Melakukan thoriqoh harus dibimbing oleh guru yang disebut Mursyid atau Syekh, tidak bisa sembarangan. Syekh inilah yang bertanggung jawab terhadap murid-muridnya. Ia mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriyah serta rohaniyah. Bahkan seorang Syekh adalah sebagai perantara (robithoh) antara murid dengan Tuhan dalam beribadah. Karena itu seorang Syekh haruslah sempurna suluk-nya dalam ilmu syari’at dan hakikat menurut Al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’./Jamiul Ushul Fil Auliya’ Wa Anwa’ihim hal. 75-76./
Dalam kitab Khozinatul Asror, Syekh Suhrowardi dalam salah satu wasiatnya
berkata :
-Seorang syek Mursyid itu mesti menjalani tarekat yang haq; yaitu terpelihara
dari akhlak yang buruk/hina.
-Statusnya sebagai pengganti/penerus Rasulullah Saw. "al-ulamaa-u warotsaatul
ambiyaa".
-Dia seorang pengikut yang setia seorang syekh yang mata hati/bathinnya bisa
melihat dan silsilahnya bersambung kepada Rasulullah Saw.
-Dia adalah seorang yang 'alim/berilmu bukan orang yang bodoh/Jahil.
-Tidak mencintai dunia. Bukan berarti harus miskin. Jangan sampai hatinya
disibukkan oleh urusan-urusan dunia.
-Dia harus sanggup melatih nafsunya sendiri, diantaranya melatih sedikit makan,
sedikit tidur, sedikit bicara atau tidak bicara yang tidak perlu.
-Banyak sholatnya.
-Banyak sodaqohnya.
-Banyak puasanya.
-Akhlaknya seperti Rasulullah Saw.
Mursyid adalah guru yang membimbing kepada murid untuk berjalan menuju Allah
Swt dengan menapaki jalannya. Dengan bimbingan guru itu, murid meningkat
derajatnya di sisi Allah, mencapai Rijalallah, dengan berbekal ilmu syariat dan
ilmu hakikat yang diperkuat oleh al Qur’an dan as sunah serta mengikuti jejak
ulama pewaris nabi dan ulama yang telah terdidik oleh mursyid sebelumnya dan
mendapat izin dari guru di atasnya untuk mengajar umat. Guru yang dimaksud
adalah guru yang hidup sezaman dengan murid dan mempunyai tali keguruan sampai
nabi Muhammad Saw. Guru yang demikian itu adalah yang sudah Arif Billah, tali
penyambung murid kepada Allah, dan merupakan pintu bagi murid masuk kepada
istana Allah. Dengan demikian guru merupakan faktor yang penting bagi murid
untuk mengantarkannya menuju diterimanya taubat dan dibebaskannya dari
kelalaian.
Dalam perjalanan menuju Allah Swt, murid wajib baginya menggunakan mursyid atau
pembimbing. Syekh Abu Yazid al Busthomi berkata :
مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ يُرْشِدُهُ فَمُرْشِدُهُ شَيْطَانٌ
Orang yang tidak mempunyai syeikh mursyid, maka syekh mursyidnya adalah syetan.
Muhammad Amin al Kurdi dalam kitanya yang bejudul Tanwirul Qulub fi mu’amalati
‘alamil ghulub menjelaskan bahwa pada saat murid ingin meniti jalan menuju
Allah (thareqatullah), ia harus bangkit dari kelalaian. Perjalanan itu harus
didahului dengan taubat dan segala dosa kemudian ia melakukan amal saleh.
Setelah itu ia harus mencari seorang guru mursyid yang ahli keruhanian yang
mengetahui penyakit-penyakit kejiwaan dari murid-muridnya. Guru tersebut hidup
semasa dengannya. Yaitu seorang guru yang terus meningkatkan diri ke berbagai
kedudukan kesempurnaan, baik secara syariat maupun hakikat. Perilakunya juga
sejalan dengan al Qur’an dan al Sunnah serta mengikuti jejak langkah para ulama
pendahulunya. Secara berantai hingga kepada Nabi Saw. Gurunya itu juga telah
mendapat lisensi atau izin dari kakek gurunya untuk menjadi seorang mursyid dan
pembimbing keruhanian kepada Allah Swt, sehingga murid berhasil diantarkan
kepada maqam-maqam dalam tasawuf dan thareqat. Penentuan guru ini juga tidak
boleh atas dasar kebodohan dan mengikuti nafsu. (Amin al Kurdi, Tanwirul Qulub,
hlm.524)
Sebelum ia menjadi mursyid yang arif billahi, seseorang harus mendapat tarbiah
atau pendidikan dari guru yang selalu mengawasi perkembangan ruhani murid,
sehingga murid mencapai maqam ‘shiddiq’. Kemudian diizinkan oleh guru untuk
membaiat kepada calon murid dengan mengajari mereka.
Tampilnya menjadi mursyid itu bukan kehendak dirinya tapi kehendak gurunya,
dengan demikian orang yang memunculkan dirinya sebagai mursyid tanpa seizin
guru maka ia sangat membahayakan kepada calon muridnya. Murid yang di bawah
bimbingannya itu akan mengalami keterputusan. Berarti mursyid yang palsu ini
menjadi penghalang muridnya menuju Allah dan dosa-dosa mereka akan ditanggung
oleh mursyid jadi-jadian itu. (Amin al Kurdi: tt, hlm. 525)
Seluruh pembelajaran dan pengajaran serta bimbingan mesti bersesuaian dengan
isi, terutama bagian dalam al Qur’an dan al Sunnah serta sesuai dengan apa yang
dicontohkan oleh nabi dan ulama pewarisnya. Orang yang menyandang demikian
itulah yang layak dicontoh / diteladani oleh murid-muridnya, syaikh Imam Junaid
al Baghdadi mengatakan :
عَلِمْنَا هَذَا مُقَيَّدٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَمَنْ لَمْ يَقْرَإِ اْلكِتَابَ
وَلَمْ يَكْتُبِ الْحَدِيْثَ وَلَمْ يَجْلِسِ اْلعُلَمَاءَ لاَ يُقْتَدَى فِى هَذَا
الشَّأْنِ
Ilmu kami diperkuat dengan dalil-dalil al Qur’an dan al Hadits, maka siapa yang
tidak membaca al Qur’an dan tidak menulis hadits, serta tidak duduk
sering-sering dengan ulama, maka ia tidak layak menjadi panutan di dalam
perkara-perkara (thareqat) ini.
