Menu

TQN PP.Suryalaya

 

Melakukan thoriqoh harus dibimbing oleh guru yang disebut Mursyid atau Syekh, tidak bisa sembarangan. Syekh inilah yang bertanggung jawab terhadap murid-muridnya. Ia mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriyah serta rohaniyah. Bahkan seorang Syekh adalah sebagai perantara (robithoh) antara murid dengan Tuhan dalam beribadah. Karena itu seorang Syekh haruslah sempurna suluk-nya dalam ilmu syari’at dan hakikat menurut Al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’.
/Jamiul Ushul Fil Auliya’ Wa Anwa’ihim hal. 75-76./
Dalam kitab Khozinatul Asror, Syekh Suhrowardi dalam salah satu wasiatnya berkata :
-Seorang syek Mursyid itu mesti menjalani tarekat yang haq; yaitu terpelihara dari akhlak yang buruk/hina.
-Statusnya sebagai pengganti/penerus Rasulullah Saw. "al-ulamaa-u warotsaatul ambiyaa".
-Dia seorang pengikut yang setia seorang syekh yang mata hati/bathinnya bisa melihat dan silsilahnya bersambung kepada Rasulullah Saw.
-Dia adalah seorang yang 'alim/berilmu bukan orang yang bodoh/Jahil. 
-Tidak mencintai dunia. Bukan berarti harus miskin. Jangan sampai hatinya disibukkan oleh urusan-urusan dunia.
-Dia harus sanggup melatih nafsunya sendiri, diantaranya melatih sedikit makan, sedikit tidur, sedikit bicara atau tidak bicara yang tidak perlu.
-Banyak sholatnya. 
-Banyak sodaqohnya.
-Banyak puasanya.
-Akhlaknya seperti Rasulullah Saw. 

Mursyid adalah guru yang membimbing kepada murid untuk berjalan menuju Allah Swt dengan menapaki jalannya. Dengan bimbingan guru itu, murid meningkat derajatnya di sisi Allah, mencapai Rijalallah, dengan berbekal ilmu syariat dan ilmu hakikat yang diperkuat oleh al Qur’an dan as sunah serta mengikuti jejak ulama pewaris nabi dan ulama yang telah terdidik oleh mursyid sebelumnya dan mendapat izin dari guru di atasnya untuk mengajar umat. Guru yang dimaksud adalah guru yang hidup sezaman dengan murid dan mempunyai tali keguruan sampai nabi Muhammad Saw. Guru yang demikian itu adalah yang sudah Arif Billah, tali penyambung murid kepada Allah, dan merupakan pintu bagi murid masuk kepada istana Allah. Dengan demikian guru merupakan faktor yang penting bagi murid untuk mengantarkannya menuju diterimanya taubat dan dibebaskannya dari kelalaian.

Dalam perjalanan menuju Allah Swt, murid wajib baginya menggunakan mursyid atau pembimbing. Syekh Abu Yazid al Busthomi berkata :

مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ يُرْشِدُهُ فَمُرْشِدُهُ شَيْطَانٌ

Orang yang tidak mempunyai syeikh mursyid, maka syekh mursyidnya adalah syetan.

Muhammad Amin al Kurdi dalam kitanya yang bejudul Tanwirul Qulub fi mu’amalati ‘alamil ghulub menjelaskan bahwa pada saat murid ingin meniti jalan menuju Allah (thareqatullah), ia harus bangkit dari kelalaian. Perjalanan itu harus didahului dengan taubat dan segala dosa kemudian ia melakukan amal saleh. Setelah itu ia harus mencari seorang guru mursyid yang ahli keruhanian yang mengetahui penyakit-penyakit kejiwaan dari murid-muridnya. Guru tersebut hidup semasa dengannya. Yaitu seorang guru yang terus meningkatkan diri ke berbagai kedudukan kesempurnaan, baik secara syariat maupun hakikat. Perilakunya juga sejalan dengan al Qur’an dan al Sunnah serta mengikuti jejak langkah para ulama pendahulunya. Secara berantai hingga kepada Nabi Saw. Gurunya itu juga telah mendapat lisensi atau izin dari kakek gurunya untuk menjadi seorang mursyid dan pembimbing keruhanian kepada Allah Swt, sehingga murid berhasil diantarkan kepada maqam-maqam dalam tasawuf dan thareqat. Penentuan guru ini juga tidak boleh atas dasar kebodohan dan mengikuti nafsu. (Amin al Kurdi, Tanwirul Qulub, hlm.524)

Sebelum ia menjadi mursyid yang arif billahi, seseorang harus mendapat tarbiah atau pendidikan dari guru yang selalu mengawasi perkembangan ruhani murid, sehingga murid mencapai maqam ‘shiddiq’. Kemudian diizinkan oleh guru untuk membaiat kepada calon murid dengan mengajari mereka.

