Para ahli berpendapat bahwa islamisasi Indonesia sampai sekarang masih berlanjut.Ini harus diartikan bahwa Islam yang datang ke Indonesia harus melewati jalan, rentang waktu, serta corak pemikiran yang panjang, dimulai dari Islam datang di pelabuhan-pelabuhan, diperkenalkan, disebarkan, dikembangkan, dimantapkan dan diperbarui.
Islam yang datang ke Indonesia
melalui transportasi laut harus menyusuri pantai Laut Merah, negeri Yaman,
Hadramaut, Gujarat, Pulau Seylon, mungkin Teluk Benggala, selanjutnya sampai
Patani-Thailand Selatan, baru sampai ke Perlak. Dari Perlak menyusuri Banten, Gresik
terus ke timur melalui Mataram (Lombok) ke Maluku, tempat-tempat itu
masing-masing mempunyai peranan dalam perkembangan Islam. Dalam perkembangannya
kemudian, jaringan hubungan seperti itu terus berlanjut timbal balik dari abad
ke abad, generasi ke generasi, mula-mula berupa jaringan perdagangan, berlanjut
kepada jaringan ulama sebagaimana disebutkan oleh Azyumardi Azra, selanjutnya
kepada jaringan tasawuf tarekat sehingga perubahan apa pun yang terjadi di
pusat Islam Timur Tengah akan sangat mempengaruhi keadaan Islam di Indonesia.
Ajaran Islam dibawa oleh Nabi
Muhammad yang pada masa awal dilaksanakan secara murni. Ketika Rasulullah
wafat, cara beramal dan beribadah para sahabat dan tabi’in masih tetap
memelihara dan membina ajaran Rasul, disebut amalan salaf al-shalih.
Pada abad pertama Hijriyah
mulai ada perbincangan tentang teologi, dilanjutkan mulai ada formalisasi
syariah. Abad kedua Hijriyah mulai muncul tasawuf. Tasawuf terus berkembang dan
meluas dari mulai terkena pengaruh luar. Salah satu pengaruh luar adalah
filsafat, baik filsafat Yunani, India maupun Persia. Muncullah sesudah abad
ke-2 Hijriyah golongan sufi yang mengamalkan amalan-amalan dengan tujuan
kesucian jiwa untuk taqarrub kepada Allah. Para sufi kemudian membedakan
pengertian-pengertian syariah, thariqat, haqiqat, dan makrifat. Menurut mereka
syariah itu untuk memperbaiki amalan-amalan lahir, thariqat untuk memperbaiki
amalan-amalan batin (hati), haqiqat untuk mengamalkan segala rahasia yang gaib,
sedangkan makrifat adalah tujuan akhir yaitu mengenal hakikat Allah baik zat,
sifat maupun perbuatanNya. Orang yang telah sampai ke tingkat makrifat
dinamakan wali. Kemampuan luar biasa yang dimilikinya disebut karamat atau
supranatural, sehingga dapat terjadi pada dirinya hal-hal luar biasa yang tidak
terjangkau oleh akal, baik di masa hidup maupun sesudah meninggal. Syaikh Abdul
Qadir Jaelani (471-561/1078-1168) menurut pandangan sufi adalah wali tertinggi
disebut quthub al-auliya (wali quthub).
Pada abad ke-5 Hijriyah atau 13
Masehi barulah muncul tarekat sebagai kelanjutan kegiatan kaum sufi sebelumnya.
Hal ini ditandai dengan setiap silsilah tarekat selalu dihubungkan dengan nama
pendiri atau tokoh-tokoh sufi yang lahir pada abad itu. Setiap tarekat
mempunyai syaikh, kaifiyah zikir dan upacara-upacara ritual masing-masing.
Biasanya syaikh atau mursyid mengajar murid-muridnya di asrama latihan rohani
yang dinamakan rumah suluk atau ribath.
