Jika turunnya wahyu pertama pada tahun 610 Masehi sebagai awal kenabian dapat
diterima menjadi tonggak karier Islam di muka bumi, maka karier itu sudah
berlangsung dalam lipatan abad yang panjang. Islam bukan lagi agama sederhana,
ia sudah kompleks sekali. Tafsiran terhadap agama terakhir ini sudah
berlapis-lapis, sehingga untuk menentukan mana yang emas dan mana yang loyang
menjadi tidak mudah, kecuali di tangan orang yang dikurniai ‘aqlun shaĥîh wa
qalbun salîm (minda yang sehat tak terbelah dan hati yang tulus tanpa
cacat), sekalipun tidak pernah sempurna. Alquran pasti membuka diri terhadap
orang dengan kualitas prima ini. Tetapi manusia tetap manusia dengan segala
keterbatasannya, ada saja sisi-sisi yang lemah yang mengganggu.
Dari sudut pandang relativisme manusia inilah kita harus memahami mengapa telah
berlaku peperangan antara kelompok Siti ‘Aisyah
binti Abû Bakr, Isteri nabi Muhammad s.a.w., yang dipimpin oleh Thalĥâh bin
‘Ubaidillâh dan Zubair bin ‘Awwâm berhadapan dengan pendukung Khalifah ‘Alî bin
Abî Thâlib (656-661), sepupu dan menantunya. Menurut hadits, sebagai sahabat
nabi, mereka yang terlibat dalam peperangan ini telah dijamin masuk surga. Ini
adalah krisis politik pertama yang berdarah dalam sejarah Islam yang dikenal
dengan Perang Onta, terjadi tahun 35 H/656 M, segera setelah berlaku pembunuhan
keji atas diri Khalifah ‘Ustmân bin ‘Affân (644-656) oleh pemberontak Muslim
yang menentang kebijakan khalifah yang dinilai tidak adil.
Krisis kedua yang lebih dahsyat di periode awal itu terjadi dalam perang
Shiffîn (657) antara pasukan’Ali dan Mu’awiyyah bin Abû Sufyân, gubernur Suria
yang diangkat Khalifah ‘Umar bin Kaththâb (632-644) di masa kekhalifahannya.
Dalam perang saudara yang masih dikait-kaitkan dengan Parang Onta ini, ribuan
yang mati dari kedua pihak. Ketika pasukan ‘Alî nyaris menang, utusannya Abû
Mûsâ al-‘Asy’arî ditipu oleh utusan Mu’âwiyah, ‘Amr bin ‘Ash yang cerdik, agar
peperangan dihentikan dan berdamai (taĥkîm) di Daumatul Jandal, sebuah oase di
lembah Sirhan yang terletak antara Damaskus dan Madinah.
Peluang ini digunakan dengan licik oleh ‘Amr bin ‘Ash untuk mengganti ‘Alî
sebagai khalifah dengan menobatkan Mu’âwiyah, idolanya. Tetapi kekuasaan penuh
Mu’awiyah harus menanti dulu kematian ‘Ali karena ditikam oleh mantan
pengikutnya di masjid Kufah. Kelompok garis keras ini kemudian dikenal dalam
sejarah sebagai golongan khawarij (yang memisahkan diri) dari ‘Ali karena
menentang taĥkîm di Daumatul Jandal. Tetapi sebenarnya yang tetap setia kepada
‘Ali sampai detik terakhir adalah kaum Anshar. Adapun orang Iraq dan apa yang
dikenal dengan golongan al-Qurra tidak sepenuh hati mendukung ‘Ali. Kelemahan
ini dibaca dan dimanfaatkan oleh pihak Mu’awiyah untuk memecah belah kubu ‘Ali
dan berhasil.
Saya rekamkan kejadian tragis ini bukan untuk membuka luka yang telah berusia belasan abad, tetapi untuk menyadarkan kita semua bahwa sengketa yang berdarah-darah di atas sepenuhnya adalah gejala Arab, bukan mewakili Alquran yang dengan tegas memerintahkan agar orang beriman itu bersaudara dan berdamai. (Lih. Aquran . Al-Ĥujurât: 10). Ironisnya adalah perpecahan yang bercorak Arab ini kita warisi sampai detik ini. Seakan-akan kelakuan para sahabat yang terlibat dalam sengketa dan peperangan itu menjalankan perintah Alquran, sama sekali tidak. Adapun mereka itu dijamin masuk surga sepenuhnya adalah urusan Allah dengan mereka, kita tidak tahu.
