Kira-kira seribu tahun yang lalu di
Baghdad lahir seorang yang kelak menjadi salah seorang pakar (imam) dalam
bidang ushul ad-din. Ia bernama Abu Mashur Abd al-Qahir bin Thahir
bin Muhammad bin Abdullah al-Baghdadi at-Tamimi al-Isfirayaini. Ia tumbuh besar
di Baghdad, setelah dewasa pergi ke Khurasan dan meninggal pada tahun 429 H/
1037 M di Isfirayain.
Buktinya yang menunjukkan atas kepakaran
al-Baghdadi adalah banyaknya karya yang lahir dari tangannya. Di antara karya
yang paling terkenal dan menjadi salah rujukan utama mengenai aliran-aliran
teologi dalam Islam adalah al-Farq baina al-Firaq (Perbedaan di
antara Aliran-aliran). Sebuah buku yang mencoba menelusuri dan menjelaskan
secara ringkas-padat tentang aliran-aliran teologi dalam Islam.
Salah satu rujukan yang digunakan
al-Baghdadi dalam bukunya adalah buku Maqalat al-Islamiyyin karya
Abu al-Hasan al-Asy’ari. Meskipun al-Baghdadi tidak menyebutkannya tetapi jika
membandingkan kedua buku tersebut maka akan tampak jelas bahwa al-Baghdadi
dalam banyak hal mengutip pendapat Abu al-Hasan al-Asy’ari. Salah satu contohnya adalah ketika
al-Baghdadi menjelaskan tentang al-Yunusiyyah, yaitu salah satu
sempalan dari sekte Murji`ah. Al-Baghdadi menjelaskan bahwa menurut mereka iman
terdapat dalam hati dan lisan, yaitu mengetahui Allah, mencintai, dan tunduk
kepada-Nya dan mengikrarkan dengan lisan. [H. 199]. Pemamparan al-Baghdadi ini
sama seperti yang dijelaskan oleh Abu al-Hasan al-Asy`ari dalam Maqalat
al-Islamiyyin. [Lihat Abu al-Hasan al-Asy’ari,Maqalat
al-Islamiyyin, H. 132].
Buku al-Baghdadi ini lahir sebagai
jawaban atas pertanyaan mengenai makna prediksi Nabi bahwa akan ada
keterpecahan di antara umatnya (iftiraq al-ummah) menjadi tujuh puluh
tiga sekte dan hanya satu yang selamat. Penulisnya membagi isi buku tersebut
menjadi lima bab. [H. 9, 10].
Pertama, menjelaskan tentang hadits perpecahan
umat menjadi tujuh puluh tiga sekte. Kedua, menjelaskan secara
global mengenai sekte-sekte umat Islam dan sekte-sekte yang bukan termasuk
Islam. Ketiga, menjelaskan pandangan setiap sekte yang sesat. Keempat, menjelaskan
sekte yang berafiliasi kepada kepada Islam tetapi bukan dari kalangan sekte
Islam. Kelima, menjelaskan sekte yang selamat.
Bab pertama, al-Baghdadi mencoba mengurai tranmisi (sanad)
hadits tentang perpecahan. Menurut penelitiannya, ada banyak sahabat yang
meriwayatkan hadits tersebut dari Nabi Saw. Di antaranya ialah Anas bin Malik,
Abu Hurairah, Abu Darda, Jabir, Abu Sa’id al-Khudri, Ubay bin Ka’b, Abdullan
bin Amr bin al-Ash, Abu Umamah, dan Watsilah bin al-Asyfa’. Sedangkan generasi
setelah sahabat banyak yang meriwayatkan hadits tersebut dari para sahabat. [H.
16-17].
Dalam kacamata al-Baghdadi, bahwa
perpecahan yang dimaksud dalam prediksi Nabi adalah perpecahan dalam arti
perbedaan mengenai ushul ad-din bukan perbedaan dalam masalah cabang-cabang fiqh.
Sebab, menurutnya, para fuqaha` meskipun berselisih dalam soal furu’ tetapi
mereka bersepakat dalam hal yang menyangkut ushul ad-din. [H. 17].
Jadi, secara implisit al-Baghdadi
berpandangan bahwa perbedaan pendapat para fuqaha` dalam soal furu’ tidak berdampak
pada penyesatan terhadap mereka. Meskipun mereka salah dalam berpendapat.
Sebab, dalam soal ushul ad-din mereka bersepakat.
Bab kedua, al-Baghdadi mencoba membahas tentang bagaimana terjadinya perpecahan umat
sehingga mencapai tujuh puluh tiga sekte. Menurut al-Baghdadi, peristiwa awal
yang menimbulkan perselisihan antara umat Islam adalah kematian Nabi saw.
Sebagian ada yang menganggap bahwa Nabi saw tidaklah wafat, ia hanya dianggkat
Allah swt ke langit sebagaimana yang terjadi pada nabi Isa as. Sebagian lagi
mengatakan bahwa Nabi saw telah wafat.