Mula-mula muncul Tarekat
Qadiriyah yang dikembangkan oleh Syaikh Abdul Qadir di Asia Tengah Tibristan
tempat kelahiran dan operasionalnya, kemudian berkembang ke Baghdad, Irak,
Turki, Arab Saudi sampai ke Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, India,
Tiongkok. Muncul pula Tarekat Rifa’iyah di Maroko dan Aljazair. Disusul Tarekat
Suhrawardiyah di Afrika Utara, Afrika Tengah, Sudan dan Nigeria.
Tarekat-tarekat itu kemudian berkembang dengan cepat melalui murid-murid yang
diangkat menjadi khalifah, mengajarkan dan menyebarkan ke negeri-negeri Islam,
bercabang dan beranting sehingga banyak sekali.
Organisasi tarekat pernah
mempunyai pengaruh yang sangat besar di dunia Islam. Sesudah khalIfah Abbasiyah
runtuh oleh bangsa Mongol tahun 1258 M, tugas memelihara kesatuan Islam dan
menyiarkan Islam ke tempat-tempat yang jauh beralih ke tangan kaum sufi, termasuk
ke Indonesia. Ketika berdiri Daulah Usmaniyah, peranan tarekat (Bahtesyi)
sangat besar baik dalam bidang politik maupun militer. Demikian juga di Afrika
Utara, peranan Tarekat Sanusiyah sangat besar terutama di negeri Aljazair dan
Tunisia, sedangkan di Sudan berpengaruh Tarekat Syadziliyah. Khusus di
Indonesia, pengembangan Islam pada abad ke- 16 dan selanjutnya, sebagian besar
adalah atas usaha kaum sufi sehingga tidak heran apabila pada waktu itu
pemimpin-pemimpin spiritual Islam di Indonesia bukanlah ahli syariah melainkan
syaikh tarekat.
Tentang kapan pribumi nusantara
memeluk Islam, para ahli berbeda pendapat. Mungkin orang muslim asing memang
sudah ada yang menetap di pelabuhan dagang di Sumatra dan Jawa beberapa abad
sebelum abad ke-16, namun baru menjelang abad ke-10 ada bukti-bukti orang
pribumi memeluk Islam di suatu kerajaan kecil Perlak, dilanjutkan pada abad
ke-13 oleh kerajaan Samudera Pasai. Selama abad ke-14 dan 15 Islam secara
berangsur-angsur menyebar ke pantai utara Jawa dan ke Maluku.
Ketika orang pribumi Nusantara
mulai menganut Islam corak pemikiran Islam diwarnai oleh tasawuf, pemikiran
para sufi besar seperti Ibn al-‘Arabi dan Abu Hamid al-Ghazali sangat
berpengaruh terhadap pengamalan-pengamalan muslimin generasi pertama. Justru
karena tasawuf ini penduduk nusantara mudah memeluk agama Islam, apalagi ulama
generasi pertama juga menjadi pengikut sebuah tarekat atau lebih.
Secara relatif corak pemikiran
Islam yang pernah dipengaruhi oleh tasawuf selanjutnya berkembang menjadi
tarekat. Justru ketika abad ke-13 Masehi ketika masyarakat nusantara mulai
memantapkan diri memeluk Islam, corak pemikiran Islam sedang dalam puncak
kejayaan tarekat.
Tasawuf secara harfiah berasal
dari kata shuuf yang berarti bulu. Waktu itu para sufi memakai pakaian dari
bulu domba sebagai lambang merendahkan diri. Secara istilah Ibn Khaldun
mengartikan tasawuf adalah salah satu ilmu syariah yang timbul kemudian dalam
Islam. Asalnya tekun beribadah dan memutuskan perhatian dengan segala selain
Allah, hanya mengharap kepada Allah semata, menolak hiasan dunia, serta
membenci perkara yang selalu memperdaya orang kepada kelezatan harta benda dan
kemegahan dunia, menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah.
