Oleh: Rosita Budi Suryaningish ~
Islam masuk lewat jalur perkawaninan.
Gorontalo adalah provinsi baru yang letaknya di Sulawesi bagian utara. Daerah
ini punya jejak zaman kepemimpinan di masa dulu, termasuk kepemimpinan
dalam kerajaan Islam.
Sebelum berdiri kerajaan Islam, di Gorontalo ada banyak kerajaan-kerajaan
kecil. Hingga pada 1385, sejumlah 17 kerajaan kecil tersebut sepakat membentuk
sebuah serikat kerajaan. Diangkatlah Maharaja Ilahudu untuk memimpin serikat
kerajaan yang disebut dengan Kerajaan Hulondalo.
Menyebut Hulondalo,
berarti sama artinya dengan Gorontalo. Hulondalo berasal dari kata Hulonthalangi dari
istilah Huta Langi-langi,
yang dalam bahasa setempat artinya genangan air. Orang Belanda menyebutnya
dengan Holontalo,
yang apabila ditulis dalam abjad latin menjadi Gorontalo.
Nilai budaya yang dianut adalah yang berbasiskan pandangan harmoni dengan
mengambil pelajaran yang ditunjukkan oleh alam. Ini berarti penduduknya
menganut kepercayaan animisme. Kemudian, Islam mulai masuk ke Gorontalo.
Peneliti sejarah sosial dari Universitas Negeri Gorontalo, Basri Amin, menjelaskan
mengenai masa-masa ketika Islam masuk ke Gorontalo. "'Sekitar 1525, Islam
mulai masuk dalam wilayah kerajaan ini. Islam dibawa oleh sang raja saat itu, Raja Amai," ujarnya
kepada Republika, pekan lalu.
Islam kala itu masuk melalui jalur perkawinan. Raja Amai menikahi
putri dari kerajaan Palasa, bernama
Owutango. Kerajaan Palasa ini berada di Teluk Tomini dan rajanya sudah Islam.
Sang putri sendiri punya hubungan keluarga dengan pihak kerajaan di Ternate,
yang telah lebih dahulu mengenal Islam.
Dari sini bisa terlihat, pihak kerajaan memahami Islam dan ingin menjalankan
kerajaan sesuai tuntunan Islam. "Karena Islam, maka bentuk kerajaannya pun
menjadi kesultanan," ujarnya.
Pendapat berbeda diungkapkan oleh guru besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarief Hidayatullah, Jakarta,
Prof Dien Majid. Menurutnya, bentuk kerajaan tetap bisa dipertahankan meski
rajanya telah Islam.
Dalam bentuk pemerintahan dulu, ia menjelaskan, dikenal bentuk kerajaan yang
bersifat tradisional. Mulai abad ke-13, ketika Islam mulai masuk nusantara,
maka dikenallah sistem pemerintah yang sesuai dengan ajaran Islam, yaitu
kesultanan.
"Meski
demikian, masih ada yang tetap menggunakan nama kerajaan, namun jabatan
pemimpinnya disebut dengan sultan," ujarnya.
Salah satunya, ia mencontohkan adalah kerajaan di Aceh, namanya tetap kerajaan,
namun pemimpinnya bergelar sultan. Hal yang sama terjadi juga di Gorontalo.
Dosen Fakultas Sastra dan Budaya
Universitas Negeri Gorontalo, Mohammad Karmin Baruadi, juga
menjelaskan sejarah kerajaan Gorontalo dalam tulisannya yang berjudul Sendi Adat Dan Eksistensi
Sastra: Pengaruh Islam Dalam Nuansa Budaya Lokal Gorontalo.
"Tokoh yang sangat berperan dengan pemikirannya yang religius Islami
adalah istri Amai sendiri yang bernama putri raja Palasa," tulisnya.
Awalnya, saat Raja Amai ingin
meminangnya, sang putri yang berasal dari kerajaan Islam di Sulawesi Tengah
inipun mengajukan beberapa persyaratan.
Pertama, Sultan Amai dan rakyat Gorontalo harus diislamkan, dan yang kedua adat
kebiasaan dalam masyarakat Gorontalo harus bersumber dari Alquran.
