Menu

TQN PP.Suryalaya

 

Tidak ada seorangpun di dunia ini yang dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia selalu memerlukan orang lain guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebab itulah manusia dijuluki sebagai makhluk sosial. Demikian padatnya kebutuhan manusia sehingga persinggungan diantara mereka tidak mungkin terelakkan. Bahkan di dunia yang semakin mengglobal ini, persinggungan itu telah menembus batas. Batas ruang, waktu, budaya, agama dan juga ideologi.
Persinggungan ini harus dikelola dengan baik, agar tidak berubah menjadi gesekan yang akan menghanguskan harmonisme kehidupan. Untuk menjaga ritem ini diperlukan sebuah konsep saling mengerti, yang dalam bahasa kita dikenal denganteposeliro atau tenggangrasa. Yaitu sikap saling menghormati dan saling menghargai perasaan orang lain. Karena hanya dengan sikap inilah keselarasan hidup bersama orang lain akan tetap terseleggara. Apalagi jika mengingat keberadaan negara Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, ras, agama dan juga bahasa. Maka memiliki sikap tenggangrasa menjadi sebuah kewajiban bagi saiapapun yang hidup di Indonesia.
Bagi umat Islam sendiri perbedaan ini bukanlah sebuah masalah. Karena memang demikianlah Allah swt menciptakan kehidupan di dunia ini, sebagaimana firmannya dalam al-Hujarat ayat 13
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا  
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal…
Memang mengelola perbedaan bukanlah hal yang mudah, hanya muslim yang berkwalitas iman dan taqwanya yang dititipi oleh Allah swt kemampuan menjaga keseimbangan ini. Karena sejatinya perbedaan itu merupakan kasunyatan yang sengaja dihadirkan Allah swt sebagai cobaan bagi umat muslim. Sebagaimana diandaikan Allah sendiri dalam surat al-Maidah 48.
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Seandainya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan  satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,