Sedangkan kata “tarekat” secara harfiah berarti “jalan”, mengacu kepada suatu
sistem latihan meditasi maupun amalan-amalan (muraqabah, zikir, wirid dan
sebagainya) yang dihubungkan dengan sederet guru sufi. Tarekat juga berarti
organisasi yang tumbuh seputar metode sufi yang khas. Pada masa permulaan,
setiap guru sufi dikelilingi oleh lingkaran murid mereka dan beberapa dari
murid ini kelak akan menjadi guru pula. Boleh dikatakan bahwa tarekat itu
mensistematiskan ajaran dari metode-metode tasawuf. Guru tarekat yang sama
mengajarkan metode yang sama, zikir yang sama, muraqabah yang sama. Seorang
pengikut tarekat akan memperoleh kemajuan melalui sederet amalan-amalan
berdasarkan tingkat yang dilalui oleh semua pengikut tarekat yang sama. Dari
pengikut biasa (mansub) menjadi murid selanjutnya pembantu Syaikh (khalifah-nya)
dan akhirnya menjadi guru yang mandiri (mursyid).
Seorang pengikut tarekat ketika
melakukan amalan-amalan tarekat berusaha mengangkat dirinya melampaui
batas-batas ke-dirian-nya sebagai manusia dan mendekatkan diri ke sisi Allah.
Dalam pengertian ini sering kali perkataan tarekat dianggap sinonim dengan
istilah tasawuf, yaitu dimensi esoteris dan aspek yang mendalam dari agama
Islam. Sebagai istilah khusus, perkataan tarekat lebih sering dikaitkan dengan
suatu “organisasi tarekat”, yaitu suatu kelompok organisasi yang melakukan
amalan-amalan zikir tertentu, dan menyampaikan suatu sumpah yang formulanya
telah ditentukan oleh pimpinan organisasi tarekat tersebut. Dalam tradisi
pesantren dijawa, istilah tasawuf dipakai semata-mata dalam kaitan aspek intelektual
dari “jalan=thariqat” itu, sedangkan aspeknya yang bersifat etis dan praktis
(yang dalam lingkungan pesantren dianggap lebih penting daripada aspek
intelektualnya) diistilahkan dengan tarekat.
Sebuah tarekat biasanya terdiri
dari pensucian batin, kekeluargaan tarekat, upacara keagamaan, dan kesadaran
sosial.” Yang dimaksud pensucian jiwa adalah melatih rohani dengan hidup zuhud,
menghilangkan sifat-sifat jelek yang menyebabkan dosa, dan mengisi dengan
sifat-sifat terpuji, taat menjalankan perintah agama, menjauhi larangan, taubat
atas segala dosa dan muhasabah introspeksi, mawas diri terhadap semua
amal-amalnya. Kekeluargaan tarekat biasanya terdiri dari syaikh tarekat, syaikh
mursyid (khalifahnya), mursyid sebagai guru tarekat, murid dan pengikut
tarekat, serta ribath (zawiyah) tempat latihan, kitab-kitab, sistem dan metode
zikir. Upacara keagamaan bisa berupa baiat, ijazah atau khirqah, silsilah,
latihan-latihan, amalan-amalan tarekat, talqin, wasiat yang diberikan dan
dialihkan seorang syaikh tarekat kepada murid-muridnya.
Dari unsur-unsur tersebut di
atas, salah satunya yang sangat penting bagi sebuah tarekat adalah silsilah.
Silsilah itu bagaikan kartu nama dan legitimasi sebuah tarekat, yang akan
menjadi tolok ukur sebuah tarekat itu mu’tabarah (dianggap sah) atau tidak.
Silsilah tarekat adalah “nisbah”, hubungan guru terdahulu sambung-menyambung
antara satu sama lain sampai kepada Nabi. Hal ini harus ada sebab bimbingan
keruhanian yang diambil dari guru-guru itu harus benar-benar berasal dari Nabi.
Kalau tidak demikian halnya berarti tarekat itu terputus dan palsu, bukan
warisan dari Nabi.