Dari tragedi Shiffîn inilah kemudian berkembang tiga faksi besar umat yang
tidak pernah berdamai: sunni, syi’ah, dan khawarij. Sunni yang muncul sebagai
golongan mayoritas merasa diri selalu berada di pihak yang benar dengan menuduh
kelompok syi’ah dan khawarij sebagai pihak yang salah. Cara pandang yang
semacam ini harus dihalau jauh-jauh dengan menjadikan Alquran sebagai hakim dan
rujukan yang tertinggi. Kepentingan politik sesaat dengan dalil agama sekalipun
bagi saya adalah sebuah pengkhianatan. Sunni, syi’ah, dan khawarij adalah buah
dari perpecahan politik, mengapa kemudian diberhalakan? Pemberhalaan inilah
yang selama ratusan tahun telah menghancurkan persaudaraan sejati umat Islam,
termasuk umat Islam yang tidak ada hubungannya dengan yang budaya Arab yang
suka berpecah belah itu.
Dinasti Umayyah yang sepenuhnya bercorak Arab dibangun Mu’awiyah di atas kafan ‘Ali bin Abi Thalib dengan ibu kota Damaskus. Rezim ini bisa bertahan sekitar 90 tahun (661-750) untuk kemudian diluluhlantakkan oleh rezim baru, campuran Arab dan Persi, dinasti ‘Abbasiyah (750-1258), dengan ibu kota Baghdad. Muslim keturunan Persi merasa dianaktirikan oleh rezim Umayyah sebagai warga mawâlî (kelas dua) cepat bergabung dengan rezim ‘Abbasiyah yang semula berpusat di Khurasan (Persi).
Dinasti Umayyah yang sepenuhnya bercorak Arab dibangun Mu’awiyah di atas kafan ‘Ali bin Abi Thalib dengan ibu kota Damaskus. Rezim ini bisa bertahan sekitar 90 tahun (661-750) untuk kemudian diluluhlantakkan oleh rezim baru, campuran Arab dan Persi, dinasti ‘Abbasiyah (750-1258), dengan ibu kota Baghdad. Muslim keturunan Persi merasa dianaktirikan oleh rezim Umayyah sebagai warga mawâlî (kelas dua) cepat bergabung dengan rezim ‘Abbasiyah yang semula berpusat di Khurasan (Persi).
Peradaban memang berkembang hingga mencapai puncak-puncaknya yang tertinggi,
tetapi semua itu juga dibangun di atas tengkorak umat Islam yang berbeda
pandangan politik. Salah seorang dari unsur dinasti Umayyah yang bebas dari
pengejaran pasukan ‘Abbasiyah, Abd al-Rahman I (al-Dâkhil) lari ke Spanyol
untuk kemudian pada tahun 756 membangun kerajaan di sana yang bisa bertahan
berabad-abad sampai 1031 disertai perkembangan peradaban yang tidak kalah
hebatnya dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh dinasti ‘Abbasiyah di
belahan Timur. Kita semua pasti bangga dengan capaian-capaian itu, tetapi
jangan lupa membaca sisi gelap yang lain: politik kekuasaan telah menghancurkan
perumahan persaudaraan umat dengan membuang jauh perintah Alquran tentang
persatuan berdasarkan iman ke dalam limbo sejarah. Dalam politik kekuasaan,
iman sering benar digantikan oleh semangat suku, ras, atau keturunan.
Rezim ‘Abbasiyah dalam sejarah biasa disebut sebagai abad emas Islam.
Nomenklatur ini tentu tidak salah sepanjang menyangkut aspek kemegahan duniawi
tanpa menengok keutuhan internal umat yang berantakan. Kehancuran Baghdad oleh
serangan pasukan Hulagu (Mongol) pada 1258 tidak serta merta membawa kehancuran
rezim-rezim Muslim yang lain. Di Spanyol masih bertahan kerajaan-kerajaan kecil
Muslim pasca dinasti Umayyah sampai pada tahun 1492 ketika pasukan
Katolik-Salib mengusir umat Islam seluruhnya dari sana dengan diberi pilihan:
pindah agama, diusir, atau dibunuh, termasuk umat Yahudi yang juga harus lari
dari sana. Dalam hal toleransi lintas agama, filosuf agnostik Bertrand Russell
menulis dalam karyanya Why I Am Not a Christian (New York: Simon and
Schuster, 1957, hlm. 202): “Imperium para khalifah bersikap lebih ramah kepada
orang Yahudi dan Kristen dibandingkan dengan negara-negara Kristen terhadap
umat Yahudi dan umat Islam).”
