Kata “tahlilan” merupakan bentuk masdar dari fi’il madli “hallala” yang berarti mengucapkan لااله الاالله . Dari sisi istilah, kata tahlilan bisa jadi didefinisikan dan digambarkan dengan sebuah bentuk ritual keagamaan yang berbentuk majlis dzikir dengan menggunakan bacaan-bacaan dzikir tertentu dan menghadiahkan pahalanya untuk si mayit. Biasanya majlis dzikir ini diadakan pada waktu malam jum’at atau malam setelah kematian seseorang, atau juga bisa dilaksanakan pada saat haul atau yang lain. Yang jelas, kapan ritual ini harus dilaksanakan dan modelnya bagaimana tidak ada aturan dan ketentuan yang pasti. Bisa jadi antara daerah yang satu dengan daerah yang lain memiliki teknis dan kaifiyah yang berbeda.
Biasanya sebab dan alasan kenapa
tahlilan harus di tolak oleh para penentangnya bermuara pada argumentasi
sebagai berikut :
•Tahlilan tidak pernah
diperintahkan oleh Rasulullah SAW, karena demikian dianggap bid’ah.
•Tahlilan merupakan budaya
masyarakat Hindu, karena demikian dianggap tasyabbuh bi al-kuffar
•Tahlilan dianggap merepotkan dan
memberatkan keluarga mayat, karena di dalam tahlilan pasti selalu ada jamuan
•Berkumpul untuk melakukan tahlilan pada saat setelah kematian dianggap
“niyahah” (meratap)
•Di dalam tahlilan pasti ada unsur
tawasul.
Argumentasi-argumentasi para
penentang di atas adalah argumentasi klasik yang sudah ditanggapi berkali-kali.
Akan tetapi, karena sejak awal bersikap tazkiyat al-nafsi (menganggap dirinya
yang paling benar), maka penjelasan yang diberikan tidak berdampak dan
berpengaruh sama sekali. Namun demikian, dalam kesempatan ini akan kita
jelaskan sekali lagi mengenai kesalah-pahaman mereka yang dituduhkan kepada
kita.
•Tahlilan tidak pernah
diperintahkan oleh Rasulullah SAW, karena demikian dianggap bid’ah.
Memang harus diakui bahwa kata “tahlilan” sebagai sebuah bentuk tradisi seperti
yang kita pahami sekarang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW, akan
tetapi perlu diingat bahwa substansi tahlilan adalah dzikir berjamaah dan
berdoa untuk si mayit. Dzikir berjamaah dan berdoa untuk si mayit yang muslim
supaya mendapatkan pengampunan dari Allah -tidak diragukan lagi- terlalu banyak
penjelasannya di dalam al-Qur’an dan al-Hadits, diantaranya adalah :
oDari al-Qur’an
Surat al-Hasyr : 10
“Dan orang-orang yang datang
sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri
ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami,
dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang
yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang.”
Surat Muhammad : 19
“Maka Ketahuilah, bahwa
Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah
ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan
perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal”.
oDari al-Hadits
•وعن أبي سعيد الخدري وأبي هريرة رضي الله عنهما قالا: قال النبي صلى الله عليه وآله وسلم «لا يقعد قوم يذكرون الله عز وجل إلا حفتهم الملائكة وغشيتهم الرحمة ونزلت عليهم السكينة وذكرهم الله فيمن عنده»
Dari Abu Hurairah ra. dari Abu Sa’id ra., keduanya berkata, Rasulullah
saw. bersabda: “Tidak ada suatu kaum yang duduk dalam
suatu majlis untuk dzikir kepada Allah melainkan mereka dikelilingi oleh
malaikat, diliputi rahmat, di turunkan ketenangan, dan mereka disebut-sebut
Allah di hadapan malaikat yang ada disisi-Nya”.
•وَمِنْ حَدِيث مُعَاوِيَة رَفَعَهُ أَنَّهُ قَالَ لِجَمَاعَةٍ جَلَسُوا يَذْكُرُونَ اللَّه تَعَالَى ” أَتَانِي جِبْرِيل فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللَّه يُبَاهِي بِكُمْ الْمَلَائِكَة ” .