Perselisihan ini kemudian dapat
diselesaikan oleh Abu Bakar ra seraya berkata, “man kana ya’budu muhammadan
fa inna muhammadan qad mata wa man kana ya’budu rabba muhammad fa innahu hayyun
la yamut” (Barang siapa yang menyembah Muhammad maka sesungguhnya ia telah
wafat, dan barang siapa yang menyembah Tuhan Muhammad maka sesungguhnya Ia
adalah Dzat Yang Maha Hidup dan tidak akan pernah mati). [H. 25].
Pandangan ini berbeda dengan Abu
al-Hasan al-Asy`ari yang menyatakan bahwa awal mula timbulnya perselisihan
dalam umat Islam adalah soal imamah. [Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat
al-Islamiyyin, H. 2]. Jadi, Al-Asy’ari melihat bahwa perselisihan umat
Islam pada dasarnya bermula dari persoalan politis, yaitu menyangkut soal
imamah atau kepempinan. Sedang al-Baghdadi melihat bahwa perselisihan itu
berangkat dari persoalan teologis, yaitu tentang apakah Nabi telah wafat atau
memang ia tidak wafat tetapi diangkat oleh Allah ke langit sebagaimana nabi Isa
as.
Bagian ketiga, menguraikan pandangan atau
keyakinan pelbagai sekte yang tersesat dan menjelaskan tentang kekeliruan
pandangan mereka. Di antaranya adalah pandangan sekte Rafidhah,
Khawarij, Mu’tazilah, Qadariyah, Murji`ah, Najjariyyah, dan lainnya.
Pada bagian ini al-Baghdadi membeberkan aliran sempalan dari sekte-gologan
tersebut secara ringkas dan padat sehingga memudahkan kepada para pembaca untuk
mengkajinya.
Bab keempat, menguraikan tentang sekte yang
berafiliasi pada Islam tetapi pada sebenarnya bukan termasuk dari sekte Islam.
Dalam bagian ini al-Baghdadi menguraikan kembali perbedaan para teolog Islam (mutakallimin)
mengenai siapa yang disebut atau diketegorikan sebagai umat Islam.
Salah satu sekte yang dianggap
berafiliasi kepada Islam tetapi sebenarnya bukan Islam adalah Saba`iyyah, yaitu
pengikut Abdullah bin Saba yang memposisikan sahabat Ali KW.dengan sangat
berlebihan sehingga ia dianggap sebagai nabi. Bahkan sikap Abdullah bin Saba
tidak berhenti sampai di sini saja, tetapi ia malah semakin jauh mengkultuskan
sahabat Ali kw dengan menganggapnya sebagai Tuhan. [H. 335].
Bab kelima, menguraikan tentang sekte yang selamat,
yaitu ahl as-sunnah wa al-jama’ah serta pandangan-pandangan
yang mereka pegangi. Salah satunnya adalah pandangan mereka seputar Sang Pencipta
alam semesta dan sifat-sifat dzatiyyah-Nya. Bagi ahl
as-sunnah wa a-jama’ah Pencipta alam semesta adalah juga Penciptaajsam
(jisim-jisim) dan a’rad (aksiden-aksiden atau
sifat-sifat).
Dengan pandangan ini mereka kemudian
mengkafirkan Mu’ammar dan para pengikutnya dari kalangan Qadariyyah yang
mengatakan bahwa sesungguhnya Allah tidak menciptakan a’rad tetapi
hanya mencipatakan ajsam. Dan ajsam-lah yang
merupakan pencipta a’rad dengan sendirinya. [H. 337].Meskipun
demikian, buku ini telah memberikan jasa yang sangat besar karena telah
berhasil dengan baik menggambarkan pergolakan dan wacana pemikiran teologis
pada saat itu. Mengenai aqidah ahlusunnah yang sangat penting dalam Bab ini ialah
mengenaiaqidah sunni “Allah ada Tanpa Tempat /Allah Maujud Bilaa Makan)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam
bersabda: “Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada
sesuatupun selain-Nya”. (H.R. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud).
Makna hadits ini bahwa Allah ada pada
azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya.
Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, ‘Arsy, langit, manusia, jin,
malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya
tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah
dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri
dari sesuatu yang baru (makhluk).
Al Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath berkata:
“Allah ta’ala ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada tempat,
Dia ada sebelum menciptakan makhluk, Dia ada dan belum ada tempat, makhluk dan
sesuatu dan Dia pencipta segala sesuatu”.
Maka sebagaimana dapat diterima oleh
akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah,
begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya
tempat dan arah. Hal
ini bukanlah penafian atas adanya Allah. Dalam sebuah riwayat
“Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari
sabda Rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa sallam:
Maknanya: “Engkau azh-Zhahir (yang
segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan
Engkaulah alBathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di
bawah-Mu” (H.R. Muslim dan lainnya).
Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti
Dia tidak bertempat”.
