komentar