Masalah lain yang erat
hubungannya dengan silsilah adalah proses tawajjuh (tatap muka). Tawajjuh
semula mempunyai arti mengajar langsung, seorang guru berhadap-hadapan mengajar
langsung kepada murid-muridnya. Dalam perkembangannya kemudian mempunyai arti
khusus: tawajjuh merupakan perjumpaan di mana seseorang membuka harinya kepada
syaikhnya dan membayangkan hatinya disirami berkah sang syaikh, sang syaikh
membawa hati tersebut ke hadapan Nabi Muhammad Saw. Hal ini dapat berlangsung
sewaktu pertemuan pribadi antara murid mursyid dan baiat merupakan pertemuan
pertama.
Pemahaman
silsilah juga membawa pada pemakaian teknik rabithah mursyid, “mengadakan
hubungan batin dengan sang pembimbing” sebagai pendahuluan zikir, yaitu proses
penghadiran (visualisasi) sang mursyid oleh murid dengan membayangkan hubungan
yang sedang dijalani dengan sang mursyid. Hubungan itu sering kali dalam bentuk
cahaya yang memancar dari sang mursyid. Sang penganut tarekat membayangkan
gambar pembimbingnya dan semua wali dalam silsilahnya, lalu ia bayangkan
seberkas cahaya memancar dari Allah dan turun ke kening Rasulullah. Dari sana
cahaya itu memantul melalui wali-wali satu per satu berurutan, kemudian dari
kening sang pembimbing langsung masuk ke hati sang murid yang ketika itu sedang
menyebut “Allah, Allah”, maka mulailah zikir nama Tuhan.
Islamisasi
Indonesia tidak terdokumentasi dengan baik sehingga banyak spekulasi di
kalangan ilmuwan yang menimbulkan perdebatan yang belum selesai. Karena luasnya
wilayah Indonesia tidak mungkin islamisasi menurut pola yang seragam. Ada yang
melalui perdagangan, atau aliansi politik antar pedagang dengan putri
bangsawan, atau mungkin juga melalui penaklukan. Namun, secara umum proses
tersebut berlangsung secara damai melalui peranan tasawuf dan tarekat.
Abad-abad
pertama islamisasi Indonesia berbarengan dengan masa merebaknya tasawuf abad
pertengahan dan pertumbuhan tarekat. Dalam abad-abad ini bermunculan
tokoh-tokoh sufi yang terkenal seperti Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111) dengan
konsep tasawuf yang diterima oleh para fuqaha, Ibn al-Arabi (w. 1240) yang
mempengaruhi hampir semua sufi yang muncul belakangan, Abdul al-Qadir al-Jilani
(w. 1166) yang ajarannya menjadi dasar Tarekat Qadiriyah, Abu al-Najib
al-Suhrawardi (w. 1167) yang darinya nama tarekat Suhrawardi diambil, Najmu
al-Din al-Kubra (w. tahun 1221) tokoh sufi Asia Tengah pendiri tarekat
Kubrawiyah dan sangat berpengaruh terhadap tarekat Naqsyabandiyah, Abu al-Hasan
al-Syadzili (w. 1258) sufi Afrika Utara pendiri tarekat Syadziliyah, Rifa’iyah
telah mapan sebagai tarekat menjelang 1320, Khalwatiyah menjelma menjadi
tarekat ± 1300 dan 1450, Naqsyabandiyah menjadi tarekat khas pemberi namanya
Baha al-Din Naqsyabandi (w. 1389), dan Abdullah al-Syaththar pendiri Tarekat
Syattariyah (w. 1428-1429).
Sejarawan
mengemukakan bahwa karena faktor tasawuf dan tarekatlah islamisasi Asia
Tenggara, termasuk Indonesia, dapat berlangsung dengan damai. Ajaran kosmologis
dan metafisis tasawuf Ibn ‘Arabi dapat dengan mudah dipadukan dengan ide-ide
sufistik India dan ide-ide sufistik pribumi yang dianut masyarakat setempat.
Konsep Insan Kamil sangat potensial sebagai legitimasi religius bagi para raja.
Bahkan sampai sekarang Islam Indonesia masih diliputi sikap sufistik dan
kegemaran kepada hal-hal yang mengandung keramat. Di antara naskah-naskah Islam
paling tua dari Jawa dan Sumatra yang masih ada sampai sekarang (dibawa ke
Eropa sekitar tahun 1600) terdapat risalah-risalah tasawuf dan cerita-cerita
keajaiban yang berasal dan Persia dan India. Di dalam tulisan-tulisan Jawa masa
belakangan, kita temukan adanya ajaran tasawuf yang Iebih kental sedangkan
perihal tarekat mendapatkan banyak pengikut sekitar abad ke-18 dan 19 Masehi.
Bersambung ke bagian III
Tulisan : Dr. Hj. Sri Mulyati, MA (Dewan Pakar di Lembaga Dakwah
TQN Pondok Pesantren Suryalaya )
Sumber: sufinews.com
Posting Komentar
Posting Komentar