Tidak Boleh dikatakan Allah ada di atas
‘Arsy atau ada di mana-mana
Seperti dengan hadits yang diriwayatkan
oleh al Bukhari, perkataan sayyidina Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah
meridlainya-:
Maknanya: “Allah ada (pada azal) dan
belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap
seperti semula, ada tanpa tempat” (Dituturkan oleh al Imam Abu Manshur
alBaghdadi dalam kitabnya al Farq bayna al Firaq h. 333).
Karenanya tidak boleh dikatakan Allah
ada di satu tempat atau di mana-mana, juga tidak boleh dikatakan Allah ada di
satu arah atau semua arah penjuru. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani (W. 973 H)
dalam kitabnya al Yawaqiit Wa al Jawaahir menukil perkataan Syekh Ali al Khawwash:
“Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di mana-mana”. Aqidah yang mesti
diyakini bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat.
Al Imam Ali -semoga Allah meridlainya-
mengatakan yang maknanya: “Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah
yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untukmenjadikannya
tempat bagi Dzat-Nya” (diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi dalam kitab al
Farq bayna al Firaq, hal. 333)
Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya-
juga mengatakan yang maknanya: “Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat)
tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang
menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya
bagaimana” (diriwayatkan oleh Abu al Muzhaffar al Asfarayini dalam kitabnya
at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98)
Allah Maha suci dari Hadd
Maknanya: Menurut ulama tauhid yang
dimaksud al mahdud (sesuatu yang berukuran) adalah segala sesuatu yang memiliki
bentuk baik kecil maupun besar. Sedangkan pengertian al hadd (batasan) menurut
mereka adalah bentuk baik kecil maupun besar. Adz-Dzarrah (sesuatu yang
terlihat dalam cahaya matahari yang masuk melalui jendela) mempunyai ukuran
demikian juga ‘Arsy, cahaya, kegelapan dan angin masing-masing mempunyai
ukuran.
Al Imam Sayyidina Ali -semoga Allah
meridlainya- berkata yang maknanya: “Barang siapa beranggapan (berkeyakinan)
bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah
(belum beriman kepada-Nya)” (diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W. 430 H) dalam
Hilyah al Auliya’, juz I hal. 72).
Maksud perkataan sayyidina Ali tersebut
adalah sesungguhnya berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang kecil atau
berkeyakinan bahwa Dia memiliki bentuk yang meluas tidak berpenghabisan
merupakan kekufuran. Semua bentuk baik Lathif maupun Katsif, kecil ataupun
besar memiliki tempat dan arah serta ukuran. Sedangkan Allah bukanlah benda dan
tidak disifati dengan sifat-sifat benda, karenanya ulama Ahlussunnah Wal
Jama’ah mengatakan: “Allah ada tanpa tempat dan arah serta tidak mempunyai
ukuran, besar maupun kecil”. Karena sesuatu yang memiliki tempat dan arah
pastilah benda. Juga tidak boleh dikatakan tentang Allah bahwa tidak ada yang
mengetahui tempat-Nya kecuali Dia. Adapun tentang benda Katsif bahwa ia
mempunyai tempat, hal ini jelas sekali. Dan mengenai benda lathif bahwa ia
mempunyai tempat, penjelasannya adalah bahwa ruang kosong yang diisi oleh benda
lathif, itu adalah tempatnya. Karena definisi tempat adalah ruang kosong yang
diisi oleh suatu benda.
Al Imam As-Sajjad Zayn al ‘Abidin ‘Ali
ibn al Husain ibn ‘Aliibn Abi Thalib (38 H-94 H) berkata : “Engkaulah Allah
yang tidak diliputi tempat”, dan dia berkata: “Engkaulah Allah yang Maha suci
dari hadd (benda, bentuk, dan ukuran)”, beliau juga berkata : “Maha suci Engkau
yang tidak bisa diraba maupun disentuh” yakni bahwa Allah tidak menyentuh
sesuatupun dari makhluk-Nya dan Dia tidak disentuh oleh sesuatupun dari
makhluk-Nya karena Allah bukan benda. Allah Maha suci dari sifat berkumpul,
menempel, berpisah dan tidak berlaku jarak antara Allah dan makhluk-Nya karena
Allah bukan benda dan Allah ada tanpa arah. (Diriwayatkan oleh al Hafizh az-Zabidi
dalam al Ithaf dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua
perawinya adalah Ahl al Bayt; keturunan Rasulullah). Hal ini juga sebagai
bantahan terhadap orang yang berkeyakinan Wahdatul Wujud dan Hulul.
Tentang Buku
Judul Buku
|
:
|
al-Farq baina al-Firaq
|
Penulis
|
:
|
Abu Manshur Abd al-Qahir bin Thahir bin Muhammad
al-Baghdadi
|
Penerbit
|
:
|
Mesir-Maktabah Dar at-Turats
|
Cet./ Tahun
|
:
|
Baru / Tahun 1427 H/2007 M
|
Tebal
|
:
|
376 halaman
|
Posting Komentar
Posting Komentar