” Dari hadits
Mu’awiyah yang
dihukumi marfu’, dia berkata “Nabi bersabda untuk para jama’ah yang duduk
berdzikir kepada Allah: ” malaikat Jibril datang kepadaku dan
menginformasikan bahwa Allah membanggakan kamu kepada malaikat”
oDari Logika
إن الجماعة قوة قال الله تعالى واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا والحجارة لا يستطيع كسرها إلا الجماعة وقد شبه الله تعالى القلوب القاسية بالحجارة في شدة قساوتها فقال عز من قائل ثم قست قلوبكم من بعد ذلك فهي كالحجارة أو أشد قسوة فكما أن الحجارة لا يستطيع كسرها إلا الجماعة فكذلك القلب القاسي يسهل تليينه إذا تساعدت عليه جماعة الذاكرين. (الموسوعة اليوسفية )
Dari uraian dan argumentasi di
atas dapat dipastikan bahwa substansi tahlilan memliki cantolan dalil, baik
naqliy (al-qur’an dan al-hadits), maupun aqliy.
•Tahlilan merupakan budaya
masyarakat Hindu, karena demikian dianggap tasyabbuh bi al-kuffar.
Untuk menyimpulkan apakah di dalam tradisi tahlilan terdapat unsur tasyabbuh bi
al-kuffar atau tidak, terlebih dahulu kita harus melakukan penelitian secara
seksama. Mungkin saja memang ada tradisi kumpul-kumpul di dalam agama lain pada
1,2,3…..,7…,40 hari dan seterusnya setelah hari kematian seseorang. Tampaknya
pada titik inilah tradisi tahlilan dianggap tasyabbuh bi al-kuffar. Namun
demikian perlu diperhatikan beberapa hal, diantaranya:
o Harus dipahami bahwa
permasalahan ini termasuk dalam wilayah I’tiqadi. Karena demikian, harus
ditegaskan bahwa tidak ada keyakinan sama sekali di dalam hati warga nahdliyin
bahwa tahlilan pada hari pertama kematian, hari kedua, ketiga dan seterusnya
merupakan sebuah kewajiban, juga tidak ada keyakinan bahwa berdo’a kepada si
mayit pada hari pertama, kedua, ketiga dan seterusnya lebih afdlal dibandingkan
dengan hari-hari yang lain. Tahlilan yang substansinya adalah berdoa untuk si
mayit agar mendapatkan pengampunan dari Allah boleh dilakukan kapan saja, atau
bahkan boleh tidak dilakukan, meskipun biasanya kegiatan tahlilan ini
dilaksanakan pada hari pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.
Tasyabbuh boleh dialamatkan kepada
warga nahdliyin ketika meyikini bahwa tahlilan wajib dilaksanakan pada
hari-hari dimaksud dan juga meyakini bahwa hari-hari dimaksud lebih afdlal
dibandingkan hari lainnya. Jadi, penentuan hari dan seterusnya tidak lebih dari
sebuah tradisi yang boleh dilakukan dan juga boleh ditinggalkan, berbeda dengan
apa yang diyakini oleh umat Hindu. Tradisi ini sama persis dengan dengan
tradisi memperingati hari-hari besar dalam Islam (Nuzulul qur’an, halal bi
halal, maulid nabi, isra’-mi’raj dan lain sebagainya) yang boleh dilakukan
kapan saja, tidak terbatas pada tanggal-tanggal tertentu. Peringatan hari besar
yang biasanya diisi taushiah dan dzikir hanyalah merupakan tradisi yang boleh
dikerjakan dan juga boleh ditinggalkan.