Tetapi harus pula dicatat bahwa imperium khalifah tidak memberi ruang gerak
kepada lawan-lawan politiknya sesama umat Islam. Ini yang berlaku sepanjang
sepanjang sejarah. Darah lebih banyak tertumpah dalam perang sesama Muslim
dibandingkan dengan sengketa dengan pihak lain, kecuali dalam Perang Salib
(dalam bahasa Arab: al-ĥurûb al-shalîbiyyah) yang berlangsung lebih sedikit
dari dua abad itu (1095-1291). Krisis demi krisis yang dialami Islam hampir
selalu berkaitan dengan politik kekuasaan, baik antara sesama Muslim atau
antara Muslim berhadapan dengan kekuatan non-Muslim.
Bahwa Islam terus saja berkembang dengan merebut pengikut-pengikut baru dari
berbagai bangsa adalah juga kenyataan yang terus saja berlangsung. Jumlah umat
Islam sekarang dengan angka moderat sebesar 1,6 miliar tidak akan jauh dari
fakta yang sebenarnya. Saban hari di berbagai penjuru bumi Muslim baru terus
saja bermunculan. Krisis tidak menghalangi pendatang baru itu. Di Amerika
Serikat, justru pasca Tragedi 11 September 2001, jumlah warga Muslim semakin
banyak saja di sana. Semakin Islam disudutkan, semakin muncul saja manusia yang
mencarinya. Ini memang ajaib.
Sebelum hancur total, Rezim ‘Abbasiyah secara berangsur tetapi pasti telah
digantikan oleh pendatang baru yang bukan Arab atau Persi. Mereka berasal dari
puak Turki yang nenek moyangnya berasal dari Asia Tengah. Setelah melalui
proses panjang dan berliku, puak ini lambat laun menjadi penganut Islam,
umumnya bermazhab Hanafi. Bermula dari dinasti Saljuk pada abad ke-11, kemudian
di akhir abad ke-13 diambilalih oleh dinasti Usmaniyyah (1299-1924), sebuah
imperium besar dan gagah yang menakutkan dan menggoncangkan pihak Eropa yang
bertahan sampai sekitar tujuh abad. Pada tahun 1453 di bawah Sultan Muhammad II
al-Fâtiĥ (Pembuka/Penakluk), kota megah Konstantinopel ditaklukkan dari pihak
Bizantium (Romawi Timur), sebuah peristiwa yang sangat menyakitkan pihak
Kristen dan dunia Barat sampai hari ini.
Dari sisi ini saya tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat Ismail R. al-Faruqi
yang mengatakan bahwa umat Islam tidak pernah menjadi penakluk, tetapi sebagai
pembuka jalan untuk dakwah Islam (al-futuĥât). (Lih. Ismail Ragi al-Faruqi dan
Lois Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam (New York: Macmillan
Publishing Company, 1986, hlm. 202-229). Dalam kasus Konstantinopel, proses
penaklukan itu sangat jelas. Gelar al-Fâtiĥ yang disandang Muhammad II adalah
sebagai penakluk. Adapun sifat penaklukan itu dinilai lebih beradab,
sebagaimana Russell mengatakan, juga adalah sebuah fakta sejarah.
Puncak kemegahan rezim Turki Usmani terjadi pada abad ke-16, terutama di bawah
Sultan Sulaiman Yang Agung (1520-1566). Kemegahan ini terjadi juga dengan
melibas suku-suku kecil Turki yang semula bersifat otonom dalam bentuk
keamiran, sehingga protes mereka berbunyi: “Mengapa sultan menghabisi kami
sesama Muslim, bukan yang non-Muslim.” Sesungguhnya yang dihabisi itu bukan
hanya suku-suku kecil Turki itu, rezim Safawi yang syi’ah juga diperangi, di
samping memerangi daerah Balkan, Hungaria, bangsa-bangsa Arab di Asia
Barat dan Afrika Utara. Lagi-lagi, sebuah imperium memang dibangun di atas
tengkorak manusia, Muslim atau non-Muslim. Umat Islam pada umumnya larut dalam
kemegahan kekuasaan rajanya, tetapi sedikit sekali yang mau merenung dan
mengoreksi proses kemegahan itu diraih. Sikap moral kebanyakan kita lemah
sekali.
Tidak berapa lama setelah puncak kemegahan Turki Usmani di bawah Sulaiman,
menjelang akhir abad ke-16, pihak Barat yang Kristen mulai memasang tali lasso
untuk mencekik leher umat Islam di berbagai bagian wilayah dunia. Inilah
kesaksian Toynbee tentang masalah ini: “Sungguh, menjelang akhir abad ke-16,
pihak Barat, berkat penaklukkannya atas Lautan, telah berhasil melemparkan tali
lasso ke sekitar leher Islam; tetapi barulah di abad ke-19 pihak Barat berani
menarik tali itu dengan kuat.” (Lih. A.J.Toynbee, Civilization on Trial
and The World and the West(Cleveland and New York: The World Publishing
Company, 1963, hlm. 248). Artinya, di abad itu, hampir seluruh
bangsa Muslim tersungkur menjadi manusia terjajah. Turki yang pernah perkasa
itu menjelang akhir abad ke-18 sudah diberi gelar sebagai “Orang sakit Eropa.”