"Dua syarat itu diterima oleh Amai. Di sinilah awal Islam menjadi
kepercayaan penduduk Gorontalo," tulisnya.
Sebelum menikah Raja Amai mengumpulkan seluruh rakyatnya. Raja Amai dengan
terang-terangan mengumumkan diri telah memeluk agama Islam secara sah dan
kemudian meminta seluruh pengikutnya untuk melakukan pesta meriah.
Pada pesta tersebut Raja Amai meminta
kepada rakyatnya untuk menyembelih babi disertai dengan pelaksanaan sumpah
adat. Saat pendeklarasian sumpah tersebut, adalah hari terakhir rakyat
Gorontalo memakan babi.
Usai proses sumpah adat, Raja Amai kemudian meminta rakyatnya untuk masuk Islam
dengan membaca dua kalimat syahadat. Ia sendiri kemudian mengganti gelarnya
dengan gelar raja Islam, yaitu sultan.
Prinsip hidup baru ini, mudah diterima oleh masyarakat Gorontalo saat itu, yang
tidak tersentuh oleh Hindu-Buddha. Masyarakat merasakan tidak ada pertentangan
antara adat dan Islam, namun justru memperkuat dan membimbing pelaksanaannya.
Pada 1550, Sultan Amai digantikan oleh putera mahkotanya, Matolodula Kiki.
Sultan kedua kesultanan Gorontalo ini menyempurnakan konsep kerajaan Islam yang
dirintis oleh ayahnya.
Ia pun melahirkan rumusan adati hula-hula'a to sara'a dan sara'a hula-hula'a to
adati, yang artinya adat bersendi syarak, syarak bersendi adat. Islam dan adat, saling
melengkapi.
Islam resmi menjadi agama kerajaan ketika kesultanan Gorontalo ada di bawah
pemerintahan Sultan Eyato. Konsepnya pun berubah, mirip dengan prinsip
masyarakat Minangkabau, adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Di
bawah kepimpinannnya, Kesultanan Gorontalo mencapai puncak kejayaan.
Bagi masyarakat Uduluwo limo lo Pohalaqa
Gorontalo (serikat
kerajaan di bawah dua kerajaan Gorontalo dan Limboto), syarak kitabullah dipahami
bahwa hukum dan aturan-aturan yang berlaku bersumber dari kitab suci Alquran
dan hadis Rasulullah SAW.
Beberapa perubahan
Pada masa itu, beberapa perubahan dilakukan, menjadi lebih Islami. Sistem
pemerintahannya kini didasarkan pada ilmu akidah atau pokok-pokok keyakinan
dalam ajaran Islam.
Dalam ilmu akidah tersebut diajarkan dua puluh sifat Allah SWT, untuk itu
Eyato mewajibkan sifat-sifat itu menjadi sifat dan sikap semua aparat kerajaan
mulai dari pejabat tertinggi sampai dengan jabatan terendah. Sumpah-sumpah dan
adat istiadat yang dipakai, bersumber pada Islam.
Penerapan sistem budaya Islam pada sikap dan perilaku pejabat tersebut telah
mengawali pemantapan karakteristik budaya Islam dalam kehidupan masyarakat
Gorontalo.
Eyato sendiri awalnya memang seorang ahli agama dan cendekiawan. "Sebelum
menjadi raja, Eyato merupakan seorang hatibida'a yang tergolong ulama pada masa
itu," tulisnya.
Struktur pemerintahan dalam kerajaan terbagi atas tiga bagian dalam suasana
kerja sama yang disebut Buatula Totolu, yaitu Buatula Bantayoyang dikepalai oleh Bate yang
bertugas menciptakan peraturan-peraturan dan garis-garis besar tujuan kerajaan, Buatula Bubato yang
dikepalai oleh Raja
(Olongia) dan
bertugas melaksanakan peraturan serta berusaha menyejahterakan masyarakat, dan Buatula Bala yang
pada mulanya dikepalai oleh Pulubala, bertugas dalam bidang pertahanan dan
keamanan.
Sumber: republika.co.id
Posting Komentar
Posting Komentar