o Bahwa sikap warga nahdliyin
sebagaimana di atas dapat dilihat dari kitab yang biasa dijadikan sebagai
rujukan oleh mereka, diantaranya di dalam kitab al-fatawa al-fiqhiyah al-kubro
yang berbunyi :
o ( وَسُئِلَ ) أَعَادَ اللَّهُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ عَمَّا يُذْبَحُ مِنْ النَّعَمِ وَيُحْمَلُ مَعَ مِلْحٍ خَلْفَ الْمَيِّتِ إلَى الْمَقْبَرَةِ وَيُتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى الْحَفَّارِينَ فَقَطْ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ ثَالِثِ مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِئَةِ أَكْلٍ وَإِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَغَيْرِهِمْ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ تَمَامِ الشَّهْرِ مِنْ الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ عَلَى بُيُوتِ النِّسَاءِ اللَّاتِي حَضَرْنَ الْجِنَازَةَ وَلَمْ يَقْصِدُوا بِذَلِكَ إلَّا مُقْتَضَى عَادَةِ أَهْلِ الْبَلَدِ حَتَّى إنَّ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوتًا عِنْدَهُمْ خَسِيسًا لَا يَعْبَئُونَ بِهِ وَهَلْ إذَا قَصَدُوا بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَالتَّصَدُّقَ فِي غَيْرِ الْأَخِيرَةِ أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَاذَا يَكُونُ الْحُكْمُ جَوَازٌ وَغَيْرُهُ وَهَلْ يُوَزَّعُ مَا صُرِفَ عَلَى أَنْصِبَاءِ الْوَرَثَةِ عِنْدَ قِسْمَةِ التَّرِكَةِ وَإِنْ لَمْ يَرْضَ بِهِ بَعْضُهُمْ وَعَنْ الْمَبِيتِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ إلَى مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالْفَرْضِ مَا حُكْمُهُ .( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ جَمِيعُ مَا يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ مِنْ الْبِدَعِ الْمَذْمُومَةِ لَكِنْ لَا حُرْمَةَ فِيهِ إلَّا إنْ فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْ رِثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ شَيْءٍ مِنْهُ دَفْعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ وَخَوْضِهِمْ فِي عِرْضِهِ بِسَبَبِ التَّرْكِ يُرْجَى أَنْ يُكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ أَخْذًا مِنْ أَمْرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي الصَّلَاةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَعَلَّلُوهُ بِصَوْنِ عِرْضِهِ عَنْ خَوْضِ النَّاسِ فِيهِ لَوْ انْصَرَفَ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ الْكَيْفِيَّةِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُفْعَلَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ مِنْ التَّرِكَةِ حَيْثُ كَانَ فِيهَا مَحْجُورٌ عَلَيْهِ مُطْلَقًا أَوْ كَانُوا كُلُّهُمْ رُشَدَاءَ لَكِنْ لَمْ يَرْضَ بَعْضُهُمْ بَلْ مَنْ فَعَلَهُ مِنْ مَالِهِ لَمْ يَرْجِعْ بِهِ عَلَى غَيْرِهِ وَمَنْ فَعَلَهُ مِنْ التَّرِكَةِ غَرِمَ حِصَّةَ غَيْرِهِ الَّذِي لَمْ يَأْذَنْ فِيهِ إذْنًا صَحِيحًا وَإِذَا كَانَ فِي الْمَبِيتِ عِنْدَ أَهْلِ ( الفتاوى الفقهية الكبرى لأبن حجر الهيتمى )
oوالتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه فى سبعة ايام او اكثر او اقل وتقييده ببعض الايام من العوائد فقط كما افتى بذلك السيد احمد دحلان وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفى سابع وفي تمام العشرين وفى الاربعين وفى المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت كما افاده شيخنا يوسف السنبلاويني اما الطعام الذي يجتمع عليه الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه مالم يكن من مال الايتام والا فيحرم (نهاية الزين : باب فى الوصية , 281)
Tradisi yang berlaku dan
berkembang di kalangan nahdliyin adalah : apabila ada seorang muslim meninggal
dunia, maka tetangga dan kerabat yang ada disekitarnya berbondong-bondong
melakukan ta’ziyah, dan dapat dipastikan bahwa pada saat ta’ziyah kebanyakan dari
mereka membawa beras, gula, uang dan lain sebagainya. Tetangga yang ada di
kanan-kiri bau-membau membantu keluarga korban untuk memasak dan menyijakan
jamuan, baik untuk keluarga korban atau untuk para penta’ziyah yang hadir.
Apabila hal ini yang terjadi, apakah ini tidak dapat dianggap sebagai
terjemahan kontekstual dari hadits nabi yang berbunyi :
قال النبي صلى الله عليه و سلم : اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد أتاهم أمر يشغلهم
Hadits di atas apabila diamalkan
secara tekstual justru akan menjadi mubadzir, karena kalau seandainya semua
tetangga yang ta’ziyah membawa makanan yang siap saji, maka dapat dipastikan
akan banyak makanan yang basi. Catatan yang lain lagi adalah bahwa jamuan yang
disajikan di dalam acara tahlilan bukanlah merupakan tujuan. Tujuan utama para
tetangga yang hadir adalah berdo’a untuk si mayit. Karena demikian, jamuan
boleh diadakan dan juga boleh ditiadakan. Bahkan, banyak dari kalangan kyai
yang menjadi tokoh sentral warga nahdliyin memberikan pemahaman dan anjuran
agar jamuan yang ada lebih disederhanakan, dan bahkan kalau mungkin hanya
sekedar suguhan teh saja.
