Selama
bertahun-tahun Rumi menikmati popularitasnya yang tinggi dan menempati posisi
yang sangat dihormati sebagai seorang pemimpin. Tetapi pada tahun 1244 seorang
Darwisy misterius, Syams al-Din Tabrizi datang ke Konya dan menjumpai Rumi.
Perjumpaan ini telah mengubah Rumi dari seorang Teolog terkemuka menjadi
seorang penyair mistik yang sangat terkenal. Karena kuatnya pesona kepribadian
Syams, Rumi lebih memilih meninggalkan kegiatannya sebagai guru dan da'i
profesional untuk mengabdikan diri kepada Syams yang kini menjadi guru
spiritualnya, dan untuk memperkuat ikatannya untuk beberapa waktu mereka tidak
pernah terpisah. Tetapi keadaan ini membuat murid-murid Rumi marah dan cemburu
karena tidak mendapat bimbingan spiritual akibatnya mereka menyerang Syams
dengan kekerasan dan ancaman, sehingga ia meninggalkan Rumi menuju Damaskus.
Perpisahan ini dirasa
menyakitkan oleh Rumi dan menghunjam perasaan begitu mendalam.. karena itu ia
mengutus anaknya sultan Walad untuk memohon Syams agar kembali ke Konya. Rumi
bahagia bisa jumpa lagi dengan sang guru, akibatnya apa yang terjadi terulang
kembali. Tentunya murid-murid Rumi menjadi marah karena cemburu dan membenci
sekali lagi syams dengan lebih hebat lagi dari sebelumnya. Situasi ini
mendorong syams untuk mencari perlindungan ke Damaskus. Kemudian Rumi mencari
sendiri ke Damaskus tetapi itu tidak berhasildan kembali ke Konya dengan tangan
hampa.
Sebagai
tanda cintanya kepada Tabrizi, Rumi kemudian menulis kumpulan puisi yang
kemudian dikenal dengan Divan-e Shams-e Tabrizi.[4]
Kenapa aku harus mencari?
Aku sama dengannya
Jiwanya berbicara kepadaku
Yang kucari adalah diriku sendiri!
Sepuluh
tahun setelah kematian Tabrizi, Rumi kemudian menggubah ghazal [puisi cinta]
yang dikumpulkan dalam Divan-e Kabir atau Diwan Agung.
Cinta
dan keindahan membuat ajaran Rumi berbeda dengan aliran tarekat lain. Sejumlah
tarekat saat itu lebih banyak berkonsentrasi untuk menyempurnakan diri menuju
insan kamil lewat ibadah, wirid, atau menyodorkan faham ketauhidan baru.
Penyatuan diri dengan Tuhan [wihdatul wujud] yang berkembang berabad-abad
sebelum Rumi di Bagdad adalah salah satu cara pencapaian menuju Tuhan yang
tidak dipilih Rumi.
Sebagai
seorang hakim yang paham syariat, Rumi tidak memasukkan dirinya dalam ritual
yang kontroversial. Dan sebagai seorang seniman, ia memiliki cara sendiri dalam
mencapai kesempurnaan dalam beragama tanpa harus menjadi ekstrem. Ia
memanfaatkan puisi, musik dari seruling dan gitar [rebab] untuk mengiringi
dzikir. Cara ini kemudian dikenal dengan sema’ yang berarti mendengar. Dengan
arti yang sedikit berbeda, pesantren-pesantren di Jawa memiliki ritual bernama
semaan.
[5]
Setelah
kembali ke Konya, Rumi mendirikan Tarekatnya sendiri, kira-kira 15 tahun
setelah itu kesehatan Rumi menurun dan tak lama kemudian ia sakit. Akhirnya
pada hari minggu tanggal 16 Desember 1273 mawlana Rumi menghembuskan
nafasnya yang terakhir di kota Konya. Rumi meninggal dan dikubur dalam Kubah
Hijau [Qubat-ul-Azra’] yang bertuliskan “Saat kami meninggal, jangan cari
kuburan kami di tanah, tapi carilah di hati manusia.” Namun ritual sema’ itu
tak ikut mati. Para pengikutnya, terutama anaknya, Sultan Veled Celebi,
melembagakan ajaran itu dalam tarekat bernama Mawlawiyah atau Mevleviye.
-Daftar Pusataka :
[3] Mulyati, Sri. Mengenal & memahami
Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia.jakarta: Kencana. 2004. Hal.
324
[4] blogberita.net/2008/06/16/fanatiklah-pada-cinta-bukan-agama/
- 44k - BlogBerita.Net
[5] www.majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/2001/12/31/AG/mbm.20011231.AG86803.id.html-8k-
(Bersambung ke Bagian III)
Posting Komentar
Posting Komentar