Krisis panjang yang hina ini sangat melelahkan umat Islam sejagat, tetapi untuk
menjadi siuman betul, alangkah sulitnya. Penguasa Muslim yang menyukai
rakyatnya sebagai penurut paling bertanggung jawab atas segala malapetaka ini.
Pukulan sejarah bertubi-tubi rupanya belum cukup untuk membangunkan dan
menyadarkan umat akan tugas besar sejarah yang dipikulkan Alquran ke atas
pundaknya. Jangankan sadar, sebagian mereka malah menikmati hidup di bawah
sistem penjajahan itu sebagai manusia budak yang penurut dan peniru. Iqbal
menulis: “Kredo si budak adalah tiruan. Dan kerjanya adalah membuat citra
palsu. Dalam beragama, pembaruan baginya adalah sebuah dosa….Matanya terpaku
pada masa silam, tetapi buta tentang masa depan.” (Lih. Iqbal,
Gulshan-I-Râz-I-Jadîd dan Bandagî Nâmah, terjemahan M Hadi Hussain. Kashmiri
Bazar-Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1977, hlm. 59).
Lagi Iqbal dengan lebih tajam tentang mental budak ini: “Si budak secara
murahan terbelah dua antara agama dan kearifan: dia mengusir jiwanya untuk
mengamankan badannya dan, sekalipun nama Tuhan bertengger di bibirnya, sasaran
sesembahannya adalah keperkasaan penguasa.” (Hlm. 60). Penguasa busuk semacam
inilah yang menghancurkan Islam dari dalam sepanjang sejarah, sekalipun
bangsa-bangsa Muslim telah merdeka dari sistem penjajahan asing. Pergolakan
dunia Arab sejak 2010 yang lalu adalah perlawanan keras terhadap
rezim-rezim Muslim yang busuk dan rakus ini.
Tetapi krisis belum usai. Sejak beberapa waktu yang lalu muncul pula kelompok
ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) dengan Abu Bakar al-Baghdadi sebagai
pemimpin puncaknya yang mengaku sebagai khalifah dunia Islam. Faksi Kawarij
baru ini akan membunuh siapa saja yang tidak sefaham dengannya, Muslim dan
non-Muslim. Kekacauan politik yang dahsyat di dunia Arab adalah pemicu utama
bagi munculnya gerakan semisal ISIS ini. Barat, khususnya Amerika Serikat,
turut bertanggung jawab bagi lahirnya kelompok teror-radikal di dunia Islam
yang rapuh. Dengan berantakannya Afghanistan, Iraq, Lybia, Suria, dan
lain-lain, penguasa formal dunia Arab yang busuk telah kehilangan wibawa.
Kekosongan ini segera diisi oleh tipe manusia garang dan ganas, seperti
al-Baghdadi sebagai penerus Usamah bin Ladin. Di Afrika selatan sahara juga ada
kelompok Boko Haram, gerakan teror yang bersembunyi di balik jubah agama. Dunia
Islam kalang kabut dibuatnya. Indonesia yang relatif aman, mengikuti semua
drama ini dengan sikap awas dan penuh keprihatinan, tetapi tidak dapat berbuat
banyak. Agen-agen teror juga berkeliaran di negeri ini.
Pertanyaannya, untuk berapa lama lagi krisis ini melanda Islam dan dunia Islam?
Tak seorang pun di antara kita yang bisa menjawabnya, apalagi saya. Tetapi
suasana iman pasang-surut yang sederhana mengingatkan saya akan ayat 110 surat
Yûsuf (12) yang artinya: “Sampai ketika para rasul sudah dalam keadaan putusasa
dan mengira mereka sungguh telah dibohongi [oleh kaumnya], datanglah pertolongan
Kami kepada mereka. Kami selamatkan orang yang Kami kehendaki, dan hukuman Kami
tidak dapat terhindar dari kaum pendosa.” Oleh sebab itu, jalan masih terbuka
lebar untuk mengundang pertolongan Allah agar keluar dari krisis, dengan syarat
adanya kesediaan kita yang tulus untuk menjadi Muslim yang benar, lurus, dan
merdeka. Mental budak harus diusir sejauh-jauhnya, sehingga kepala kita tegak
berhadapan dengan siapa pun di muka bumi ini. Kemerdekaan umat yang hilang
menjadi peluang emas bagi penguasa Muslim yang jahat dan bejat.
Sumber: republika online, Oleh: Prof.Dr. Ahmad Syafii Maarif
Posting Komentar
Posting Komentar