•Berkumpul untuk melakukan
tahlilan pada saat setelah kematian dianggap “niyahah” (meratap).
Realitas berkumpul pada saat
tahlilan sulit untuk dapat dipahami “hanya sekedar berkumpul” dalam rangka
tenggelam dan larut dalam kesedihan, dimana hal ini dianggap sebagai illat
al-hukmi kenapa berkumpul tersebut dianggap sebagai niyahah. Sebagaimana yang
dijelaskan di dalam kitab I’anat al-Thalibin, yang berbunyi
كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن.
Berkumpul pada malam setelah
kematian bukanlah menjadi tujuan. Yang menjadi tujuan adalah berdzikir dan
berdoa untuk si mayit yang sedang mengalami ujian berat sebagaimana yang
ditegaskan didalam kitab Nihayat al-zain, hal : 281 yang berbunyi :
وروي عن النبي صلى الله عليه وسلم انه قال ما الميت في قبره الا كالغريق المغوث – بفتح الواو المشددة – اى الطالب لان يغاث ينتظردعوة تلحقه من ابنه او اخيه او صديق له فاذا لحقته كانت احب اليه من الدنيا وما فيها
Ketika seorang muslim mendapat
musibah (ditinggal mati keluarga, kena gempa, dll), adalah suatu kesunahan bagi
saudara-saudaranya untuk datang takziah kepadanya, serta menghibur agar
bersabar dari cobaan.Tidak ada yang lebih baik dari menghibur serta meringankan
bebannya selain daripada mengajaknya berdzikir, mengingat Allah, dan berdoa
bersama-sama, mendoakan si mayit dan keluarga yg ditinggalkannya.
Dari uraian di atas sulit dapat
diterima apabila lafadz ” الاجتماع” yang terdapat didalam hadits nabi
diarahkan pada tradisi tahlilan yang isinya adalah berdzikir dan berdoa, bukan
semata-mata berkumpul hanya sekedar tenggelam dan berlarut-larut dalam
kesedihan.
Di dalam
tahlilan pasti ada unsur tawasul.
Sebagai gambaran awal untuk
memetakan tentang konsep tawasul, dapat dijelaskan sebagai berikut :
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa tawasul adalah menjadikan mutawasal bih
sebagai wasilah (perantara) dalam rangka berdoa kepada Allah. Berdoa dapat
langsung kepada Allah (tanpa tawasul) dan juga dapat menggunakan perantara
mutawassal bih. Menggunakan mutawassal bih sebagai perantara bukanlah merupakan
sebuah keharusan dalam berdoa.
Mutawassal bih secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
o Mutawassal bih yang berupa
al-a’mal al-shalihah.
o Mutawassal bih yang berupa
al-dzawat al-fadlilah. Mutawassal bih yang berupa al-dzawat al-fadlilah dibagi
menjadi dua, yaitu :
o Dengan nabi Muhammad SAW.
Kategori ini diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :
- Sebelum lahirnya nabi (قبل وجوده )
- Pada saat nabi hidup ( فى حياته )
- Setelah nabi wafat (بعد وفاته)
o Dengan awliya dan shalihin.
Kategori ini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
- Pada saat mereka masih hidup (في حياتهم)
- Setelah mereka wafat (بعد وفاتهم).