Silsilah tarekat berisi
rangkaian nama-nama guru yang sangat panjang, yang satu bertali dengan yang
lain. Biasanya tertulis rapi dalam bahasa Arab, di atas sepotong kertas yang
diserahkan kepada murid tarekat sesudah ia melakukan latihan dan amalan-amalan
dan sesudah menerima petunjuk (irsyad) dan peringatan (talqin) serta sesudah
membuat janji (bai’ah) untuk tidak melakukan ma’siyat sekaligus menerima ijazah
sebagai tanda boleh meneruskan pelajaran tarekat kepada orang lain. Oleh karena
itu, anggota sebuah tarekat akan sangat menganggap penting sebuah silsilah
karena silsilah tarekat berperan sebagai sarana untuk menerangkan bahwa tarekat
itu sah (mu’tabarah) atau tidak, bahwa dasar-dasar ajaran tarekat dan
pengamalan-pengamalan tarekat yang mereka ajarkan itu berasal dari Nabi atau
bukan. Setiap guru akan sangat hati-hati menjaga silsilah yang menunjukkan
siapakah gurunya dan siapa guru-guru sebelum dia, terus-menerus
sambung-menyambung sampai kepada Nabi.
Pada silsilah seorang guru abad
ke-20 biasanya tercantum antara tiga puluh sampai empat puluh orang. ldealnya
setiap guru yang tercantum dalam silsilah seharusnya merupakan murid langsung
dari guru sebelumnya. Kenyataan tidak selalu demikian. Kadang-kadang dua orang
yang berurutan dalam silsilah dapat saja tidak pernah berjumpa karena yang
pertama wafat sebelum yang kedua lahir atau karena mereka tinggal di negara
yang berjauhan. Sebagian kaum sufi menolak silsilah semacam ini dan
menganggapnya palsu. Sebab hubungan yang bertemu langsung atau tidak antara
guru dengan guru sebelumnya merupakan ukuran sebuah tarekat dianggap mu’tabarah
atau tidak. Walaupun demikian, sebagian sufi tidak menolak kemungkinan bahwa seorang
wali menerima pelajaran dari guru yang mendahuluinya bukan lewat komunikasi
langsung tetapi lewat komunikasi spiritual, melalui pertemuan secara ruhaniyah.
Hubungan semacam ini disebut barzakhi atau uwaisi.
Sebuah silsilah tarekat juga
akan berhubungan dengan peran “wasilah”, yaitu mediasi (perantara), melalui
seorang pembimbing spiritual (mursyid) sebagai sesuatu yang sangat diperlukan
demi kemajuan spiritual. Untuk sampai kepada perjumpaan dengan Yang Mutlak,
seseorang tidak hanya memerlukan bimbingan, tetapi campur tangan aktif dari
pihak pembimbing spiritualnya dan para pendahulu sang pembimbing, termasuk yang
paling penting adalah Nabi Muhammad sendiri, dan melalui wasilah dengan Nabi,
sampai kepada Tuhan. Oleh karena itu, bagian yang penting dalam pencarian
spiritual adalah menemukan seorang mursyid yang dapat diandalkan yang dapat
menjadi wasilah dan mengantarkan kepada Tuhan. Para ahli tarekat memang yakin
bahwa cara-cara pengamalan tarekat dapat dianggap sah bila dilakukan di bawah
bimbingan seorang guru. Kondisi seperti ini menjadikan para guru tarekat ini
bertindak sebagai perantara bagi para murid yang ingin berhubungan dengan Tuhan
dan memiliki otoritas mutlak atas murid-muridnya, baik persoalan kehidupan
spiritual maupun material. Sang guru tarekat berusaha dengan segala cara untuk
membimbing muridnya sampai kepada Tuhan.
Bersambung ke bagian II
Tulisan : Dr. Hj. Sri Mulyati, MA (Dewan Pakar di Lembaga Dakwah TQN Pondok Pesantren Suryalaya )
Sumber: sufinews.com
Posting Komentar
Posting Komentar