Menu

TQN PP.Suryalaya

 



Setelah ayahnya meninggal, Rumi mengambil posisi ayahnya sebagai penasehat para ulama konya dan murid-murid ayahnya. Dan kurang lebih satu tahun dari kematian ayahnya, atas anjuran gurunya Burhan al-Din Rumi meneruskan pendidikannya di Aleppo dan mengunjungi beberapa madrasah yang dibangun oleh al- Malik al-Zhahir. Dari sini ia pindah ke Damaskus dan mempunyai kesempatan emas untuk bercakap dengan tokoh-tokoh besar, seperti Muhy al-Din bin 'Arabi, Sa'ad al-Din Al-Hamawi, Utsman Al-Rumi, Awhad al-Din bin Arabi, dan Shadr al-Din al-Qunyawi. Pada tahun 1236 Rumi kembali ke Konya dan menyibukkan diri dengan menuntut ilmu dan memberikan bimbingan spiritual sampai gurunya meninggal dunia pada tahun 1241.[3] 
 Selama bertahun-tahun Rumi menikmati popularitasnya yang tinggi dan menempati posisi yang sangat dihormati sebagai seorang pemimpin. Tetapi pada tahun 1244 seorang Darwisy misterius, Syams al-Din Tabrizi datang ke Konya dan menjumpai Rumi. Perjumpaan ini telah mengubah Rumi dari seorang Teolog terkemuka menjadi seorang penyair mistik yang sangat terkenal. Karena kuatnya pesona kepribadian Syams, Rumi lebih memilih meninggalkan kegiatannya sebagai guru dan da'i profesional untuk mengabdikan diri kepada Syams yang kini menjadi guru spiritualnya, dan untuk memperkuat ikatannya untuk beberapa waktu mereka tidak pernah terpisah. Tetapi keadaan ini membuat murid-murid Rumi marah dan cemburu karena tidak mendapat bimbingan spiritual akibatnya mereka menyerang Syams dengan kekerasan dan ancaman, sehingga ia meninggalkan Rumi menuju Damaskus.
Perpisahan ini dirasa menyakitkan oleh Rumi dan menghunjam perasaan begitu mendalam.. karena itu ia mengutus anaknya sultan Walad untuk memohon Syams agar kembali ke Konya. Rumi bahagia bisa jumpa lagi dengan sang guru, akibatnya apa yang terjadi terulang kembali. Tentunya murid-murid Rumi menjadi marah karena cemburu dan membenci sekali lagi syams dengan lebih hebat lagi dari sebelumnya. Situasi ini mendorong syams untuk mencari perlindungan ke Damaskus. Kemudian Rumi mencari sendiri ke Damaskus tetapi itu tidak berhasildan kembali ke Konya dengan tangan hampa.
Sebagai tanda cintanya kepada Tabrizi, Rumi kemudian menulis kumpulan puisi yang kemudian dikenal dengan Divan-e Shams-e Tabrizi.[4] 
Kenapa aku harus mencari?
Aku sama dengannya
Jiwanya berbicara kepadaku
Yang kucari adalah diriku sendiri!
Sepuluh tahun setelah kematian Tabrizi, Rumi kemudian menggubah ghazal [puisi cinta] yang dikumpulkan dalam Divan-e Kabir atau Diwan Agung.
Cinta dan keindahan membuat ajaran Rumi berbeda dengan aliran tarekat lain. Sejumlah tarekat saat itu lebih banyak berkonsentrasi untuk menyempurnakan diri menuju insan kamil lewat ibadah, wirid, atau menyodorkan faham ketauhidan baru. Penyatuan diri dengan Tuhan [wihdatul wujud] yang berkembang berabad-abad sebelum Rumi di Bagdad adalah salah satu cara pencapaian menuju Tuhan yang tidak dipilih Rumi.
Sebagai seorang hakim yang paham syariat, Rumi tidak memasukkan dirinya dalam ritual yang kontroversial. Dan sebagai seorang seniman, ia memiliki cara sendiri dalam mencapai kesempurnaan dalam beragama tanpa harus menjadi ekstrem. Ia memanfaatkan puisi, musik dari seruling dan gitar [rebab] untuk mengiringi dzikir. Cara ini kemudian dikenal dengan sema’ yang berarti mendengar. Dengan arti yang sedikit berbeda, pesantren-pesantren di Jawa memiliki ritual bernama semaan.[5] 
Setelah kembali ke Konya, Rumi mendirikan Tarekatnya sendiri, kira-kira 15 tahun setelah itu kesehatan Rumi menurun dan tak lama kemudian ia sakit. Akhirnya pada hari minggu tanggal 16 Desember 1273  mawlana Rumi menghembuskan nafasnya yang terakhir di kota Konya. Rumi meninggal dan dikubur dalam Kubah Hijau [Qubat-ul-Azra’] yang bertuliskan “Saat kami meninggal, jangan cari kuburan kami di tanah, tapi carilah di hati manusia.” Namun ritual sema’ itu tak ikut mati. Para pengikutnya, terutama anaknya, Sultan Veled Celebi, melembagakan ajaran itu dalam tarekat bernama Mawlawiyah atau Mevleviye.

-Daftar Pusataka :
[3]  Mulyati, Sri. Mengenal & memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia.jakarta: Kencana. 2004.  Hal. 324
[4]  blogberita.net/2008/06/16/fanatiklah-pada-cinta-bukan-agama/ - 44k -  BlogBerita.Net 
[5] www.majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/2001/12/31/AG/mbm.20011231.AG86803.id.html-8k-

(Bersambung ke Bagian III)

Posting Komentar

 
Top