Tampilnya menjadi mursyid itu bukan kehendak dirinya tapi kehendak gurunya, dengan demikian orang yang memunculkan dirinya sebagai mursyid tanpa seizin guru maka ia sangat membahayakan kepada calon muridnya. Murid yang di bawah bimbingannya itu akan mengalami keterputusan. Berarti mursyid yang palsu ini menjadi penghalang muridnya menuju Allah dan dosa-dosa mereka akan ditanggung oleh mursyid jadi-jadian itu. (Amin al Kurdi: tt, hlm. 525)

Seluruh pembelajaran dan pengajaran serta bimbingan mesti bersesuaian dengan isi, terutama bagian dalam al Qur’an dan al Sunnah serta sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh nabi dan ulama pewarisnya. Orang yang menyandang demikian itulah yang layak dicontoh / diteladani oleh murid-muridnya, syaikh Imam Junaid al Baghdadi mengatakan :
عَلِمْنَا هَذَا مُقَيَّدٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَمَنْ لَمْ يَقْرَإِ اْلكِتَابَ وَلَمْ يَكْتُبِ الْحَدِيْثَ وَلَمْ يَجْلِسِ اْلعُلَمَاءَ لاَ يُقْتَدَى فِى هَذَا الشَّأْنِ
Ilmu kami diperkuat dengan dalil-dalil al Qur’an dan al Hadits, maka siapa yang tidak membaca al Qur’an dan tidak menulis hadits, serta tidak duduk sering-sering dengan ulama, maka ia tidak layak menjadi panutan di dalam perkara-perkara (thareqat) ini.

Dengan keterangan di atas, mursyid semestinya adalah orang yang tergolong ulama, pemimpin umat yang bersifat kamil lagi mukammil yakni pribadinya bersih dan suci serta berakhlak yang terpuji, dan mampu menyempurnakan akhlak murid-muridnya. Mursyid adalah kuat keyakinannya dan menjadi kekasih Tuhan, membawa berkah untuk umatnya serta rahmat bagi kaumnya. Ia mengetahui berbagai penyakit ruhani dan jasmani muridnya, mampu menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut atau mampu mengajarkan teknik-teknik penyembuhan dan pengobatan jasmani dan ruhani. Mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang rumit yang membelenggu umat dengan kekeramatan dan maunah yang diberikan oleh Allah kepadanya.

Mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing dalam dunia thariqah, yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru mursyid di atasnya yang terus bersambung sampai kepada Guru Mursyid Shohibut­ Thariqah yang musalsal(silsilahnya) dari Rasulullah SAW untuk mentalqin dzikir/wirid thariqah kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid). Dalam Thariqah Tijaniyah sebutan untuk mursyid adalah "muqoddam". Mursyid mempunyai kedudukan yang penting dalam thariqah. Karena ia tidak saja merupakan seorang pembimbing yang mengawasi murid­-muridnya dalam kehidupan lahiriyah sehari-hari agar tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Islam dan terjerumus kedalam kemaksiatan, tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian bagi para muridnya agar bisa wushul (terhubung) dengan Allah SWT. Karena ia merupakan washilah (perantara) antara si murid dengan Allah SWT. Demikian keyakinan yang terdapat di kalangan ahli thariqah.

Oleh karena itu, jabatan ini tidak boleh dipangku oleh sembarang or­ang, sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thariqah cukup lengkap. Tetapi yang terpenting adalah ia harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang tulus dan suci.

Bermacam-macam sebutan yang mulia diberikan kepada seorang guru mursyid ini; seperti Nasik (orang yang sudah bisa mengerjakan mayoritas perintah agama), Abid (orang yang ahli dan ikhlas mengerjakan segala ibadahnya), Imam (orang yang ahli memimpin tidak saja dalam segala bentuk ibadah syari'at, tetapi juga dalam masalah aqidah/keyakinan), Syaikh (or­ang yang menjadi sesepuh atau yang dituakan dari suatu perkumpulan), Saadah (penghulu atau orang yang dihormati clan diberi kekuasaan penuh) dan lain sebagainya.

Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi.ra, seorang penganut Thariqah Naqsyabandiyah yang bermadzhab Syafi'i dalam kitabnya Tanwirul Qulub fii Mu'amalati Allamil Ghuyub menyatakan bahwa yang dinamakan Syaikh/Mursyid itu adalah orang yang sudah mencapai maqom Rijalul Kamal, seorang yang sudah sempurna suluk/lakunya dalam ilmu syari'at dan hakikat menurut Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma'. Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang mursyid yang mempunyai maqom (kedudukan) yang lebih tinggi darinya, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang bersumber dari Allah SWT dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan wasiat (bai'at) dan memperoleh izin maupun ijazah untuk menyampaikan ajaran-ajaran suluk dzikir itu kepada orang lain.

Seorang mursyid yang diakui keabsahannya itu sebenamya tidak boleh dari seorang yang jahil, yang hanya ingin menduduki jabatan itu karena didorong oleh nafsu belaka. Mursyid yang arif yang memiliki sifat-sifat dan kesungguhan seperti yang tersebut diatas itulah yang diperbolehkan memimpin suatu thariqah. Mursyid merupakan penghubung antara para muridnya dengan Allah SWT, juga merupakan pintu yang harus dilalui oleh setiap muridnya untuk menuju kepada Allah SWT. Seorang syaikh/mursyid yang tidak mempunyai mursyid yang benar diatasnya, menurut Al-Kurdi, maka mursyidnya adalah syetan. Seseorang tidak boleh melakukan irsyad (bimbingan) dzikir kepada orang lain kecuali setelah memperoleh pengajaran yang sempurna dan mendapat izin atau ijazah (khirqoh) dari guru mursyid di atasnya yang berhak clan mempunyai silsilah yang benar sampai kepada Rasulullah SAW. 

Al-Imam Ar-Rozy menyatakan bahwa seorang syaikh yang tidak berijazah (tidak ada amanat dari mursyid sebelumnya untuk menjadi mursyid) dalam pengajarannya akan lebih merusakkan daripada memperbaiki, dan dosanya sama dengan dosa seorang perampok, karena dia menceraikan murid-murid yang benar dari pemimpin-pemimpinnya yang arif.

Posting Komentar

 
Top