Tidak terjadi perbedaan pendapat
mengenai diperbolehkannya menggunakan al-a’mal al-shalihah sebagai mutawassal
bih. Hal ini didasarkan pada hadits nabi yang bercerita tentang tiga orang
pemuda yang terjebak di sebuah goa. Hadits tersebut berbunyi :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِىِّ حَدَّثَنِى سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ – رضى الله عنهما – قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « انْطَلَقَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى أَوَوُا الْمَبِيتَ إِلَى غَارٍ فَدَخَلُوهُ ، فَانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنَ الْجَبَلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهِمُ الْغَارَ فَقَالُوا إِنَّهُ لاَ يُنْجِيكُمْ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ إِلاَّ أَنْ تَدْعُوا اللَّهَ بِصَالِحِ أَعْمَالِكُمْ . فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمُ اللَّهُمَّ كَانَ لِى أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ ، وَكُنْتُ لاَ أَغْبِقُ قَبْلَهُمَا أَهْلاً وَلاَ مَالاً ، فَنَأَى بِى فِى طَلَبِ شَىْءٍ يَوْمًا ، فَلَمْ أُرِحْ عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَا ، فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوقَهُمَا فَوَجَدْتُهُمَا نَائِمَيْنِ وَكَرِهْتُ أَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أَهْلاً أَوْ مَالاً ، فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدَىَّ أَنْتَظِرُ اسْتِيقَاظَهُمَا حَتَّى بَرَقَ الْفَجْرُ ، فَاسْتَيْقَظَا فَشَرِبَا غَبُوقَهُمَا ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ ، فَانْفَرَجَتْ شَيْئًا لاَ يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ » . قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « وَقَالَ الآخَرُ اللَّهُمَّ كَانَتْ لِى بِنْتُ عَمٍّ كَانَتْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَىَّ ، فَأَرَدْتُهَا عَنْ نَفْسِهَا ، فَامْتَنَعَتْ مِنِّى حَتَّى أَلَمَّتْ بِهَا سَنَةٌ مِنَ السِّنِينَ ، فَجَاءَتْنِى فَأَعْطَيْتُهَا عِشْرِينَ وَمِائَةَ دِينَارٍ عَلَى أَنْ تُخَلِّىَ بَيْنِى وَبَيْنَ نَفْسِهَا ، فَفَعَلَتْ حَتَّى إِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهَا قَالَتْ لاَ أُحِلُّ لَكَ أَنْ تَفُضَّ الْخَاتَمَ إِلاَّ بِحَقِّهِ . فَتَحَرَّجْتُ مِنَ الْوُقُوعِ عَلَيْهَا ، فَانْصَرَفْتُ عَنْهَا وَهْىَ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَىَّ وَتَرَكْتُ الذَّهَبَ الَّذِى أَعْطَيْتُهَا ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ . فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ ، غَيْرَ أَنَّهُمْ لاَ يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ مِنْهَا . قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – وَقَالَ الثَّالِثُ اللَّهُمَّ إِنِّى اسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ فَأَعْطَيْتُهُمْ أَجْرَهُمْ ، غَيْرَ رَجُلٍ وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذِى لَهُ وَذَهَبَ فَثَمَّرْتُ أَجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنْهُ الأَمْوَالُ ، فَجَاءَنِى بَعْدَ حِينٍ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَدِّ إِلَىَّ أَجْرِى . فَقُلْتُ لَهُ كُلُّ مَا تَرَى مِنْ أَجْرِكَ مِنَ الإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالرَّقِيقِ . فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ لاَ تَسْتَهْزِئْ بِى . فَقُلْتُ إِنِّى لاَ أَسْتَهْزِئُ بِكَ . فَأَخَذَهُ كُلَّهُ فَاسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئًا ، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ . فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ فَخَرَجُوا يَمْشُونَ » .
Sedangkan tawassul dengan
menggunakan dzawat fadlilah (orang-orang yang keistimewaan di hadapan Allah,
dari kalangan para nabi, awliya dan shalihin) terjadi perbedaan pendapat yang
cukup ekstrim tentang masalah ini. Ada yang membolehkan dan ada yang
melarangnya dan bahkan menganggapnya sebagai sebuah bentuk kesyirikan. Semua
pandangan, baik yang pro maupun yang kontra harus diapresiasi selama
menggunakan dalil, analisa dan argumentasi yang ilmiyah. Sebaliknya, pandangan
yang subyektif, sectarian dan tidak disertai argumentasi yang ilmiyah harus
ditolak dan diluruskan.
Bersambung ke bagian II
Posting Komentar
para sahabat sangat paham sekali dengan Al-Quran dan Al-Hadist mreka adalah orng yg paling mengerti tentang amalan2 soleh, jaminan surga pun udah ada stempel untuk mreka,, klo pun acara tahlilah ini mendapatkan pahala disisi Allah, tentu mreka lah harusnya yg berada di posisi terdepan..!!!
wallahu a'lam..
Posting Komentar