Ayat di atas merupakan sebuah petunjuk bagi umat muslim, bahwasannya persamaan dan kesatuan hanyalah sekedar pengandaian adapaun kenyataannya sesungguhnya adalah perbedaan, dan sekaligus Allah swt menjadikan yang nyata itu sebagai ‘soal’ ujian bagi manusia. Karena Allah swt mengetahui bahwa manusia tidak akan mampu menjawab soal ujian yang bersifat pengandaian seperti di atas. Dengan kata lain manusia tidak akan mampu bertahan hidup jika Allah swt menciptakan manusia dalam satu macam saja.
Dalam rangka mempermudah manusia menemukan jawaban dari soal ujian tentang perbedaan ujian ini, Allah swt perintahkan Rasulullah saw turun ke bumi untuk mengajar umatnya. Sayangnya persinggungan Rasulullah saw dengan pemeluk agama lain (yahudi dan nasrani) tidak tergambar dengan komplit dalam hadits-haditsnya kecuali sangat sedikit sekali. Diantaranya adalah hadits riwayat Abu Hurairah;
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ r قَالَ لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِى طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah kamu memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani, dan bila kamu berjumpa dengan mereka di jalan maka desaklah mereka ke tempat yang lebih sempit.” (HR. Muslim)
Melalui hadits di atas Rasulullah saw mengajarkan kepada umatnya bagaimana cara memperlakukan pemeluk agama lain ketika berpapasan di tengah jalan. Demikian pula seharusnya ajaran ini diqiyaskan secara aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Hendaknya seorang muslim tetap menyediakan ‘ruang sosial’ untuk menghormati mereka, tetapi ruang itu harus lebih sempit adanya dibandingkan dengan ruang sosial yang kita sediakan sesama muslim. Hal ini sebagai bukti keteguhan hati dalam beragama Islam.
Ruang itupun harus jelas batasannya. Imam Nawawi dalam Tafsir Munir menjelaskan bahwa penghormatan itu hanya boleh dilakukan dalam batas urusan duniawi (sosial saja) tidak menyinggung soal aqidah. Itupun harus disertai dengan keyakinan bahwa hanya Islamlah agama yang paling haq, adapun yang lain adalah bathil. Jikalau penghormatan itu terlalu berlebihan hingga melahirkan rasa simpati kepada agama lain, maka hal itu dilarang. Karena dapat menyebabkan kekufuran.
واعلم أن كون المؤمن مواليا للكافر يحتمل ثلاثة اوجوه احدها ان يكون راضيا بكفره ويتولاه لأجله وهذا ممنوع لان الرضى بالكفر كفر. وثانيها المعاشرة الجميلة فى الدنيا بحسب الظاهر وذلك غير ممنوع. وثالثها الركون الى الكفر والمعونة والنصرة اما بسبب القرابة اوبسبب المحبة مع اعتقاد ان دينه باطل فهذا لا يوجب الكفر الا انه منهى عنه لان الموالة هذا المعنى قد تجره الى استحسان طريقه والرضى بدينه وذلك يخرجه عن الاسلام 
Demikian pula pendapat Imam ar-Razi yang termaktub dalam tafsirnya Mafathul Ghaib. Meski demikian keterangan dalam Hasyiyah al-Bujairami alal Khatib memberikan pengecualian bahwa berhubungan dengan pemeluk agama lain sangat dianjurkan apabila dirasa mampu memberikan maslahah secara syar’i atau dapat menghindarkan diri dari bahaya
 قَوْلُهُ (تَحْرُمُ مَوَدَّةُ الْكَافِرِ) أَيْ الْمَحَبَّةُ وَالْمَيْلُ بِالْقَلْبِ وَأَمَّا الْمُخَالَطَةُ الظَّاهِرِيَّةُ فَمَكْرُوهَةٌ ... الخ أما معاشرتهم لدفع ضرر يحصل منهم أو جلب نفع فلاحرمة فيه  ا هـ
Pembahasan mengenai hubungan dengan agama lain menjadi sangat kontekstual ketika musim natal dan tahun baru tiba. Apalagi kalau tidak soal hukum mengucapkan natal dan tahun baru kepada pemeluk agama lain?
Beranjak dari keterangan teks di atas, memang tidak ada satupun kata yang menunjuk pada ucapan selamat natal ataupun tahun baru. Mungkin saja tradisi semacam itu tidak terdapat dalam kehidupan penulis pada zaman dan dilingkungannya. Akan tetapi teks tersebut bisa menjadi sumber simpulan melarang mengupkan selamat natal dan tahun baru kepada pemeluk agama lain, kecuali hanya sebagai basa-basi saja. Bukan diniatkan sebagai do’a apalagi sebagai rasa simpati dengan aqidahnya.
Demikialah tradisi saling berucap selamat ini dilakukan oleh umat bergama di Indonesia. Mereka saling mengucap selamat di hari raya dan tahun baru sebagai mujamalah dhahriyah (basa-basi saja) tanpa ada rasa dalam hati. Ini merupakan salah satu nilai yang terkandung dalam konsep tenggangrasa. Yaitu saling menjaga perasaan antara satu dan lainnya yang diejawantahkan dalam bentuk basa-basi dan kesopanan. Ini sangatlah penting karena ‘yang lain’ itu pada dasarnya adalah bagian dari keluarga besar Indonseia juga. Tenggangrasa tidak pernah meganggap yang lain adalah benar-benar orang lain. Tenggangrasa melihat perbedaan sebagaimana adik-kakak yang berbeda pendirian, berbeda selera dan keinginan tetapi mereka adalah satu keluarga. Sesuai dengan firman Allah swt 
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ
Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata,
Hal ini sungguh berbeda dengan konsep toleransi yang memandang orang lain adalah benar-benar orang lain, bukan bagian dari keluarga. Sehingga harus dihormati dan diberi kesempatan selayaknya menghormati seorang tamu bukan saudara. Diantaranya dengan membiarkan (tolere) apapun yang mereka lakukan meskipun itu berbeda dengan kita. Terasa sekali adanya unsur ‘agak memaksa’ dalam memberikan penghormatan menurut konsep toleransi. Dalam toleransi tersirat adanya kepentingan dalam ‘menghormati’ orang lain, penghormatan yang tidak lahir dari tulusnya hati tapi karena seuatu hadirnya sesutau yang lain.
Sesungguhnya jika diangan lebih dalam berbagai masalah yang timbul seputar wacana hubungan antar pemeluk agama (mulai dari ucapan selamat natal, valentine day, tahun baru, dll) itu muncul berbarengan dengan munculnya konsep toleransi itu sendiri. Walhasil apakah kita masih ingin melanjutkan keterjebakan kita dalam goa toleransi yang selalu menghadirkan permasalahan? Atau menggeser diri keluar dari kegelapan goa toleransi dan kembali pada terang tenggangrasa? 

SUMBER: nu.or.id

Posting Komentar

 
Top