Dengan keterangan di atas, mursyid semestinya adalah orang yang tergolong
ulama, pemimpin umat yang bersifat kamil lagi mukammil yakni pribadinya bersih
dan suci serta berakhlak yang terpuji, dan mampu menyempurnakan akhlak
murid-muridnya. Mursyid adalah kuat keyakinannya dan menjadi kekasih Tuhan,
membawa berkah untuk umatnya serta rahmat bagi kaumnya. Ia mengetahui berbagai
penyakit ruhani dan jasmani muridnya, mampu menyembuhkan penyakit-penyakit
tersebut atau mampu mengajarkan teknik-teknik penyembuhan dan pengobatan
jasmani dan ruhani. Mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang rumit yang
membelenggu umat dengan kekeramatan dan maunah yang diberikan oleh Allah
kepadanya.
Mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing dalam dunia thariqah, yang
telah memperoleh izin dan ijazah dari guru mursyid di atasnya yang terus
bersambung sampai kepada Guru Mursyid Shohibut Thariqah yang
musalsal(silsilahnya) dari Rasulullah SAW untuk mentalqin dzikir/wirid thariqah
kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid). Dalam Thariqah
Tijaniyah sebutan untuk mursyid adalah "muqoddam". Mursyid mempunyai
kedudukan yang penting dalam thariqah. Karena ia tidak saja merupakan seorang
pembimbing yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriyah sehari-hari
agar tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Islam dan terjerumus kedalam
kemaksiatan, tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian bagi para muridnya
agar bisa wushul (terhubung) dengan Allah SWT. Karena ia merupakan washilah
(perantara) antara si murid dengan Allah SWT. Demikian keyakinan yang terdapat
di kalangan ahli thariqah.
Oleh karena itu, jabatan ini tidak boleh dipangku oleh sembarang orang,
sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thariqah cukup lengkap. Tetapi yang
terpenting adalah ia harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang
tulus dan suci.
Bermacam-macam sebutan yang mulia diberikan kepada seorang guru mursyid ini;
seperti Nasik (orang yang sudah bisa mengerjakan mayoritas perintah agama),
Abid (orang yang ahli dan ikhlas mengerjakan segala ibadahnya), Imam (orang
yang ahli memimpin tidak saja dalam segala bentuk ibadah syari'at, tetapi juga
dalam masalah aqidah/keyakinan), Syaikh (orang yang menjadi sesepuh atau yang
dituakan dari suatu perkumpulan), Saadah (penghulu atau orang yang dihormati
clan diberi kekuasaan penuh) dan lain sebagainya.
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi.ra, seorang penganut Thariqah Naqsyabandiyah yang
bermadzhab Syafi'i dalam kitabnya Tanwirul Qulub fii Mu'amalati Allamil Ghuyub
menyatakan bahwa yang dinamakan Syaikh/Mursyid itu adalah orang yang sudah
mencapai maqom Rijalul Kamal, seorang yang sudah sempurna suluk/lakunya dalam
ilmu syari'at dan hakikat menurut Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma'. Hal yang
demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang mursyid
yang mempunyai maqom (kedudukan) yang lebih tinggi darinya, yang terus
bersambung sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang bersumber dari Allah SWT
dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan wasiat (bai'at) dan memperoleh izin
maupun ijazah untuk menyampaikan ajaran-ajaran suluk dzikir itu kepada orang
lain.
Seorang mursyid yang diakui keabsahannya itu sebenamya tidak boleh dari seorang
yang jahil, yang hanya ingin menduduki jabatan itu karena didorong oleh nafsu
belaka. Mursyid yang arif yang memiliki sifat-sifat dan kesungguhan seperti
yang tersebut diatas itulah yang diperbolehkan memimpin suatu thariqah. Mursyid
merupakan penghubung antara para muridnya dengan Allah SWT, juga merupakan
pintu yang harus dilalui oleh setiap muridnya untuk menuju kepada Allah SWT.
Seorang syaikh/mursyid yang tidak mempunyai mursyid yang benar diatasnya,
menurut Al-Kurdi, maka mursyidnya adalah syetan. Seseorang tidak boleh
melakukan irsyad (bimbingan) dzikir kepada orang lain kecuali setelah
memperoleh pengajaran yang sempurna dan mendapat izin atau ijazah (khirqoh)
dari guru mursyid di atasnya yang berhak clan mempunyai silsilah yang benar
sampai kepada Rasulullah SAW.
Al-Imam Ar-Rozy menyatakan bahwa seorang syaikh yang tidak berijazah (tidak ada
amanat dari mursyid sebelumnya untuk menjadi mursyid) dalam pengajarannya akan
lebih merusakkan daripada memperbaiki, dan dosanya sama dengan dosa seorang
perampok, karena dia menceraikan murid-murid yang benar dari
pemimpin-pemimpinnya yang arif.
Posting Komentar
Posting Komentar