Menu

TQN PP.Suryalaya

 

Oleh: DR M Masri Muadz MSc -- (Penulis buku Paradigma Al-Fatihah)

Sebagai khalifah-Nya di bumi, Allah telah melengkapi manusia dengan tujuh potensi: Jisim atau tubuh [QS Al Baqarah (2):247], aqal dan pikiran [QS Al An'am (6):32], lubb dan mental [QS Ali 'Imran (3):190], qolb dan  emosi [QS Al Qashash (10);28], fu’ad dan ruhani [QS As Sajdah (32):9], nafs/jiwa [QS Al Baqarah (2):48], dan Ruh [QS As Sajdah (32):9].
Interaksi antarketujuh potensi manusia inilah yang melahirkan (emerge) kecerdasan jiwa. Apakah jiwa itu? Kamus Encarta mendifinisikannya secara sempit. Yaitu “studi ilmiah tentang keadaan (state) pikiran (mind) dan perilaku manusia (human).
Sedangkan Alquran menjelaskan makna jiwa dengan substansi yang luas dan strategis. Yaitu sosok non fisik dalam diri manusia, yang memutuskan dan bertanggung jawab terhadap semua yang dilakukannya di dunia.
Seperti penjelasan Alquran tentang fungsi-fungsi jiwa manusia berikut ini:
“Tiap-tiap Jiwa bertanggung jawab terhadap apa yang telah diperbuatnya” [QS AlMudatsir (74):38].
“Maka tiap-tiap Jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan diabaikannya” [QS Al Infithar (82):5].
“Pada hari ini tiap-tiap Jiwa diberi balasan dengan apa diusahakannya...” [QS Al Mu’min (40):17].
Alquran selanjutnya menjelaskan adanya tujuh tingkat kualitas jiwa. Maka seseorang yang memilki jiwa yang cerdas adalah orang yang mampu meningkatkan kualitas jiwanya, mulai dari kualitas jiwa terendah, hingga mencapai kualitas jiwa tertinggi, dengan tahapan-tahapan sebagai berikut.
Pertama, jiwa yang selalu mengajak pada kemungkaran (Al-nafs al-ammarah). Yaitu jiwa yang membuat manusia terjerumus dalam kemungkaran. Allah berfirman: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya jiwa (yang sudah dikuasai oleh nafsu) selalu menyuruh kepada kejahatan...” [QS Yusuf (12):53].
Hawa nafsu adalah pintu masuk godaan syaitan, lalu keduanya menyatu menjadi kesombongan diri. Karena itu mengalahkan hawa nafsu, godaan syaitan dan kesombongan diri adalah langkah cerdas jiwa, dalam menjauhi kualitas jiwa pertama untuk mencapai kualitas jiwa kedua.
Kedua, jiwa yang banyak menyesal (Al-nafs al-lawwamah). Yaitu jiwa yang selalu menyesali perbuatannya. Baik takala lupa sehingga ia berbuat kemungkaran, maupun saat terlambat mengerjakan kebajikan. Allah berfirman: “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali dirinya... Bahkan manusia itu hendak membuat maksiat terus menerus” [QS Al Qiyamah (75):2 dan 5].
Jiwa yang banyak menyesal adalah jiwa orang yang hidup dalam kontradiksi: melakukan kemungkaran dan kebajikan. Maka meninggalkan semua kemungkaran dan mengerjakan sebanyak-banyak kebajikan adalah langkah cerdas jiwa, untuk mencapai kualitas jiwa ketiga.
Ketiga, jiwa yang suci (A-nafs al-muzkiyah). Yaitu jiwa yang sudah membersihkan diri dari hawa nafsu, godaan syaitan dan arogansi diri. Sehingga ia terhindar dari semua perbuatan mungkar hingga ia tidak menyesal lagi. Allah berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” [QS Asy Syams (91):9-10].
Jiwa yang suci adalah jiwa yang sudah meninggalkan semua kemungkaran dan mengerjakan sebanyak-banyak kebajikan dengan keikhlasan. Karena itu mensucikan jiwa karena Allah adalah langkah cerdas jiwa untuk mencapai kualitas jiwa keempat.
Keempat, jiwa yang tenang (Al-nafs al-mutmainnah). Yaitu jiwa yang sudah tenteram. Karena ia sudah meninggalkan semua kemungkaran dan menjalani hidup sesuai petunjuk Allah. Allah berfirman: ”Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang redha lagi diredhai-Nya [QS Al Fajr (89):27-28].
Jiwa yang tenang adalah jiwa yang sudah mendapat nikmat Allah. Berupa hidayah jalan yang lurus. Maka menjaga diri hingga selalu berada pada jalan lurus adalah langkah cerdas jiwa menuju kualitas jiwa kelima.
Kelima, jiwa yang redha (Al-nafs radhiyah). Yaitu jiwa yang tenang karena selalu mencari dan berpegang pada Kebenaran.
"Allah berfirman: "Ini adalah hari di mana orang-orang yang selalu berpegang pada Kebenaran itu diberikan manfaat oleh Kebenaran mereka. Bagi mereka adalah surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah meredhai dan merekapun redha kepada-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar". QS Al Maidah (5):119.
Maka mencapai jiwa yang tenang, berpegang pada Kebenaran, dan redha kepada Allah adalah langkah cerdas jiwa untuk mencapai kualitas jiwa keenam.
Keenam, jiwa yang diredhai (al-nafs al-mardhiyah). Yaitu jiwa yang tenang, berpegang pada Kebenaran, redha dan diredhai Allah, dan hidup penuh ketaqwaan, yang surga balasannya sudah dipastikan: Adn.
Allah berfirman: “Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah redha terhadap mereka dan merekapun redha kepada Allah. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut (bertaqwa) kepada Tuhannya” [QS Al Bayyinah (98):8].
Maka upaya mencapai jiwa yang selalu diredhai Allah adalah langkah cerdas jiwa untuk mencapai kualitas jiwa sempurna.
Ketujuh, jiwa yang sempurna (Al-nafs al-kamilah). Yaitu jiwa yang telah menempati posisi tertinggi dalam ketaqwaan. Ketaqwaan untuk diri, dan teladan bagi orang lain. Karena itu, dikatakan bahwa Al-nafs al-kamilah adalah tingkat jiwa yang hanya mampu dicapai oleh Insan Kamil, yaitu Rasulullah SAW. dan para pewarisnya (red.)
Maka, marilah kita meneladani Rasulullah dalam pendakian jiwa yang cerdas. Allah berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. Yaitu bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat serta berdzikir yang banyak” [QS Al Ahzab (33):21].

Allahu a’lamu bishshawab.
Sumber: repubika.co.id


Posting Komentar

 
Top